Senin, 07 November 2011

Jebakan Jakarta

Terlepas dari segala kemacetan dan huru-haranya, saya cinta Jakarta. Kota ini gemerlap, cocok bagi saya yang suka mencari cahaya. Kota ini progresif, cocok bagi saya yang suka berlari. Kota ini penuh janji, cocok bagi saya yang hidup digerakkan oleh mimpi. Di Kota ini satu persatu saya bangun dan tata dengan rapi fondasi ambisi. Jelas belum jadi utuh, bahkan masih sangat dasar. Masih jauh dari selesai.
Tapi kemudian ada satu hal yang saya sadari, sisi jahat dari Jakarta. Satu hal yang culas dan hitam, yang bisa membuat fondasi mimpi saya hancur berantakan. Satu hal yang diam-diam menjebak dan menggerogoti saya dari dalam. Sebuah jebakan, yang harus saya akui pernah menjebak saya. Jebakan Jakarta.
Di Jakarta, menjadi sesuatu, wajib hukumnya
Jakarta ibarat sebuah periuk dimana setiap makanan yang ada di dalamnya wajib memiliki rasa yang enak. Jika kita menjadi makanan berasa hambar, siap-siap untuk terlempar keluar dari periuk. Jakarta ibarat sebuah panggung sandiwara kolosal dimana setiap pemeran wajib menjadi tokoh utama. Jika kita hanya menjadi pemain figuran atau cameo, siap-siap untuk ditendang keluar ke balik layar. Menjadi sesuatu, wajib hukumnya di sini. Dan saya setuju akan hal ini. Sejak detik pertama saya tiba di ibukota, saya sudah bertekad bahwa tujuh menit kemudian, sebelas jam kemudian, dua puluh satu hari kemudian, enam belas bulan kemudian, tiga puluh tahun kemudian, saya harus menjadi lebih baik dibandingkan dengan saat pertama kali kaki saya menjejak.
Orang-orang seperti saya, ibaratnya adalah orang-orang yang masih berada di kaki gunung. Kami menatap kagum sekaligus iri mereka yang sudah sampai di puncak. Di atas sana, nampaknya, pemandangannya luar biasa. Cakrawala juga nampak lebih cantik. Kami pun memutuskan untuk beranjak ke atas. Mendaki dengan segala daya upaya yang kami punya. Karena kami tahu, atau kami pikir kami tahu, bahwa diatas sana semua tampak lebih indah, dan semua menjadi lebih mudah. Sayangnya, sebagian dari kami menjadi terburu-terburu. Tidak sabar. Baru beberapa langkah kami capai, baru beberapa bulir peluh menetes dari dahi kami, tapi kami sudah berharap ingin menikmati pemandangan yang sama, merasakan kesejukan yang sama, menikmati kemudahan yang sama.
Itulah jebakan Jakarta. Sebagian dari mereka yang masih berstatus pemain pemula di sini, sama seperti orang-orang di kaki gunung. Ingin segera menikmati puncak. Tidak sadar bahwa jalannya terjal dan berliku, dan tidak mau menghadapi perjuangan yang membuat kaki luka dan memar membiru. Ibarat hidangan di periuk, mereka langsung ingin menjadi makanan enak. Padahal dibutuhkan percobaan berkali-kali supaya sebuah masakan bisa menggoyang lidah. Ibarat sebuah sandiwara, mereka berusaha untuk langsung bisa mendapatkan piala Oscar. Padahal latihan berkali-kali untuk bisa menjadi pemeran utama yang mempesona.
Seorang teman pernah bercerita kepada saya. Cerita tentang sahabatnya yang berasal dari keluarga kaya raya. Sahabatnya yang bisa membeli puluhan pasang sepatu perancang ternama dengan begitu mudahnya. Dia diperkenalkan dengan seorang pemuda, yang tak kalah kaya rayanya. Pada suatu hari, berkencanlah mereka. Sang Pangeran menjemput dengan mobil ranger mewah. Sang puteri bersolek dengan gaun satin, tas beludru, dan sepatu mahal yang nampaknya tidak diperuntukkan untuk berjalan, karena membuat kakinya sakit setiap dia melangkah. Mereka makan malam di restoran mewah, yang harga satu porsi makanannya cukup untuk makan tiga bulan rakyat jelata. Mereka menikmati santap malam, tapi jarang bicara satu sama lain. Mereka justru lebih sering membunuh kebisuan dengan asyik mengetik di blackberry mereka masing-masing. Entah kepada siapa mereka bicara.
Setelah kencan impian selesai, setelah tuan puteri diantar pulang ke istana kecilnya, dia berkeluh kesah panjang lebar kepada teman saya. Dia baru saja pulang dari sebuah kencan impian. Kencan yang selalu diingini oleh orang-orang kaki gunung seperti saya, seperti kita. Tapi ternyata sang puteri tidak menikmatinya. Dia tidak suka makanannya, dia tidak suka dijemput dengan mobil mewah tinggi yang membuatnya kesulitan memanjat ke tempat duduk, dia tidak suka sepatu mahal yang dia pakai yang seakan-akan menggigit sakit telapak kakinya yang kecil dan mulus. Dia ingin kencan yang diisi oleh percakapan yang hangat, makan di warung pinggir jalan, menggerai rambutnya, cukup mengenakan kaos dan celana jeans. Itu saja.
“Kalo lo nggak suka pake sepatu itu, terus kenapa tetep lo pake?” tanya teman saya keheranan. “Ya gue harus, supaya dia respect sama gue, menghormati gue,” jawab sang puteri.
Pencitraan diri. Menciptakan impresi.
Inilah jebakan Jakarta lainnya. Khawatir dengan apa yang orang pikirkan tentang kita. Ingin dihormati dan memberikan impresi, tapi dengan segala atribut kebendaan dan material yang menempel di tubuh kita. Ada lagi cara lain, yaitu menggunakan media sosial. Kita sedang ada dimana, makan dimana, hang out dimana, beli baju harganya berapa, disebar melalui facebook, twitter, bahkan status Blackberry messanger. Didukung dengan foto-foto profile yang makin mensyahkan statusnya. Joko Anwar, seorang sutradara anak negeri yang, menurut saya, jenius pernah berkicau di twitter yang bunyinya kira-kira begini : “Don’t try too hard, people. This is twitter, not school.” Menyindir bagaimana orang-orang berusaha untuk terlihat hebat dan pintar melalui media twitter.
