Rabu, 21 Desember 2011

Marry Me or I’m Married The World

Kira-kira sebulan yang lalu, saya mendapat undangan pernikahan dari saudara sepupu saya. Sebetulnya bukan hanya sepupu saya saja yang mengirimkan udangan pernikahannya. Nampaknya, banyak pasangan yang ingin menalikan simpul mereka di hari baik tanggal cantik 11 November 2011, 11-11-11. Sebagai orang yang apatis dengan konsep pernikahan, tumpukkan undangan berhias kertas fancy dan berbau wangi itu akhirnya teronggok tak tersentuh di pojok meja kerja saya. Melirik pun saya enggan. Tentu saja saya tidak memunculkan batang hidung saya di hari paling bahagia bagi pasangan-pasangan ini.
Tentang pernikahan sepupu saya itu, awalnya saya berencana untuk tidak datang. Namun, sehari sebelum resepsi, ibu saya yang pengertian, berpikiran terbuka, dan suka memeriksa tingkah polah anak-anaknya lewat twitter itu menelepon saya. Dia menitahkan saya untuk datang ke acara pernikahan anak kakaknya. Saya diharapkan untuk menjadi representasi keluarga batih kami. Sebagai wanita yang melahirkan saya ke dunia dan membesarkan saya, harusnya ia tahu bahwa agak sia-sia menyuruh saya untuk datang ke sana dengan muka riang dan hati senang. Pertama, saya tidak bisa menikmati pesta pernikahan. Fakta bahwa ada dua orang mengadakan pesta seharga puluhan bahkan ratusan juta rupiah hanya untuk memproklamasikan legalitas hubungan mereka, entah kenapa tidak bisa diterima oleh logika saya. Tidak penting, menurut saya. Kedua, secara naluriah saya tidak berbakat untuk menjadi representasi sebuah kelompok atau golongan tertentu, apapun. Bahkan beberapa orang sering bertanya-tanya si Bayu agamanya apa.
Malam Minggu, pukul tujuh, datanglah saya ke pesta pernikahan sepupu saya. Dengan atasan batik dan bawahan celana jeans, celingak-celinguk saya, jelalatan mencari wajah-wajah yang saya harap bisa saya kenali. Beberapa menit berlalu sejak kedatangan saya, Yak, akhirnya saya bisa mengenali sepupu saya yang menikah itu. Sayangnya, saya mengenalinya bukan karena saya ingat wajahnya, tapi karena dia memakai jarik lurik, beskap, dan blangkon. Dari dandanannya dan posisinya yang berada di tengah altar, berasumsilah saya bahwa dia si mempelai pria, yang adalah sepupu saya. Baru beberapa menit datang, saya sudah gelisah ingin pulang. Sampai tiba-tiba saya dipanggil oleh salah satu om saya, yang kemudian menggiring saya untuk berkumpul dan bercengkarama dengan om-om, tante-tante, dan sepupu-sepupu, yang entah kenapa saya tidak merasa terikat secara batin. Ya, saya dan saudara-saudara kandung saya dibesarkan di pinggiran kota Solo, terpisah jauh dengan sepupu-sepupu kami yang tumbuh besar di kota besar. Jika dihitung, intensitas pertemuan kami dengan sepupu-sepupu kami juga masih kalah banyak dengan jumlah jari di tangan kanan saya. Jadilah kami, atau paling tidak saya, selalu merasa asing ditengah pertemuan dengan sepupu-sepupu. Wwalaupun begitu, di acara pernikahan itu interaksi diantara saya dengan keluarga tetap terjadi. Yaitu pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang dengan jawaban tidak terlalu diharapkan. “Kerja dimana?, “tinggal dimana?”, “mamah sehat?”. Saling lempar senyum yang lebih tepatnya usaha menarik beberapa otot disekitar mulut. Serta jabat tangan yang lebih tepatnya saling menempelkan telapak secara cepat dan sekilas, bukan cengkeraman tangan yang kuat dan hangat. Sungguh, pada dasarnya saya merasa sangat tidak enak hati dengan ketidakpedulian saya, keapatisan saya, dan ketidakadaan usaha saya untuk mengenal dan berinteraksi dengan mereka lebih jauh. Tapi sungguh, saya bukan orang bisa berbasa-basi atau berpura-pura. Kalau saya lihat mereka tidak ada usaha, saya pun merasa juga tidak perlu berusaha. Satu-satunya orang yang bisa membuat saya nyaman adalah nenek saya, yang diusianya yang mendekati kepala delapan, masih suka minum coca-cola dan minuman bersoda lainnya. Nenek saya yang cukup sering saya kunjungi semenjak saya bekerja di Jakarta. Jadinya, duduklah saya disebelah nenek Paula, nenek saya, sambil bolak-balik membawakan cangkir kecil berisi coca-cola atau fanta untuk beliau. Tidak sampai sejam, saya meluncur pulang, dilanjutkan dengan menonton Tin-tin The Adventure, midnight, di bioskop. Saya sama sekali tidak bisa menikmati acara pernikahan.
Suatu hari, saya duduk berbincang sembari makan malam dengan teman saya. Di sesi curhat kami, dia banyak bercerita tentang kisah cinta dengan pacarnya, yang penuh haru biru dan sisi-sisi yang bisa diambil sebagai pembelajaran. Moment dimana dia ingin menikah, dimana dia bersabar menunggu, kemudian sampai pada suatu titik justru dia sudah tidak lagi terlalu ingin menikah. Dia menutup curhatnya dengan mengatakan sesuatu yang membuat saya berhenti mengunyah dan mengangguk-angguk tanda merespon ceritanya. Dia mengatakan : “I used to say, marry me or I’m married the world. And now I think I’m married the world already”.
Sudah sejak lama, saya tidak pernah memasukkan pernikahan ke dalam skala prioritas hidup saya. Saya masih tidak bisa melihat adanya adding value dari menikah atau mempunyai hubungan. Saya merasa menikah justru membuat orang menjadi banyak pertimbangan, membuat orang jadi ragu untuk melihat dunia. Padahal saya masih ingin melihat dunia. Masih banyak tempat-tempat menakjubkan yang ingin saya kunjungi. Masih ada puncak-puncak gunung yang ingin saya taklukkan. Pernah suatu hari, saya melihat pasangan muda yang sedang membeli bubble tea. Satu cup buble tea untuk berdua. Orang lain mungkin akan melihat mereka sebagai pasangan yang romantis. Saya, rasa yang muncul dalam benak justru rasa kasihan, dan berpikir untungnya saya tidak seperti mereka. Saya seringkali mengernyitkan dahi saat menerima undangan pernikahan dari orang-orang yang saya kenal, sembari berpikir kenapa mereka mau menikah secepat itu.

Yes, I think I’m married the world already.

Setelah ditelaah lagi, skala prioritas hidup saya diisi oleh target-target yang berhubungan dengan pekerjaan dan karir. Hari-hari saya habiskan dengan bekerja, menyusun dan membangun karir. Tidak pernah terbersit keinginan untuk dengan sengaja berkenalan dengan orang baru di sela-sela hari yang sibuk, dan berusaha membangun hubungan. Tidak ada ruang dalam pikiran saya dan slot dalam waktu saya untuk sebuah hubungan yang melelahkan. Saya sudah menjadi mempelai dunia. Dunia yang sejauh ini bisa membuat saya senang, sedih, gemas, marah, gembira, dan tertawa. Saya sudah menikah dengan dunia.
Mungkin, bisa saja suatu hari nanti saya berubah pikiran. Ingin memiliki hubungan yang lebih humanis, dan mempunyai alasan untuk siapa saya berlelah-lelah mengumpulkan uang. Satu yang pasti, jika saya menikah nanti, alasannya adalah karena saya menemukan orang yang membuat saya yakin untuk menghabiskan sisa hidup dengannya. Bukan karena alasan “semua orang menikah, maka saya juga harus menikah”, atau “saya tidak mau menjadi tua sendiri”, atau “saya harus meneruskan keturunan”, atau alasan-alasan lain yang terkait dengan kondisi dan tuntutan sosial. Menikah adalah kebahagiaan saya, bukan kebahagiaan orang lain. Jadi menjadi hak prerogatif saya untuk melakukannya, atau tidak melakukannya.
Menurut saya, menikah ibaratnya seperti secangkir kopi Starbucks di suatu pagi yang sibuk. Beberapa orang tidak bisa memulai hari dan bekerja dengan baik tanpa meminumnya. Tapi bagi beberapa orang lain, termasuk saya, ini hanya masalah apakah saya sempat untuk mampir membeli dan meminumnya dalam perjalanan ke kantor atau tidak. Karena saya yakin dengan atau tanpa meminumnya, hari saya akan berjalan baik-baik saja.
Marriage is like a cup of starbucks coffee. Some people can not start the day and doing well without drinking it. But for me, it’s only the matter of do I have time to stop by to buy and drinking it on my way to the office or not. Because with or without it, I believe my day still will be okay.

Have a great day everyone!! :D

Normal People

I think I’ve mentioned that I have a best friend. She is like my rectoverso, the girl version of me. And I’m apparently like the boy version of her. We’ve been besfriends since we were still on the college in Jogja, the place and time where everyting feels so easy and peace. Now we have moved and been living in Jakarta. We’ve been Jakartans, build our own careers here in this city. Me with my communication marketing career, while she’s taking her master degree and doing copywriting in publishing company.
We both believe that there’s no city light for a whiner. Therefore we’re busting off our firmed surface asses to catch the city light, and try for not complaining. We also believe that in order to survive in this mad mad world, we should have our survival kits. Survival kits of life. They are, wittiness, pride, and leave our sanity at home. So far we succeed to survive, and so far we’re good fighters in this battle.
Some people who know us somehow don’t understand us. They think that we’re crazy and complicated. They don’t get our values. They don’t understand what we believe, including our conversation and jokes. Somehow, they consider us as not so normal people. Of course I have noticed about what people think about us as a duo, yet I don’t do give a dime damn about it. Until one day, she made a point. Made me think to redefine the concept of being normal people. How to perceive our crazy mind and soul, our complicated life, and try to make it fit in with the description of normal life of normal people.

Are we two too bold? Or just simply crazy?
Are we too complicated?

One example. We usually have our meeting after office hour, periodicaly, which we called it “juicy recap” time. In ‘juicy recap” time we talked about anything, mostly we shared all updates and “shit happened” on the days we don’t meet. Since it seems we’re destined to face and ride roller-coaster days and nights, so it’s a good thing for us to dispose the shits and thorns by sharing it to trusty friend. So that we can be rejunevated for facing the incoming days.
Since the specific topic that we shared to each other during “juicy recap time” is confidential and not for public comsumption, I choosed to enclose one example of our jokes that have strightly made me think and realize, “Yes, somehow I know why some people just don’t understand us”.

On our dinner, we were in the middle of conversation about kids...
Me : kowe kan tau njaluk spermaku nggo anakmu. Hahaha (You have asked me to donate my sperm for having your child. Hahaha ---*note : of course I’m joking*)
Her : Lha anakku mengko rupane kemampleng no koyo kowe (Then my kid will have slapable face just like yours)
We both laughed. Then suddenly I just realized that there was like four years old girl sat near to us, having dinner with her mother.
Me : Parah tenan yo awake dhewe ki. Yen bocahe krungu piye? Terus takok nang ibune “Mommy-mommy, I was made by dad’s sperm right mommy? (we are so bastard and bastardee, What if she heard? And asking her mom “Mommy-mommy, I was made by dad’s sperm right mommy?”)
Her : -pretending to be the girl’s mom- Nooo, you were made by sperm......whale.
*Note : sperm whale is one of whale species, has the largest brain of any animal*
Then we laughed out loud, made the young girl took a peek on us by her corner eyes, Her mouth still chewing the chiken.
-------
One day, I have asked her why she can be a bitch, and she replied it’s because she has a bastad bestfriend around. So it’s fair enough. but when one day, She has asked me whether we are normal people or not, with our complicated life, mind, and soul. Honestly I don’t have the answer.
One day after the question, accidentally I watched a movie “All about Steve”. The free spirited soul Mary Horowitz, main character on the movie played by Sandra Bullock, at the end of the movie said a quote :

“why should you have to change to be normal? all you have to do is find someone who is as normal as you are”

Hail Mary Horowitz because now, I have the answer of my bestfriend’s question.
YES, baby. We are normal people. We are normal as we can be. I’m normal because I have you around me, and vice versa.
Thanks to you my pinch cake!!