Teman saya di gym pernah membagi idenya ke saya. Dia adalah seorang manager di perusahaan ternama, sedang menempuh gelar S2. Dia berkata kepada saya :
“Di jakarta ini ada dua macam orang kaya, Bay. Yang pertama orang yang memang bener-bener kaya, punya investasi, usaha, perusahaan. Kayak Tommy Winata atau Bob Sadino gitulah. Liat aja mereka. Udah nggak peduli lagi harus pake baju bagus apa makan di restoran mahal. Gue pernah liat Bob Sadino jalan-jalan cuma pake celana pendek sama sendal jepit. Mereka itu sudah sampe di tahap values yang lebih esensial. Nah yang kedua adalah orang yang kaya nanggung. Yah mungkin kayak kita-kita gini lah. Nah orang kaya nanggung ini yang suka pamer-pamer status.”
Berbela sungkawa atas meninggalnya Steve Jobs dan mengutip hal-hal yang berkaitan dengan Apple hanya karena itulah yang sedang dilakukan orang-orang. Berada di sebuah konser jazz tapi tidak tahu siapa Nina Simone, hanya karena orang-orang berpikir bahwa jazz itu classy. Semua ini dilakukan agar orang-orang tahu siapa kita. Dimaksudkan agar orang-orang berpikir bahwa kita keren, kita gaul, kita mampu. Dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa kita adalah insan Jakarta, yang memenuhi segala standar sosialnya. Bahwa kita adalah manusia di puncak gunung, dengan segala keindahan pemandangan yang bisa kita lihat dan rasa. Padahal, bisa jadi kita hanyalah manusia di kaki gunung.
Ini bukan sahara, tapi kita terjebak fatamorgana.
Tidak mau memungkiri, saya sempat jatuh terjerembab dalam jebakan Jakarta. Ingin ini-itu yang jelas-jelas saya belum mampu. Beli ini-itu yang jelas-jelas diluar anggaran belanja saya. Mengatakan ini itu supaya terlihat keren di mata orang-orang. Bodohnya saya. Tapi untungnya saya punya teman-teman yang baik, yang segera melemparkan sulur dan tambang supaya saya bisa memanjat naik keluar jebakan. Yang bisa meyakinkan saya bahwa tidak perlu tetek bengek material untuk menjadikan diri saya impresif. Tidak perlu status-status untuk meyakinkan orang untuk melihat saya. Seperti yang dikatakan teman gym saya, dibutuhkan hal-hal yang lebih esensial, untuk menjadikan kita manusia puncak gunung. Tentunya saya sangat tidak pantas untuk dibandingkan dengan Bob Sadino. Siapalah saya. Tapi terlepas dari seberapa harta yang kami punya, kami yakin bahwa seharusnya hal-hal esensial-lah yang menjadi nilai “jualan” kami ke orang lain. Sebaliknya, hal-hal esensial pula yang seharusnya kami “beli” dari orang lain.
Beberapa kali, kami makan di retoran sushi. Saya dan seorang sahabat saya. Tidak sering, hanya saat kami ingin merayakan hal-hal yang menurut kami penting. Duduk berdua, kami sering mengingat kejadian-kejadian di masa lalu. Kejadian-kejadian saat kami masih sama-sama kuliah di Jogja. Dari dulu, kami suka merayakan hal-hal yang menurut kami penting. Dulu, yang kami sebut dengan perayaan adalah pergi ke Malioboro Mall naik bus, masing-masing memesan 2 butir donat J.Co, Frapuchino juga kami pesan satu gelas saja untuk berdua. Restoran sushi mungkin adalah hal sepele bagi beberapa orang, tapi ini adalah bukti bahwa kami sudah cukup jauh melaju. Sekarang kami masih sering makan di warung tenda pinggir jalan, minum teh jahe di angkringan, masih saling menimpali percakapan dengan bahasa Jawa. Karena itulah sulur-sulur kami, yang membantu kami keluar dari jebakan jakarta, dan disaat yang sama juga membantu kami naik ke puncak gunung.
Kami yakin suatu saat nanti kami akan sampai diatas dengan cara kami sendiri, menikmati cakrawala di puncak gunung. Kami yakin suatu saat nanti kami akan menjadi sesuatu, namun bukan karena materi kami. Tapi karena kami adalah kami, sebagai pribadi, dan sebagai manusia. Itu saja. Itu juga cara yang kami pakai untuk melihat dan menghargai orang lain.
Kami tidak mau terjebak dalam teori rumput tetangga. Karena rumput kami pun sama hijaunya. Kami memanfaatkan semua yang kami punya sekarang, untuk naik ke puncak gunung, dengan cara kami sendiri. Cara yang kami tahu dan kami yakini.
I feel good about myself right now, at this moment. Really.
One, because I’m a free man.
Second, for being able to afford certain good things. But to know the fact that there are alot of things I still can not afford and have, it makes me feel good about myself also. It means that I still need to progress. That I’m still on the journey. That I’m still nobody.
Third, to know that people have it, and I don’t have it, but I don’t really care about it. It makes me feel good about myself also, because it means I’m not living under anyone’s shaddow.
Fourth, to know that I’m could be, sometimes, at certain fancy places. Or, sometimes, I could eat certain fancy foods. But to make myself for not letting people know about it, makes me feel good about myself also. Because I’m at somewhere only we know.
Overall, to know that deep inside I’m growing here, it’s more than enough for me. Because it means I’m inline with the reason why I come to the spectaulous Jakarta.
Cheers, baby!!

Seven Eleven di Malam Minggu

Malam ini malam Minggu, tetapi tidak ada jadwal bertemu dan berkumpul yang harus saya penuhi. Tidak ada undangan berjumpa kawan lama atau temu alumni. Sahabat saya pun nampaknya sedang berasyik masyuk entah dimana, tak mengabari. Jadinya, malam ini saya sendiri.

Akhirnya saya memilih untuk melanjutkan penyelaman saya ke dalam novel kisah cinta Srintil dan Rasus. Berlatar belakang di sebuah pedukuhan sederhana, novel ini memiliki alur cerita yang indah, namun perih manyayat. Ronggeng Dukuh Paruk karangan ahmad Tohari adalah salah satu novel favorit saya. Sudah saya putuskan demikian, padahal belum habis saya baca.

Malam itu saya memutuskan untuk membunuh malam dengan membaca Ronggeng Dukuh Paruk di Seven Eleven. Ya, Seven Eleven yang berlokasi di dekat Grand Indonesia. Dan ya, Seven eleven yang mendapat predikat sebagai tempat berkumpulnya ABG labil Jakarta. Meskipun (saya rasa) saya bukan orang yang labil, saya suka untuk datang dan menghabiskan waktu di sini. Pertama, kopinya enak. Harganya terjangkau, dengan rasa yang bisa saya racik sendiri, otentik sesuai dengan keinginan saya. Gerai ini menyediakan sirup-sirup tambahan beraneka rasa untuk menambah cita rasa kopi, seperti vanilla, tiramisu, dan rasa lainnya. Kedua, menurut saya manusia-manusia yang datang ke gerai ini menarik, membawa keunikan mereka masing-masing. Keunikan manusia-manusia urban Jakarta, yang mungkin tidak bisa kita temui di kota lain. Buat saya, Seven Eleven ibarat sebuah mangkuk salad kecil, berisi insan Jakarta dengan segala citarasanya.