Senin, 07 November 2011

Jebakan Jakarta

Terlepas dari segala kemacetan dan huru-haranya, saya cinta Jakarta. Kota ini gemerlap, cocok bagi saya yang suka mencari cahaya. Kota ini progresif, cocok bagi saya yang suka berlari. Kota ini penuh janji, cocok bagi saya yang hidup digerakkan oleh mimpi. Di Kota ini satu persatu saya bangun dan tata dengan rapi fondasi ambisi. Jelas belum jadi utuh, bahkan masih sangat dasar. Masih jauh dari selesai.
Tapi kemudian ada satu hal yang saya sadari, sisi jahat dari Jakarta. Satu hal yang culas dan hitam, yang bisa membuat fondasi mimpi saya hancur berantakan. Satu hal yang diam-diam menjebak dan menggerogoti saya dari dalam. Sebuah jebakan, yang harus saya akui pernah menjebak saya. Jebakan Jakarta.
Di Jakarta, menjadi sesuatu, wajib hukumnya
Jakarta ibarat sebuah periuk dimana setiap makanan yang ada di dalamnya wajib memiliki rasa yang enak. Jika kita menjadi makanan berasa hambar, siap-siap untuk terlempar keluar dari periuk. Jakarta ibarat sebuah panggung sandiwara kolosal dimana setiap pemeran wajib menjadi tokoh utama. Jika kita hanya menjadi pemain figuran atau cameo, siap-siap untuk ditendang keluar ke balik layar. Menjadi sesuatu, wajib hukumnya di sini. Dan saya setuju akan hal ini. Sejak detik pertama saya tiba di ibukota, saya sudah bertekad bahwa tujuh menit kemudian, sebelas jam kemudian, dua puluh satu hari kemudian, enam belas bulan kemudian, tiga puluh tahun kemudian, saya harus menjadi lebih baik dibandingkan dengan saat pertama kali kaki saya menjejak.
Orang-orang seperti saya, ibaratnya adalah orang-orang yang masih berada di kaki gunung. Kami menatap kagum sekaligus iri mereka yang sudah sampai di puncak. Di atas sana, nampaknya, pemandangannya luar biasa. Cakrawala juga nampak lebih cantik. Kami pun memutuskan untuk beranjak ke atas. Mendaki dengan segala daya upaya yang kami punya. Karena kami tahu, atau kami pikir kami tahu, bahwa diatas sana semua tampak lebih indah, dan semua menjadi lebih mudah. Sayangnya, sebagian dari kami menjadi terburu-terburu. Tidak sabar. Baru beberapa langkah kami capai, baru beberapa bulir peluh menetes dari dahi kami, tapi kami sudah berharap ingin menikmati pemandangan yang sama, merasakan kesejukan yang sama, menikmati kemudahan yang sama.
Itulah jebakan Jakarta. Sebagian dari mereka yang masih berstatus pemain pemula di sini, sama seperti orang-orang di kaki gunung. Ingin segera menikmati puncak. Tidak sadar bahwa jalannya terjal dan berliku, dan tidak mau menghadapi perjuangan yang membuat kaki luka dan memar membiru. Ibarat hidangan di periuk, mereka langsung ingin menjadi makanan enak. Padahal dibutuhkan percobaan berkali-kali supaya sebuah masakan bisa menggoyang lidah. Ibarat sebuah sandiwara, mereka berusaha untuk langsung bisa mendapatkan piala Oscar. Padahal latihan berkali-kali untuk bisa menjadi pemeran utama yang mempesona.
Seorang teman pernah bercerita kepada saya. Cerita tentang sahabatnya yang berasal dari keluarga kaya raya. Sahabatnya yang bisa membeli puluhan pasang sepatu perancang ternama dengan begitu mudahnya. Dia diperkenalkan dengan seorang pemuda, yang tak kalah kaya rayanya. Pada suatu hari, berkencanlah mereka. Sang Pangeran menjemput dengan mobil ranger mewah. Sang puteri bersolek dengan gaun satin, tas beludru, dan sepatu mahal yang nampaknya tidak diperuntukkan untuk berjalan, karena membuat kakinya sakit setiap dia melangkah. Mereka makan malam di restoran mewah, yang harga satu porsi makanannya cukup untuk makan tiga bulan rakyat jelata. Mereka menikmati santap malam, tapi jarang bicara satu sama lain. Mereka justru lebih sering membunuh kebisuan dengan asyik mengetik di blackberry mereka masing-masing. Entah kepada siapa mereka bicara.
Setelah kencan impian selesai, setelah tuan puteri diantar pulang ke istana kecilnya, dia berkeluh kesah panjang lebar kepada teman saya. Dia baru saja pulang dari sebuah kencan impian. Kencan yang selalu diingini oleh orang-orang kaki gunung seperti saya, seperti kita. Tapi ternyata sang puteri tidak menikmatinya. Dia tidak suka makanannya, dia tidak suka dijemput dengan mobil mewah tinggi yang membuatnya kesulitan memanjat ke tempat duduk, dia tidak suka sepatu mahal yang dia pakai yang seakan-akan menggigit sakit telapak kakinya yang kecil dan mulus. Dia ingin kencan yang diisi oleh percakapan yang hangat, makan di warung pinggir jalan, menggerai rambutnya, cukup mengenakan kaos dan celana jeans. Itu saja.
“Kalo lo nggak suka pake sepatu itu, terus kenapa tetep lo pake?” tanya teman saya keheranan. “Ya gue harus, supaya dia respect sama gue, menghormati gue,” jawab sang puteri.
Pencitraan diri. Menciptakan impresi.
Inilah jebakan Jakarta lainnya. Khawatir dengan apa yang orang pikirkan tentang kita. Ingin dihormati dan memberikan impresi, tapi dengan segala atribut kebendaan dan material yang menempel di tubuh kita. Ada lagi cara lain, yaitu menggunakan media sosial. Kita sedang ada dimana, makan dimana, hang out dimana, beli baju harganya berapa, disebar melalui facebook, twitter, bahkan status Blackberry messanger. Didukung dengan foto-foto profile yang makin mensyahkan statusnya. Joko Anwar, seorang sutradara anak negeri yang, menurut saya, jenius pernah berkicau di twitter yang bunyinya kira-kira begini : “Don’t try too hard, people. This is twitter, not school.” Menyindir bagaimana orang-orang berusaha untuk terlihat hebat dan pintar melalui media twitter.
Teman saya di gym pernah membagi idenya ke saya. Dia adalah seorang manager di perusahaan ternama, sedang menempuh gelar S2. Dia berkata kepada saya :
“Di jakarta ini ada dua macam orang kaya, Bay. Yang pertama orang yang memang bener-bener kaya, punya investasi, usaha, perusahaan. Kayak Tommy Winata atau Bob Sadino gitulah. Liat aja mereka. Udah nggak peduli lagi harus pake baju bagus apa makan di restoran mahal. Gue pernah liat Bob Sadino jalan-jalan cuma pake celana pendek sama sendal jepit. Mereka itu sudah sampe di tahap values yang lebih esensial. Nah yang kedua adalah orang yang kaya nanggung. Yah mungkin kayak kita-kita gini lah. Nah orang kaya nanggung ini yang suka pamer-pamer status.”
Berbela sungkawa atas meninggalnya Steve Jobs dan mengutip hal-hal yang berkaitan dengan Apple hanya karena itulah yang sedang dilakukan orang-orang. Berada di sebuah konser jazz tapi tidak tahu siapa Nina Simone, hanya karena orang-orang berpikir bahwa jazz itu classy. Semua ini dilakukan agar orang-orang tahu siapa kita. Dimaksudkan agar orang-orang berpikir bahwa kita keren, kita gaul, kita mampu. Dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa kita adalah insan Jakarta, yang memenuhi segala standar sosialnya. Bahwa kita adalah manusia di puncak gunung, dengan segala keindahan pemandangan yang bisa kita lihat dan rasa. Padahal, bisa jadi kita hanyalah manusia di kaki gunung.
Ini bukan sahara, tapi kita terjebak fatamorgana.
Tidak mau memungkiri, saya sempat jatuh terjerembab dalam jebakan Jakarta. Ingin ini-itu yang jelas-jelas saya belum mampu. Beli ini-itu yang jelas-jelas diluar anggaran belanja saya. Mengatakan ini itu supaya terlihat keren di mata orang-orang. Bodohnya saya. Tapi untungnya saya punya teman-teman yang baik, yang segera melemparkan sulur dan tambang supaya saya bisa memanjat naik keluar jebakan. Yang bisa meyakinkan saya bahwa tidak perlu tetek bengek material untuk menjadikan diri saya impresif. Tidak perlu status-status untuk meyakinkan orang untuk melihat saya. Seperti yang dikatakan teman gym saya, dibutuhkan hal-hal yang lebih esensial, untuk menjadikan kita manusia puncak gunung. Tentunya saya sangat tidak pantas untuk dibandingkan dengan Bob Sadino. Siapalah saya. Tapi terlepas dari seberapa harta yang kami punya, kami yakin bahwa seharusnya hal-hal esensial-lah yang menjadi nilai “jualan” kami ke orang lain. Sebaliknya, hal-hal esensial pula yang seharusnya kami “beli” dari orang lain.
Beberapa kali, kami makan di retoran sushi. Saya dan seorang sahabat saya. Tidak sering, hanya saat kami ingin merayakan hal-hal yang menurut kami penting. Duduk berdua, kami sering mengingat kejadian-kejadian di masa lalu. Kejadian-kejadian saat kami masih sama-sama kuliah di Jogja. Dari dulu, kami suka merayakan hal-hal yang menurut kami penting. Dulu, yang kami sebut dengan perayaan adalah pergi ke Malioboro Mall naik bus, masing-masing memesan 2 butir donat J.Co, Frapuchino juga kami pesan satu gelas saja untuk berdua. Restoran sushi mungkin adalah hal sepele bagi beberapa orang, tapi ini adalah bukti bahwa kami sudah cukup jauh melaju. Sekarang kami masih sering makan di warung tenda pinggir jalan, minum teh jahe di angkringan, masih saling menimpali percakapan dengan bahasa Jawa. Karena itulah sulur-sulur kami, yang membantu kami keluar dari jebakan jakarta, dan disaat yang sama juga membantu kami naik ke puncak gunung.
Kami yakin suatu saat nanti kami akan sampai diatas dengan cara kami sendiri, menikmati cakrawala di puncak gunung. Kami yakin suatu saat nanti kami akan menjadi sesuatu, namun bukan karena materi kami. Tapi karena kami adalah kami, sebagai pribadi, dan sebagai manusia. Itu saja. Itu juga cara yang kami pakai untuk melihat dan menghargai orang lain.
Kami tidak mau terjebak dalam teori rumput tetangga. Karena rumput kami pun sama hijaunya. Kami memanfaatkan semua yang kami punya sekarang, untuk naik ke puncak gunung, dengan cara kami sendiri. Cara yang kami tahu dan kami yakini.
I feel good about myself right now, at this moment. Really.
One, because I’m a free man.
Second, for being able to afford certain good things. But to know the fact that there are alot of things I still can not afford and have, it makes me feel good about myself also. It means that I still need to progress. That I’m still on the journey. That I’m still nobody.
Third, to know that people have it, and I don’t have it, but I don’t really care about it. It makes me feel good about myself also, because it means I’m not living under anyone’s shaddow.
Fourth, to know that I’m could be, sometimes, at certain fancy places. Or, sometimes, I could eat certain fancy foods. But to make myself for not letting people know about it, makes me feel good about myself also. Because I’m at somewhere only we know.
Overall, to know that deep inside I’m growing here, it’s more than enough for me. Because it means I’m inline with the reason why I come to the spectaulous Jakarta.
Cheers, baby!!

Seven Eleven di Malam Minggu

Malam ini malam Minggu, tetapi tidak ada jadwal bertemu dan berkumpul yang harus saya penuhi. Tidak ada undangan berjumpa kawan lama atau temu alumni. Sahabat saya pun nampaknya sedang berasyik masyuk entah dimana, tak mengabari. Jadinya, malam ini saya sendiri.

Akhirnya saya memilih untuk melanjutkan penyelaman saya ke dalam novel kisah cinta Srintil dan Rasus. Berlatar belakang di sebuah pedukuhan sederhana, novel ini memiliki alur cerita yang indah, namun perih manyayat. Ronggeng Dukuh Paruk karangan ahmad Tohari adalah salah satu novel favorit saya. Sudah saya putuskan demikian, padahal belum habis saya baca.

Malam itu saya memutuskan untuk membunuh malam dengan membaca Ronggeng Dukuh Paruk di Seven Eleven. Ya, Seven Eleven yang berlokasi di dekat Grand Indonesia. Dan ya, Seven eleven yang mendapat predikat sebagai tempat berkumpulnya ABG labil Jakarta. Meskipun (saya rasa) saya bukan orang yang labil, saya suka untuk datang dan menghabiskan waktu di sini. Pertama, kopinya enak. Harganya terjangkau, dengan rasa yang bisa saya racik sendiri, otentik sesuai dengan keinginan saya. Gerai ini menyediakan sirup-sirup tambahan beraneka rasa untuk menambah cita rasa kopi, seperti vanilla, tiramisu, dan rasa lainnya. Kedua, menurut saya manusia-manusia yang datang ke gerai ini menarik, membawa keunikan mereka masing-masing. Keunikan manusia-manusia urban Jakarta, yang mungkin tidak bisa kita temui di kota lain. Buat saya, Seven Eleven ibarat sebuah mangkuk salad kecil, berisi insan Jakarta dengan segala citarasanya.