Setelah membayar kopi di kasir, saya memilih untuk duduk di area dalam gerai, di sebuah meja panjang menghadap jalan. Sembari membaca, saya sesekali mengamati pembeli yang berlalu-lalang. Sudah saya katakan di awal bukan bahwa, menurut saya, pengunjung seven eleven GI ini datang dengan segala keunikan mereka? Nah, malam ini adalah buktinya. Malam minggu ini.

Arah jam dua. Sekumpulan perempuan. Asik bertelekan di lantai, di luar gerai. Saya bisa melihat tingkah polah mereka dengan jelas karena hanya selapis jendela kaca bening yang membatasi saya dengan mereka. Dandanan mereka trendi, tapi bukan seperti yang biasa dipakai oleh wanita Indonesia masa kini pada umumnya. Atau memang sayanya saja yang ketinggalan jaman, tidak ngeh bahwa penampilan mereka adalah yang sedang menjadi trend saat ini. Satu dari mereka berwajah manis, namun berambut cepak nyaris gundul dengan lengan penuh tato. Satu yang lain memiliki rambut lurus rapi terurai. Mulutnya sibuk antara menyesap rokok hitam dan menenggak sebotol bir secara bergantian, sembari sesekali melemparkan celoteh yang entah apa tidak bisa saya dengar, karena ada selapis jendela kaca yang membatasi saya dan mereka. Yang terakhir berdandan manis dengan baju terusan motif bunga-bunga ala gadis masa tempo dulu. Tujuh puluhan. Dia sibuk membalik-balik halaman majalah fashion wanita yang entah apa namanya tidak bisa saya kenali. Nampaknya majalah impor luar negeri.

Arah jam dua belas, atau tepat di depan saya. Sekumpulan jejaka, duduk selantai dengan gadis-gadis extravaganza yang tadi saya ceritakan, namun berbeda ujung, terpisah beberapa meter. Para jejaka ini berpakaian dengan cara yang hampir mirip seragam. Memakai kaos oblong, jaket bertudung, sendal gunung, dan membawa tas punggung. Saat saya datang mereka sudah ada, asik bercengkerama. Jadi saat saya melintasi mereka, saya sempat mencuri dengar perbincangan mereka. Dari gaya bertutur kata, saya berani jamin mereka adalah orang Jogja, atau paling tidak dari sekitarnya. Saya juga berani bertaruh mereka adalah first jobber. Mereka mengingatkan saya pada waktu awal saya hijrah ke Jakarta, masih terbawa euforia gempita Jakarta. Saat melintasi mereka saya tergoda untuk berhenti sebentar dan menyapa, ”Saking Jogja nggih mas? Mboten ngangkring?” dan saya tersenyum geli sendiri membayangkan mereka menjawab, ”Lha niki lagi ngangkring je Mas. Saiki nang Jakarta angkringane Sepen Elepen”.

Tiba-tiba meja bundar di belakang saya, arah jam enam, diokupasi oleh sekumpulan mas-mas dengan dandanan ajaib. Ada yang bertubuh kurus kering, memakai kaos ungu, berkancing dua di bagian leher. Celana jeans super ketat, yang membuat saya bertanya-tanya bagaimana telapak kaki si pemakai bisa masuk ke lubang di bagian bawahnya. Kacamatanya berbingkai putih. Temannya, bertubuh tambun, dengan polo shirt berwarna kuning, celana pendek kotak-kotak berwarna kuning, dan sepatu yang juga kuning. Saya curiga giginya pun juga kuning. Kulitnya hitam, dengan betis besar penuh bulu. Rambutnya berponi, tapi sisi kepalanya dicukur menyisakan rambut tipis. Tidak hanya mereka berdua, ada lagi tiga orang teman mereka yang serupa sejiwa. Suara mereka luar biasa berisik, dimana setiap kalimat yang keluar dari mulut mereka diakhiri dengan potongan kata yang sama. Nek, cong, cus, cinta dan lainnya yang tidak saya ingat, dan memang berusaha saya hapus-hapus dari ingatan saya.

Saking berisiknya mas-mas gemulai ini, saya memutuskan untuk berpindah posisi. Saya memilih untuk duduk di pojok, yang berarti sekarang gadis-gadis extravaganza berposisi tepat di depan saya. Kembali saya menyelami kisah cinta Srintil dan Rasus. Asik membaca, raungan suara mas-mas gemulai menghilang dari ujung telinga, digantikan celotehan seorang anak perempuan kecil. Saya melempar pandangan melirik ke arah datangnya suara. Sebuah keluarga kecil. Seorang ayah bertubuh besar berambut gondrong, seorang ibu cantik bertubuh sintal, dan si empunya suara, gadis cilik berusia sekitar tiga sampai empat tahun, berwajah manis dengan pipi gembil mengundang untuk dicubit. Aura namanya. Saya tahu saat ibunya yang saat itu sedang berdiri di depan chiller, memanggil namanya dan bertanya mau minum apa. Sekejap kemudian si ibu mendapat jawaban, jus stroberi. Suara Aura perpaduan antara manja, lugu, tapi juga bossy.
Saya berusaha untuk kembali membenamkan konsentrasi saya ke buku yang saya baca. Tapi konsentrasi saya terpecah oleh celotehan Aura, yang berusaha mencuri perhatian orang tuanya yang sedang asik berbicang, dengan bercerita bahwa tadi siang dia bermain dengan adik Nathan, dan menceritakan tentang potongan rambut adik Nathan yang baru. Lima belas menit berlalu. Pikiran saya sudah sepenuhnya kembali tenggelam ke dinamika dukuh Paruk, ketika tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara Ibu Aura. Bukan karena dia volume suaranya yang lantang, justru dia mengatakannya dengan lembut dan nyaris bisa didengar. Saya tersentak oleh pertanyaan yang keluar dari mulut si ibu. Pertanyaan yang tidak pernah saya bayangkan akan ditanyakan, dan dijawab oleh seorang anak manis berusia empat tahun. ”Aura sudah milih mau agama apa belum?”
Saya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan dan rasa ingin tahu saya. Mata saya bertatapan dengan mata Ibu Aura. Dia menangkap rasa keingintahuan saya. Saya memberi pandangan yang mengatakan, ”Please let me hear this. I’m not gonna be the one who judge you.” Ibu Aura membalas dengan tatapan yang mengatakan, “Feel free to witness this truth of life”.

Suara Aura yang mirip cicitan menjawab, “Aura sih pilihnya Islam mah”.
Tapi kalo Aura tahu, menyembah Tuhan tuh nggak cuma satu cara lho”, timpal ibu Aura sambil membetulkan posisi syalnya.
“Ooo..gitu ya Mah, Aura sih pengen banget menyembah Allah Mah.” Jawab Aura sambil menahan dagunya dengan dua tangan, melempar pandangan jauh ke luar jendela.

Percakapan berhenti sampai disitu. Sesingkat itu. Tapi membuat saya bergidik. Siapa sangka percakapan ini terjadi antara seorang dewasa dengan gadis kecil berusia empat tahun. Gadis berusia empat tahun yang secara tidak langsung dikondisikan (atau justru diberi kesempatan?) untuk memilih tempat bersandar sepanjang hayat. Sebuah pertimbangan dan keputusan sulit yang mungkin tidak bisa dihadapi oleh orang-orang dewasa sekalipun. Saya, dan mungkin kita, terlahir dengan sandaran yng sudah dipilihkan untuk kita. Yang terbaik, atau dianggap terbaik, untuk kita. Kita percaya karena sejak kecil kita diajarkan seperti itu. Tidak seperti Aura, kita tidak pernah diposisikan untuk melihat dari luar pagar, dan memilih mana yang paling baik untuk kita. Tiba-tiba saya merasa beruntung. Atau justru Aura lah yang beruntung. Aura adalah satu dari segelintir orang yang diberi kesempatan untuk memilih, dan bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang dia pilih. Saya memberikan senyum samar ke arah Ibu Aura. Ibu Aura membalas dengan sebuah senyum tipis.

Mulut mungil Aura mulai menguap, tanda kantuk mulai menyerang. Saya melirik jam tangan. Jam sebelas. Keluarga Aura pun beranjak pulang. Mata saya tetap mengikuti sampai mobil mereka menghilang di ujung jalan. Dalam hati saya berharap, kepada siapapun Aura memohon saat mengucap doa, dan apapun cara yang Aura pilih saat dia berdoa, Aura tetap dalam lindungan Tuhan, siapapun itu yang Aura pilih untuk percaya.


Kantuk Aura mulai menulari saya. Saya mulai menguap dan memutuskan untuk pulang. Malam ini luar biasa. Walaupun saya tidak menyanyi riang di Inulvista, atau bercengkerama mesra sambil minum kopi hangat dengan sahabat, saya pulang dengan perasaan seperti ada segumpal udara bersih masuk ke paru-paru saya. Sebelum pulang, sebagai kata terakhir, saya mengutip istilah yang diucapkan oleh gerombolan mas-mas ajaib tadi saat mereka akan pulang. Markipuuul. Mari Kita Saipul. Hahahaha...