Setelah membayar kopi di kasir, saya memilih untuk duduk di area dalam gerai, di sebuah meja panjang menghadap jalan. Sembari membaca, saya sesekali mengamati pembeli yang berlalu-lalang. Sudah saya katakan di awal bukan bahwa, menurut saya, pengunjung seven eleven GI ini datang dengan segala keunikan mereka? Nah, malam ini adalah buktinya. Malam minggu ini.

Arah jam dua. Sekumpulan perempuan. Asik bertelekan di lantai, di luar gerai. Saya bisa melihat tingkah polah mereka dengan jelas karena hanya selapis jendela kaca bening yang membatasi saya dengan mereka. Dandanan mereka trendi, tapi bukan seperti yang biasa dipakai oleh wanita Indonesia masa kini pada umumnya. Atau memang sayanya saja yang ketinggalan jaman, tidak ngeh bahwa penampilan mereka adalah yang sedang menjadi trend saat ini. Satu dari mereka berwajah manis, namun berambut cepak nyaris gundul dengan lengan penuh tato. Satu yang lain memiliki rambut lurus rapi terurai. Mulutnya sibuk antara menyesap rokok hitam dan menenggak sebotol bir secara bergantian, sembari sesekali melemparkan celoteh yang entah apa tidak bisa saya dengar, karena ada selapis jendela kaca yang membatasi saya dan mereka. Yang terakhir berdandan manis dengan baju terusan motif bunga-bunga ala gadis masa tempo dulu. Tujuh puluhan. Dia sibuk membalik-balik halaman majalah fashion wanita yang entah apa namanya tidak bisa saya kenali. Nampaknya majalah impor luar negeri.

Arah jam dua belas, atau tepat di depan saya. Sekumpulan jejaka, duduk selantai dengan gadis-gadis extravaganza yang tadi saya ceritakan, namun berbeda ujung, terpisah beberapa meter. Para jejaka ini berpakaian dengan cara yang hampir mirip seragam. Memakai kaos oblong, jaket bertudung, sendal gunung, dan membawa tas punggung. Saat saya datang mereka sudah ada, asik bercengkerama. Jadi saat saya melintasi mereka, saya sempat mencuri dengar perbincangan mereka. Dari gaya bertutur kata, saya berani jamin mereka adalah orang Jogja, atau paling tidak dari sekitarnya. Saya juga berani bertaruh mereka adalah first jobber. Mereka mengingatkan saya pada waktu awal saya hijrah ke Jakarta, masih terbawa euforia gempita Jakarta. Saat melintasi mereka saya tergoda untuk berhenti sebentar dan menyapa, ”Saking Jogja nggih mas? Mboten ngangkring?” dan saya tersenyum geli sendiri membayangkan mereka menjawab, ”Lha niki lagi ngangkring je Mas. Saiki nang Jakarta angkringane Sepen Elepen”.

Tiba-tiba meja bundar di belakang saya, arah jam enam, diokupasi oleh sekumpulan mas-mas dengan dandanan ajaib. Ada yang bertubuh kurus kering, memakai kaos ungu, berkancing dua di bagian leher. Celana jeans super ketat, yang membuat saya bertanya-tanya bagaimana telapak kaki si pemakai bisa masuk ke lubang di bagian bawahnya. Kacamatanya berbingkai putih. Temannya, bertubuh tambun, dengan polo shirt berwarna kuning, celana pendek kotak-kotak berwarna kuning, dan sepatu yang juga kuning. Saya curiga giginya pun juga kuning. Kulitnya hitam, dengan betis besar penuh bulu. Rambutnya berponi, tapi sisi kepalanya dicukur menyisakan rambut tipis. Tidak hanya mereka berdua, ada lagi tiga orang teman mereka yang serupa sejiwa. Suara mereka luar biasa berisik, dimana setiap kalimat yang keluar dari mulut mereka diakhiri dengan potongan kata yang sama. Nek, cong, cus, cinta dan lainnya yang tidak saya ingat, dan memang berusaha saya hapus-hapus dari ingatan saya.

Saking berisiknya mas-mas gemulai ini, saya memutuskan untuk berpindah posisi. Saya memilih untuk duduk di pojok, yang berarti sekarang gadis-gadis extravaganza berposisi tepat di depan saya. Kembali saya menyelami kisah cinta Srintil dan Rasus. Asik membaca, raungan suara mas-mas gemulai menghilang dari ujung telinga, digantikan celotehan seorang anak perempuan kecil. Saya melempar pandangan melirik ke arah datangnya suara. Sebuah keluarga kecil. Seorang ayah bertubuh besar berambut gondrong, seorang ibu cantik bertubuh sintal, dan si empunya suara, gadis cilik berusia sekitar tiga sampai empat tahun, berwajah manis dengan pipi gembil mengundang untuk dicubit. Aura namanya. Saya tahu saat ibunya yang saat itu sedang berdiri di depan chiller, memanggil namanya dan bertanya mau minum apa. Sekejap kemudian si ibu mendapat jawaban, jus stroberi. Suara Aura perpaduan antara manja, lugu, tapi juga bossy.
Saya berusaha untuk kembali membenamkan konsentrasi saya ke buku yang saya baca. Tapi konsentrasi saya terpecah oleh celotehan Aura, yang berusaha mencuri perhatian orang tuanya yang sedang asik berbicang, dengan bercerita bahwa tadi siang dia bermain dengan adik Nathan, dan menceritakan tentang potongan rambut adik Nathan yang baru. Lima belas menit berlalu. Pikiran saya sudah sepenuhnya kembali tenggelam ke dinamika dukuh Paruk, ketika tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara Ibu Aura. Bukan karena dia volume suaranya yang lantang, justru dia mengatakannya dengan lembut dan nyaris bisa didengar. Saya tersentak oleh pertanyaan yang keluar dari mulut si ibu. Pertanyaan yang tidak pernah saya bayangkan akan ditanyakan, dan dijawab oleh seorang anak manis berusia empat tahun. ”Aura sudah milih mau agama apa belum?”
Saya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan dan rasa ingin tahu saya. Mata saya bertatapan dengan mata Ibu Aura. Dia menangkap rasa keingintahuan saya. Saya memberi pandangan yang mengatakan, ”Please let me hear this. I’m not gonna be the one who judge you.” Ibu Aura membalas dengan tatapan yang mengatakan, “Feel free to witness this truth of life”.

Suara Aura yang mirip cicitan menjawab, “Aura sih pilihnya Islam mah”.
Tapi kalo Aura tahu, menyembah Tuhan tuh nggak cuma satu cara lho”, timpal ibu Aura sambil membetulkan posisi syalnya.
“Ooo..gitu ya Mah, Aura sih pengen banget menyembah Allah Mah.” Jawab Aura sambil menahan dagunya dengan dua tangan, melempar pandangan jauh ke luar jendela.

Percakapan berhenti sampai disitu. Sesingkat itu. Tapi membuat saya bergidik. Siapa sangka percakapan ini terjadi antara seorang dewasa dengan gadis kecil berusia empat tahun. Gadis berusia empat tahun yang secara tidak langsung dikondisikan (atau justru diberi kesempatan?) untuk memilih tempat bersandar sepanjang hayat. Sebuah pertimbangan dan keputusan sulit yang mungkin tidak bisa dihadapi oleh orang-orang dewasa sekalipun. Saya, dan mungkin kita, terlahir dengan sandaran yng sudah dipilihkan untuk kita. Yang terbaik, atau dianggap terbaik, untuk kita. Kita percaya karena sejak kecil kita diajarkan seperti itu. Tidak seperti Aura, kita tidak pernah diposisikan untuk melihat dari luar pagar, dan memilih mana yang paling baik untuk kita. Tiba-tiba saya merasa beruntung. Atau justru Aura lah yang beruntung. Aura adalah satu dari segelintir orang yang diberi kesempatan untuk memilih, dan bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang dia pilih. Saya memberikan senyum samar ke arah Ibu Aura. Ibu Aura membalas dengan sebuah senyum tipis.

Mulut mungil Aura mulai menguap, tanda kantuk mulai menyerang. Saya melirik jam tangan. Jam sebelas. Keluarga Aura pun beranjak pulang. Mata saya tetap mengikuti sampai mobil mereka menghilang di ujung jalan. Dalam hati saya berharap, kepada siapapun Aura memohon saat mengucap doa, dan apapun cara yang Aura pilih saat dia berdoa, Aura tetap dalam lindungan Tuhan, siapapun itu yang Aura pilih untuk percaya.


Kantuk Aura mulai menulari saya. Saya mulai menguap dan memutuskan untuk pulang. Malam ini luar biasa. Walaupun saya tidak menyanyi riang di Inulvista, atau bercengkerama mesra sambil minum kopi hangat dengan sahabat, saya pulang dengan perasaan seperti ada segumpal udara bersih masuk ke paru-paru saya. Sebelum pulang, sebagai kata terakhir, saya mengutip istilah yang diucapkan oleh gerombolan mas-mas ajaib tadi saat mereka akan pulang. Markipuuul. Mari Kita Saipul. Hahahaha...

Minggu, 03 Juli 2011

SEXY

Ada sebuah pertanyaan. Bukan untuk sembarang orang, lebih tepat dialamatkan kepada manusia-manusia dewasa. Manusia modern, yang berjibaku dengan susahnya dunia, sekaligus bersukacita atas nikmatnya. Apa itu “seksi”?

Saya tidak bisa menampik, bahwa sedikit banyak saya ikut mengamini konsep seksi yang dipercaya khalayak ramai. Seksi didefinisikan atas tubuh dengan ukuran dan bentuk tertentu yang disepakati secara tidak tertulis, seksi adalah keindahan tampakan luar, bagaimana kulit kita dinilai orang lain. Seksi adalah menjadi menarik secara fisik.

Keinginan, atau bahkan keharusan untuk tampil seksi dan menarik di mata orang lain bisa dibidik secara cerdik oleh industri, terutama industri yang berhubungan dengan imej tubuh. Secara sadar kita berbondong-bondong menghabiskan sekian persen dari penghasilan kita untuk membeli baju koleksi terbaru di awal bulan. Diam menahan perih saat muka kita ditusuk-tusuk di klinik kecantikan kulit dan muka. Rela menahan sakit dan lelah saat membentuk otot dan menghilangkan gelambir di gym. Menahan lapar hanya makan sebutir apel supaya jarum timbangan menunjuk ke angka yang membuat hati tenang. Bisa jadi, menjadi seksi adalah salah satu pengorbanan terbesar dari diri seorang manusia, terutama manusia urban.

Industri berkomplot, konsep seksi pun dikerucutkan menjadi satu kiblat. Ambil contoh ajang pemilihan ratu kecantikan sejagad. Walaupun diperuntukkan bagi wanita seluruh dunia dengan segala rupa, tapi tetap saja ada standar baku yang mengarah ke penampilan fisik. Sepanjang pengetahuan saya yang terbatas ini, belum ada, atau bisa jadi tidak akan pernah ada, peserta yang bertubuh besar dan sintal, bergigi gingsul, atau berkacamata. Ada sih pemilihan ratu untuk wanita bertubuh besar, tapi kesan yang ditampilkan justru menjadi ajang lucu-lucuan daripada merayakan kecantikan. Peserta ratu kecantikan sejagad menaburkan bedak bukan hanya dimuka tapi juga di dada supaya menarik perhatian. Mereka menyapukan lotion mahal ke kaki dan tangan supaya tubuh tampak berkilau. Mereka memutihkan gigi mereka supaya senyumnya bisa terkembang sempurna. Mereka menarik dan seksi, karena bertubuh tinggi, berbadan lansing, berkulit mulus, dengan geligi putih. Bisa menjawab pertanyaan dari para juri, menurut saya, hanya menjadi nilai tambah saja. Toh kalau cerdas, tapi gemuk, tetap tidak bisa menjadi ratu. Si Ratu adalah pengejawantahan sempurna atas konsep cantik, menarik, dan seksi yang dibentuk dan dikemas manis oleh komplotan industri dengan bantuan media. Bombardir cuci otak konsep seksi pun sudah tidak lagi diarahkan ke satu gender saja. Industri pakaian bahkan kecantikan untuk pria mulai berjamuran. Ajang-ajang pemilihan untuk pria dengan perut berpetak enam bermunculan. Pria-pria metropolis menjadi korban. Mungkin termasuk saya, secara sadar melompat ke dalam kubangan.

Tapi tunggu dulu, sebenarnya, apa sih alasan manusia ingin menjadi seksi? Menurut saya, alasan utamanya adalah untuk penarik perhatian orang lain. Menjadi atraktif. Tapi, menjadi seksi dengan konsep mengarah ke tampilan fisik dan kulit luar, dengan alasan untuk menarik perhatian orang lain, sama halnya dengan fakta mengapa burung merak atau cendrawasih mempunyai bulu-bulu indah berwarna cerah. Mereka mengembangkan bulu-bulu indah mereka saat musim kawin, mengandalkan tampilan fisik mereka, untuk menarik perhatian lawan jenis mereka. Jadi, sebetulnya, sedikit banyak kita masih mengamini hukum alam seperti hewan-hewan cantik di luar sana. Tapi untungnya, atau justru sayangnya, kita bukan cendrawasih atau burung merak. Kita manusia. Hidup kita tersusun atas konsep-konsep yang jauh lebih kompleks, terutama dalam fenomena interaksi antar manusia. Menarik perhatian orang lain, menjalin hubungan, mencari pasangan, tidak cukup hanya dengan mengandalkan tubuh yang indah dan penampilan fisik yang menarik.

Saat kita memasuki tahap interaksi antar manusia yang lebih dalam, lebih intense dan lebih detail, tampilan seksi sebagai senjata andalan kita sudah tidak lagi bisa membantu banyak. Kita membutuhkan senjata lain yang lebih mumpuni. Apa itu? Bukan, bukan pelet aura atau susuk pengasih. Saya tidak tahu istilah tepatnya apa, tetapi senjata tersebut adalah segala sesuatu yang mengacu kepada kualitas dari dalam diri. Karakter yang kuat, kepribadian yang unik, dan kualitas lain yang distimulasi oleh otak, seperti kecerdasan dan pola pikir. Kualitas-kualitas personal ini menciptakan definisi seksi yang lebih dalam maknanya, dan lebih manusiawi. Paling tidak, otak yang cerdas dan kepribadian yang menawan tidak mungkin dimiliki oleh burung merak atau cendrawasih bukan? Atau sebaliknya, sebodoh-bodohnya kita, tentunya kita tidak mau disamakan dengan burung-burung dan binatang lainnya, yang hanya menggunakan tampilan fisik untuk menarik perhatian. Teman-teman saya, yang memiliki tipe tubuh layaknya gadis-gadis zaman Renaissance dan jelas tidak masuk kategori seksi zaman sekarang, justru adalah manusia-manusia yang memiliki kepribadian paling luar biasa yang saya kenal. Apa mereka seksi? Ya, tentu saja. Bentuk tubuhnya terkompensasi dengan kecerdasan dan jiwa yang hangat. Justru kualitas keseksian mereka sifatnya lebih langgeng daripada seksi secara fisik. Kuncinya, nyaman dengan kulit sendiri. Sayang, faktanya, kebanyakan manusia sulit untuk merasa nyaman dengan tampilan fisik sendiri. Rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput pekarangan kita bukan?

Jadi, apa seksi menurut saya? Seksi, menurut saya, adalah kamu dan saya. Saat kita duduk berhadapan di gerai kopi, dengan secangkir latte ukuran grande di tangan kita masing-masing. Terserah mau rasa apa. Bisa vanilla, capuchino, hazelnut, yang penting ada kamu dan saya. Mengambil tempat di sudut ruang, bersandar di kursi masing-masing dengan meja kecil bundar diantara kita, diiringi bebunyian bernuansa jazz serasa di New Orleans. Udara terasa dingin karena pendingin ruangan, tapi perbincangan kita terasa hangat. Kita berbicara tentang ribuan topik yang sambung menyambung, atau justru melompat-lompat tak terhubung. Tentang konser mini terakhir yang pernah didatangi sampai film festival terakhir yang pernah ditonton. Tentang buku bacaan favorit yang dibaca berkali-kali sampai serial TV yang tidak pernah dilewatkan tiap episodenya. Tentang Zoroaster, kepercayaan orang Persia kuno menyembah api sampai penemuan sarkofagus di tanah Sulawesi. Tentang teori bintang kembar sampai krisis Tulip. Tentang lucunya panda merah sampai seramnya ikan lele Nepal. Tentang kondisi ekonomi negeri tercinta sampai kampanye partai politik yang kita cibir habis-habisan. Berdua kita menertawakan kebodohan yang pernah kita buat sepanjang hidup, sepanjang kita bisa mengingatnya. Karena berdua percaya bahwa kaki kita akan tetap menginjak bumi saat kita sadar bahwa kita bodoh, dan bisa menertawakannya dengan lepas sampai puas. Kita saling lempar balas lelucon, yang mungkin hanya kita yang tahu dimana sisi lucunya. Kita menjadi kita, lepas, tanpa ada imej diri yang perlu ditahan dan dicemaskan.
Menurut saya, seksi dan menarik lebih dari sekadar imej tubuh, penampilan, dan sensualitas. Seksi adalah buah pikir diikuti kuatnya karakter, dan menarik adalah kemampuan menggiring interaksi diikuti kepercayaan diri. Seksi adalah paduan antara kenyamanan atas kulit dengan kualitas isi, diterjemahkan dengan apik saat berbincang di kedai kopi. Seksi adalah kita dan suasana, yang kita bangun dan kita terbuai di dalamnya.

Itu definisi seksi menurut saya. Kalau menurut kamu?

Senin, 20 Juni 2011

Gravitasi

Saya punya seorang kawan di kantor lama. Wanita. Usianya masih muda, tapi sudah merasakan pencapaian karir yang bisa membuat iri wanita-wanita berpandangan modern di negeri ini. Penampilannya menarik, layaknya wanita-wanita mandiri jaman sekarang. Sempurna dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rambutnya terurai tebal, jelas dirawat dengan seksama. Padu padan bajunya selalu serasi, diiringi bau harum semprotan parfum impor. Kakinya dibungkus sepatu hak tinggi penuh gaya, yang modelnya selalu diserasikan dengan tampilan keseluruhan. Gaya bicaranya ringan, tapi tajam, menunjukkan kualitas pribadinya. Teman saya ini, tidak bisa dihentikan. Unstoppable.

Suatu malam, dia menelpon saya. “Booooy, kamu ada dimana? Ketemu yuk, aku pengen cerita nih”. Ya, dia selalu memanggil saya dengan sebutan “boy”. Alasannya saya tidak tahu persis. Sebagai pribadi yang tidak suka mengulik hal remeh temeh, saya tidak terlalu peduli mau dipanggil apa. Nada bicara teman saya di telpon tidak seperti biasa. Dari intonasinya, saya menyimpulkan bahwa mode perasaannya sedang dalam posisi labil, atau cemas. Kondisi yang lumayan jarang saya liat dalam kesehariannya yang penuh percaya diri. Kalau dalam kondisi galak sih sering. Maklum, wanita karir. Semuanya harus teratur, rapi, detail, terencana.

Jam sepuluh malam di hari yang sama, kami duduk saling berhadapan di sebuah gerai pizza. Teman saya memesan seloyang pizza berpotongan empat. Satu potong terbaring di piringnya, Cuma diulik-ulik dengan garpu, tapi masih utuh belum masuk mulut sepotong kecilpun. Dua potong yang lain sudah mendarat selamat di lambung saya. Satu lagi sedang dimamah oleh geligi saya. Berhubung kemampuan multitasking saya bagus untuk semua aktivitas yang berhubungan dengan makanan, jadi saya tetap konsentrasi mendengarkan ceritanya, sembari memberi komentar di sana-sini.

Seseorang dari masa lalu datang ke Jakarta. Bukan sembarang orang, tapi seorang pria yang sempat memberikan warna dalam hidup teman saya. Jelas bukan sembarang warna yang diberikan si pria ini. Kalau warnanya biasa saja, tidak mungkin teman saya jadi kalang kabut begini. Dari ceritanya, berdua sempat terjalin sebuah hubungan. Bukan hubungan yang terbungkus status, tapi jelas manis. Terjadi saat mereka menempuh pendidikan di sebuah SMA semi militer di Magelang dulu. Sekarang, setelah hampir tujuh tahun berselang, si pria yang menetap di sebuah kota di Sumatera, datang ke Jakarta untuk acara keluarga. Teman saya ingin sekali bertemu, lima belas menit saja pun tidak apa-apa. Ingin melihat seperti apa si pria sekarang, menanyakan kabarnya, pekerjaannya, hidupnya, apakah baik-baik saja. Teman saya meyakinkan saya –dan saya pikir juga berusaha meyakinkan dirinya sendiri- bahwa tidak ada harapan muluk apapun dari pertemuan ini. Hanya bertemu, tidak lebih. Toh mereka berdua sudah hidup dalam konsep dunia yang berbeda. Teman saya adalah seorang perempuan kota cemerlang, sedangkan si pria memilih hidup nyaman di kota tenang.
“Cuma pengen ketemu aja, boy. Pengen nunjukkin ini lho gue sekarang. Apa yang udah gue capai”, ujar teman saya, masih belum memasukkan secuilpun pizza ke mulutnya. Kebanggan diri, yang menurut saya sangat wajar bila ingin ditunjukkan ke dia yang pernah terlibat dalam hubungan yang kompleks dengan kita. Kesimpulan kami berdua malam itu, tujuan dari misi pertemuan teman saya dengan pria masa lalunya adalah murni untuk menunjukkan progres hidup, setelah tujuh tahun berselang. Tidak ada embel-embel romantis apapun. Romantisme itu sudah ditinggal tujuh tahun yang lalu.

Sabtu malam, beberapa hari setelah pertemuan itu, saya reunian dengan teman-teman seperjuangan di organisasi pers mahasiswa dulu. Setelah makan malam, temu kangen kami lanjutkan dengan berkaraoke. Di tengah keasikan berbincang sembari menunggu ruang karaoke tersedia, tiba-tiba muncul pesan di blackberry messenger saya. “Booooy, bisa ditelpon nggak? aku sedih“. Nomor teleponnya pun muncul berpendar-pendar di layar handphone saya. Sebelum memencet simbol gagang telpon berwarna hijau, saya Berpindah mencari lokasi yang lebih tenang. Menghindari hiruk pikuk.
“It’s him, Boy“ ujarnya seketika tanpa diawali dengan sapaan ”Halo”.
”Maksudnya?”, tanya saya tidak paham
“Ya itu dia. Dia nggak berubah. Tetep sama, gaya ngomongnya, semuanya tetep sama. It’s him. He is the one, Boy. Tujuh tahun ternyata perasaanku masih kayak gini.”
Bingung mau berkomentar apa, terlontar komentar bodoh dari mulut saya, “He’s just not into you. Kamu pasti akan dapat yang lebih baik.”
Teman saya langsung menghardik, “Kenapa semua orang ngomong gitu! Termasuk kamu! Nggak Boy, cuma dia, nggak ada yang lain. Ya Cuma dia”, suaranya makin lirih sesekali diselingi isakan.
“Iya”, jawab saya.
“Iya” untuk dua alasan. Pertama, “Iya” untuk menanggapi setuju ucapan teman saya. Kedua, ‘iya” untuk menyetujui fakta bagaimana seseorang bisa mengikat kita seumur hidup. Bukan terikat dalam sebuah status, apalagi dalam ikatan suci pernikahan. Terpisah, tapi terikat. Bagaimana kita bisa terbelenggu masa lalu, jadi susah untuk maju. Bagaimana seseorang bisa membuat kita mau saja, dengan sadar dan sengaja, melakukan tindakan-tindakan bodoh. Bagaimana gravitasi bukan hanya mengarah ke bawah, menjadi milik bumi mengikat benda-benda yang menempel di atasnya, atau mengikat bulan. Gravitasi juga bisa dimiliki oleh seseorang, untuk menarik dan mengikat orang lain. Membuat orang lain tumbuh beredar di sekitarnya. Pergi jauh, tapi tetap kembali lagi.
Lelaki itu memberi tahu teman saya bahwa dia akan segera menikah, dengan seorang perempuan yang teman saya juga kenal. Seorang perempuan yang juga terlibat dalam peristiwa-peristiwa di masa lalu. Menurut saya, semesta alam tidak mendukung teman saya untuk bersama dengan si pria. Teman saya pun mengamininya. Ternyata rasionya tetap menyala walaupun sedang dirundung nelangsa. Namun tetap saja tidak mungkin saya memberi tahu dia untuk berhenti menangis, atau minum secangkir kopi supaya tenang, atau menceritakan lelucon supaya dia tertawa. Malam ini, semua tentang kesedihannya, tentang sakit hatinya, tentang kenangannya dengan si pria dari dari masa lalu. Jadi saya hanya diam, mendengarkan, menjawab bila ditanya, dan memberi komentar sederhana disana-sini. Kembali ke ruang karaoke setelah pembicaraan kami berakhir, saya menyanyikan lagu “Stuck in a Moment” dari U2, “Linger” dari The Cranberries, dan “Gravity” dari Coldplay untuk teman saya.

Sekarang teman saya sudah tinggal di luar negeri. Tapi, sepotong bagian dari hatinya masih tertinggal di sini. Dibawa si pria., sepertinya tidak akan dikembalikan. Atau, teman saya dengan rela hati memberikan sepotong hatinya ke si pria, tidak terpikir maksud untuk diminta kembali. Tapi, hati yang tidak utuh bukan alasan untuk tidak terus maju bukan? Lagipula, siapa manusia di jaman ini yang hatinya masih utuh. Sadar atau tidak, pasti kita pernah memberikan secuil hati kita ke orang lain, atau kita menyimpan cuilan hati orang lain. Sadar atau tidak kita tertarik gravitasi milik orang lain, atau menarik orang lain dalam radius gravitasi kita. Di Singapura, teman saya mengepakkan sayap karirnya. Saya yakin dia tidak akan berhenti melangkah, terlepas dari utuh atau tidak hatinya. Sudah saya sebutkan diawal bukan, bahwa teman saya ini tidak bisa dihentikan. Unstoppable. Apalagi kiprah-kiprah manis yang akan dia perbuat? Tunggu saja....

Beruntung

Note : Tulisan ini dibuat untuk dimuat di rubrik ‘Story of My Life”, rubrik perkenalan karyawan baru di majalah internal PT Holcim Indonesia Tbk

Story of My Life:
Bayu Edmiralda
Brand Development Coordinator PT. Holcim Indonesia Tbk


Beruntung Bisa Bekerja
Saya cukup dipanggil Bayu. Saya merasa beruntung bisa bekerja di Holcim Indonesia. Sejak lulus dari jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada tahun 2009, saya, sangat beruntung, bisa langsung bekerja. Pengalaman kerja pertama saya di PT. Sari Husada, Danone Baby Nutrition. Kesempatan ini saya dapat setelah saya, dengan sangat beruntung, berhasil menjadi juara pada sebuah kompetisi bisnis yang diselenggarakan oleh perusahaan asal Perancis ini. Selanjutnya, saya dipindah ke Danone Aqua, mengurusi brand Mizone, sebuah merek minuman isotonik. Posisi terakhir saya di sana adalah sebagai Associate Brand Manager. Sekarang, di Holcim saya bekerja di divisi Group Marketing and Branding sebagai Brand Development Coordinator

Tumbuh “Disuapi“ Buku
Seingat saya, saya hampir tidak pernah punya mainan. Dari kecil, saya selalu dihadiahi buku oleh orang tua maupun sanak kerabat. Kisah petualangan Enid Blyton, seri Trio Detektif Alfred Hitchcock, dan analisa-analisa Hercule Poirot oleh Agatha Christie adalah favorit saya kala itu. Jadi ingat, sewaktu kecil ibu saya suka mengajak saya ke pameran buku. Buku yang sudah lama menjadi incaran kami adalah ensiklopedia anak Pintar Widya Wiyata dengan tagline-nya yang terkenal “Mengapa Begini Mengapa Begitu”. Dalam benak saya dan ibu saya kala itu, kami sama-sama tau. Ibu saya tau saya ingin sekali memiliki paket ensiklopedia itu. Tapi saya juga tahu ibu saya tidak mampu membelikannya, yang harga satu paketnya sudah menembus angka 1 juta rupiah, bahkan pada masa 25 perak masih bisa untuk membeli sebungkus permen Sugus. Jadi solusinya, saya membaca di tempat, bab demi bab, seri demi seri, walaupun tidak semuanya selesai saya baca. Sejak itu, saya makin menghormati ibu saya. Bukan hanya karena alasan dia perempuan yang melahirkan saya, tapi karena keberaniannya menghadapi lirikan cemooh “bukannya beli malah baca di tempat” dari si penjaga stand dan pengunjung berduit lainnya. Bahkan untuk anak seusia saya waktu itu, saya tahu rasanya pasti tidak mengenakkan dipandang seperti itu. Kurang ajarnya saya, saya tetap asik membaca, menggunakan privilese sebagai anak kecil yang (pura-pura) tidak tau urusan orang dewasa. Urusan orang dewasa yang penuh pertanyaan Mengapa Begini Mengapa Begitu?
Semakin besar, bacaan saya makin beragam. Buku favorit saya adalah kumpulan cerpen dari pengarang India, Jumpha Lahiri, yang berjudul “Interpreter of Maladies”. Saya juga menyukai film, terutama film festival. Film favorit saya adalah “Dead Poet Society”, yang ceritanya juga mengenai literasi.

Percaya atau Tidak
Secara pribadi, ada beberapa hal yang saya percaya dan tidak. Saya percaya: falsafah Jawa “Kanjeng Gusti Mboten Nati Sare” (Tuhan tidak pernah tidur); hantu; karma; keberuntungan; dan prinsip “Apa yang dipikirkan orang tentang saya adalah urusan mereka, bukan urusan saya’ (what people think about me is their business, not my business). Saya tidak percaya: teori revolusi Darwin; buku-buku pengembangan diri beserta para motivator; ramalan bintang; pemerintah; organisasi berbasis agama; dan keadilan dalam praktek poligami.

Undur Diri

Saya bekerja di bidang brand marketing. Selama hampir dua tahun ini saya mengurusi sebuah brand minuman isotonik yang kiprahnya sangat dinamis. Jujur saya mencintai brand ini. Saya mencintai tim saya, saya mencintai pekerjaan saya. Tapi, Ya..saya mengundurkan diri dari pekerjaan saya sekitar dua bulan yang lalu. Kenapa?

PEMBENARAN
Apa sih hal yang secara natural paling mudah untuk dibuat oleh manusia? Menurut saya, jawabannya adalah excuse atau pembenaran. Dan seperti sejuta manusia lainnya (golek bolo/cari teman) saya punya sejuta pembenaran yang bisa saya langsung saya petik dari udara, sebagai alasan mengapa saya mengundurkan diri. Mulai dari tidak cocok dengan teman satu tim, merasa benefit yang diterima tidak sebanding, atau mendapatkan kesempatan yg lebih baik di luar sana. Tapi, lagi-lagi semuanya adalah pembenaran. Mungkin saya bisa meyakinkan orang lain dengan pembenaran yang bisa buat, tapi jelas saya tidak bisa membohongi diri sendiri kan? Makanya, setelah melakukan kontemplasi dan pemetaan masalah (halah,nggaya). Inilah ultimate reason saya. Pembenaran yang sebenar-benarnya.

TUMBUH KE ARAH BERBEDA
Saya pernah bercakap-cakap tentang relationship (or shit?) dengan sahabat saya, yang punya level keskeptisan tentang hubungan dan pernikahakan yang sama tingginya dengan saya. Kami punya opini yang sama tentang fenomena pasangan yang berpisah tanpa sebab. Maksudnya tanpa sebab dilihat dari sudut pandang orang lain di luar hubungan tersebut. Wajar adanya kalau dua insan yang terlibat dalam sebuah hubungan, pada titik tertentu, tumbuh ke arah yang berbeda, menjadi dua pribadi yang berjauhan. Wajar jika mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan, karena memang sudah tidak ada alasan untuk dipertahankan. Dan kami juga setuju bahwa itu tidak salah. Kedua insan tersebut tidak salah, dan tidak ada yang salah dengan hubungannya. It's just unfortunate event. Period!
Lalu, apa hubungannya dengan alasan berhentinya saya? Ya, saya dan brand tumbuh ke arah yang berbeda. Sounds like another "pembenaran" eh? Ketika kesuksesan brand menuntut pergerakan yang makin dinamis, tapi saya merasa tenggelam dan tidak bisa bernapas, maka saya memutuskan harus berhenti. Ketika brand saya mengusung jargon "Love Today" -dengan soundtrack dari salah satu penyanyi favorit saya, Mika- tapi saya mulai tidak bisa merasakan maknanya, maka saya memutuskan harus berhenti. Saat suatu hari saya merasa seperti robot dan merasa ini bukan saya, maka saya memutuskan harus berhenti. Dan saat suatu pagi saya jadi begitu enggan untuk bangun dari kasur dan memulai hari, maka saya memutuskan harus berhenti. Percayalah, kami -saya dan pekerjaan saya- tidak ada yang salah. Pekerjaan saya sangat menyenangkan, apalagi tim saya. Yah memang sih ada satu orang di tim saya yang dzolim, tapi bukankah beberapa orang memang ditakdirkan bersifat tiran? Jadi, walaupun memerlukan proses yang cukup lama, akhirnya saya bisa menerima perlakuannya. Kasus saya dan pekerjaan saya menyentuh prinsip pada level yang tidak bisa ditawar dan diganggu gugat. Prinsip saya, karena hidup hanya sekali dan tidak tahu kapan akan berhenti, “bahagia” menjadi prioritas utama saya. Saya ingin merasa bahagia tiap hari, termasuk di tempat kerja. Tentu saya tidak berpikir naif. Pasti ada hari yang mengesalkan di tempat kerja. Deadline yang semakin dekat, proyek-proyek yang menumpuk, meeting yang tidak bisa dihindari, dan lembar-lembar presentasi yang harus dikerjakan dengan indah. Tapi, pastinya, saya tahu overall feeling saya, apakah saya bahagia atau tidak. Saya merasa tidak. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti. It was just an unfortunate event. Period!
Jadi, selamat tinggal kamu si botol biru. Semoga kamu makin bahagia, dan makin membuat bahagia orang-orang yang mengurusi kamu. Dan hai kamu si semen Swiss. Let me do this bitch. Hahahahaha

Selasa, 14 Juni 2011

Memulai Lagi, Dua Hari yang Lalu


Dua hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman lama. Bukan kebetulan, sudah direncanakan sebelumnya.  Diawali dari percakapan via situs jejaring sosial, bertanya kabar diselingi saling mengolok namun maksud bercanda, ditutup dengan janji bertemu pada hari dimana kami berdua bisa. 
Dua hari yang lalu, saya berbincang asik dengan seorang teman lama. Saat janjian, saya membiarkan dia menentukan lokasi kopi darat. Mengingat dia adalah commuter yang tinggal di Bogor, dan pengguna setia transportasi umum, jadi saya yang tinggal di tengah kota ikut saja. Dia memilih sebuah mall kelas menengah sebagai lokasi kita bertemu. Dan memilih sebuah restoran seafood murah meriah di dalam mall tersebut untuk berbincang sembari makan malam. Saya cukup terkejut dengan pilihannya, yang –kalau boleh jujur dan tidak bermaksud sombong- tidak lagi masuk dalam daftar pilihan saya. Selama ini, saya berusaha mengingatkan diri sendiri untuk selalu berpijak pada bumi. Tidak tercerabut dari akar masa lalu. Tidak lupa masa susah. Tapi dengan fakta terkejutnya saya dengan pihan-pilihan sederhana  teman saya ini, saya jadi bertanya ke diri sendiri, “Apakah saya sudah melayang terlalu jauh?”
Dua hari yang lalu, saya berdialektika dengan seorang teman lama. Teman jaman kuliah di Jogja. Jurusan yang sama, dan organisasi pers mahasiswa yang sama pula. Tidak berhenti di situ kesamaan kami, kami berdua juga menyukai film. Bedanya, saya menyukai film festival atau independen, sedangkan dia menyukai film Indonesia. Jadi ingat, dulu kami berdua pernah mengejar roadshow film “Mengejar Mas-mas” di sebuah kampus swasta di bilangan Babarsari, Jogja.  Di siang yang terik, dengan pakaian yang kami anggap layak pakai untuk bertemu artis, kami berdua berboncengan dengan motornya yang...yah...susah untuk dideskripsikan kondisinya. Di tengah acara, kami berdua saling berbisik lirih mengagumi wajah para pelakon. Gembira bisa melihat artis secara langsung, namun juga sedikit menyesal mengapa tadi lupa memakai gel rambut, atau menyemprotkan wewangian murah di badan. Saya jadi bertanya-tanya, entah dimana keberadaan artis-artis  ini sekarang? Sebegitu susahnya kah untuk survive di jagad perfilman tanah air? Menurut saya akting mereka tidak jelek. Dinna Olivia, pemeran pelacur dalam film ini, justru punya kemampuan berlakon yang mumpuni. Atau, apakah kualitas seorang bintang film sekarang diukur dari seberapa besar cup dadanya? Entahlah. Tidak mau ambil pusing. Kami berdua pulang sebelum acara roadshow selesai, karena teman saya ada kuliah sore. Dinna Olivia tidak muncul hari itu.
Berbincang dengan teman saya ini, selain tentang film, pasti tidak jauh-jauh dari topik tulisan dan literasi. Dia adalah seorang penulis.  Dari dulu, tulisan teman saya ini bagus. Percayalah..saya bukan tipe orang yang mudah mengumbar pujian. Lebih mudah bagi saya untuk mengumbar caci maki dan guyonan menyerempet cabul. Tapi, yah, harus saya akui saya mengagumi tulisan-tulisannya. Teman saya ini adalah seorang calon PNS yang bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tapi dia juga kontributor untuk majalah Rolling Stone Indonesia versi online, dan situs jakartabeat.net. Dua aktivitas yang bertolak belakang, tapi bisa dia manage dengan baik.
Saat sedang asik berbincang, tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Menyodorkan buku itu ke saya, meminta saya untuk membacanya dengan sedikit memaksa, karena tulisannya ada di buku itu. Agak sebal tapi juga penasaran, saya mulai membalik-balik halaman buku. Ternyata isinya adalah kumpulan artikel yang pernah diunggah di situs jakartabeat.net selama periode 2009-2010. Kontennya dibagi menjadi dua besar, tentang musik dan tentang fenomena sosial kehidupan manusia. Artikelnya bagus-bagus. Pun tulisan teman saya. Tulisannya berjudul “Bangku Taman : Tiga Menguak Jakarta”, tentang sebuah band indie dari Jogja yang diawal-awal karir manggungnya dibayar dengan gorengan. Makin tenggelam dalam bacaan, celotehan ceriwis teman saya pun hanya sayup-sayup mampir lewat di ujung pendengaran saya. Terkejut, saat mengetahui ada orang lain yang saya kenal juga memberikan kontribusi tulisan di buku ini. Orang itu adalah atasan saya di kantor yang lama. Seorang manager dengan pribadi unik, cerdas, dan wawasan tentang musik yang luas. Dia mengulas album grup duo “Endah N Rhesa” dalam artikel berjudul “Nowhere to Go : Album Folk-Jazz Minimalis yang Mendebarkan”. Hebat! Dari judulnya saja sudah menggoda. Sedangkan saya, mengulas Duo Maia atau Trio Macan saja nampaknya belum bisa. Jadi ingat, dulu saya dan atasan saya ini pernah sesekali berbincang di luar masalah pekerjaan. Dia pernah bertanya –saya lupa kalimat persisnya- yang intinya dia menanyakan saya, supaya saya bertanya ke diri saya, apakah saya berada di jalur pekerjaan yang tepat. Mengingatkan saya sebelum saya sadar merasa  “terjebak” suatu hari nanti di masa depan, dan sudah tidak ada kesempatan untuk kembali. Dengan mantap saya menjawab saya berada di jalur yang tepat. Saya bekerja di bidang brand development untuk industri Fast Moving Consumer Goods. Saya mencintai bidang pekerjaan ini. Mengatur strategi untuk membangun imej sebuah merek menurut saya sama seperti bermain catur, atau bermain game computer dengan genre strategi perang. Penuh dengan pertimbangan, ide, dan aksi utak-atik. Jadi, ya, sejauh ini saya menikmati pekerjaan saya. Walaupun, harus saya akui, terkadang pekerjaan ini membuat saya merasa lost. Alhamdulillah, pertemuan dengan teman saya ini membuat saya menemukan cara untuk bisa merasa utuh.
Dua hari yang lalu, saya iri dengan seorang teman lama. Pertama, karena dia tidak berubah. Dia tetap menjadi dia. Tetap sederhana, tetap apa adanya, seperti jaman kuliah dulu. Tapi di sisi lain, dia semakin kaya raya. Kaya raya dalam pola pikir dan kosa kata. Kekayaan yang saya juga ingin punya.  Kedua, dia bisa menjaga cita-cita, dan menyeimbangkan hidupnya. Mengejar apa yang dia mau, tapi juga melakukan apa yang dunia mau. Sedangkan saya yang sekarang tidak bisa begitu. Saat dia bilang, “Kalau aku bisa nulis di akhir pekan dan nonton konser band minimal sebulan sekali, itu sudah cukup buatku, Bay”, membuat saya berpikir, “Lalu, apa yang cukup buat saya?”. Bukannya saya tidak bersyukur dengan adanya saya sekarang. Justru saya sangat bersyukur dengan pencapaian karir yang sudah saya peroleh dalam rentang waktu yang masih seumur bunga jagung. Tapi, semakin lama saya duduk berhadapan dengannya dan berbagi cerita, semakin sadar saya bahwa beberapa akar values saya sudah tercerabut dari tempatnya. Saya ingin menancapkan akar-akar itu kembali. Semoga bisa.
Pertemuan dengan teman lama dua hari lalu menggerakkan saya untuk mulai lagi menulis. Karena saya butuh untuk kembali utuh, feel content. Lagipula, walaupun hidup saya standar, tapi pasti ada fragmen-fragmen yang layak untuk didokumentasikan, bukan? Pun hidup orang lain. 
Jakarta, 11 Juni 2011