Rabu, 21 Desember 2011

Marry Me or I’m Married The World

Kira-kira sebulan yang lalu, saya mendapat undangan pernikahan dari saudara sepupu saya. Sebetulnya bukan hanya sepupu saya saja yang mengirimkan udangan pernikahannya. Nampaknya, banyak pasangan yang ingin menalikan simpul mereka di hari baik tanggal cantik 11 November 2011, 11-11-11. Sebagai orang yang apatis dengan konsep pernikahan, tumpukkan undangan berhias kertas fancy dan berbau wangi itu akhirnya teronggok tak tersentuh di pojok meja kerja saya. Melirik pun saya enggan. Tentu saja saya tidak memunculkan batang hidung saya di hari paling bahagia bagi pasangan-pasangan ini.
Tentang pernikahan sepupu saya itu, awalnya saya berencana untuk tidak datang. Namun, sehari sebelum resepsi, ibu saya yang pengertian, berpikiran terbuka, dan suka memeriksa tingkah polah anak-anaknya lewat twitter itu menelepon saya. Dia menitahkan saya untuk datang ke acara pernikahan anak kakaknya. Saya diharapkan untuk menjadi representasi keluarga batih kami. Sebagai wanita yang melahirkan saya ke dunia dan membesarkan saya, harusnya ia tahu bahwa agak sia-sia menyuruh saya untuk datang ke sana dengan muka riang dan hati senang. Pertama, saya tidak bisa menikmati pesta pernikahan. Fakta bahwa ada dua orang mengadakan pesta seharga puluhan bahkan ratusan juta rupiah hanya untuk memproklamasikan legalitas hubungan mereka, entah kenapa tidak bisa diterima oleh logika saya. Tidak penting, menurut saya. Kedua, secara naluriah saya tidak berbakat untuk menjadi representasi sebuah kelompok atau golongan tertentu, apapun. Bahkan beberapa orang sering bertanya-tanya si Bayu agamanya apa.
Malam Minggu, pukul tujuh, datanglah saya ke pesta pernikahan sepupu saya. Dengan atasan batik dan bawahan celana jeans, celingak-celinguk saya, jelalatan mencari wajah-wajah yang saya harap bisa saya kenali. Beberapa menit berlalu sejak kedatangan saya, Yak, akhirnya saya bisa mengenali sepupu saya yang menikah itu. Sayangnya, saya mengenalinya bukan karena saya ingat wajahnya, tapi karena dia memakai jarik lurik, beskap, dan blangkon. Dari dandanannya dan posisinya yang berada di tengah altar, berasumsilah saya bahwa dia si mempelai pria, yang adalah sepupu saya. Baru beberapa menit datang, saya sudah gelisah ingin pulang. Sampai tiba-tiba saya dipanggil oleh salah satu om saya, yang kemudian menggiring saya untuk berkumpul dan bercengkarama dengan om-om, tante-tante, dan sepupu-sepupu, yang entah kenapa saya tidak merasa terikat secara batin. Ya, saya dan saudara-saudara kandung saya dibesarkan di pinggiran kota Solo, terpisah jauh dengan sepupu-sepupu kami yang tumbuh besar di kota besar. Jika dihitung, intensitas pertemuan kami dengan sepupu-sepupu kami juga masih kalah banyak dengan jumlah jari di tangan kanan saya. Jadilah kami, atau paling tidak saya, selalu merasa asing ditengah pertemuan dengan sepupu-sepupu. Wwalaupun begitu, di acara pernikahan itu interaksi diantara saya dengan keluarga tetap terjadi. Yaitu pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang dengan jawaban tidak terlalu diharapkan. “Kerja dimana?, “tinggal dimana?”, “mamah sehat?”. Saling lempar senyum yang lebih tepatnya usaha menarik beberapa otot disekitar mulut. Serta jabat tangan yang lebih tepatnya saling menempelkan telapak secara cepat dan sekilas, bukan cengkeraman tangan yang kuat dan hangat. Sungguh, pada dasarnya saya merasa sangat tidak enak hati dengan ketidakpedulian saya, keapatisan saya, dan ketidakadaan usaha saya untuk mengenal dan berinteraksi dengan mereka lebih jauh. Tapi sungguh, saya bukan orang bisa berbasa-basi atau berpura-pura. Kalau saya lihat mereka tidak ada usaha, saya pun merasa juga tidak perlu berusaha. Satu-satunya orang yang bisa membuat saya nyaman adalah nenek saya, yang diusianya yang mendekati kepala delapan, masih suka minum coca-cola dan minuman bersoda lainnya. Nenek saya yang cukup sering saya kunjungi semenjak saya bekerja di Jakarta. Jadinya, duduklah saya disebelah nenek Paula, nenek saya, sambil bolak-balik membawakan cangkir kecil berisi coca-cola atau fanta untuk beliau. Tidak sampai sejam, saya meluncur pulang, dilanjutkan dengan menonton Tin-tin The Adventure, midnight, di bioskop. Saya sama sekali tidak bisa menikmati acara pernikahan.
Suatu hari, saya duduk berbincang sembari makan malam dengan teman saya. Di sesi curhat kami, dia banyak bercerita tentang kisah cinta dengan pacarnya, yang penuh haru biru dan sisi-sisi yang bisa diambil sebagai pembelajaran. Moment dimana dia ingin menikah, dimana dia bersabar menunggu, kemudian sampai pada suatu titik justru dia sudah tidak lagi terlalu ingin menikah. Dia menutup curhatnya dengan mengatakan sesuatu yang membuat saya berhenti mengunyah dan mengangguk-angguk tanda merespon ceritanya. Dia mengatakan : “I used to say, marry me or I’m married the world. And now I think I’m married the world already”.
Sudah sejak lama, saya tidak pernah memasukkan pernikahan ke dalam skala prioritas hidup saya. Saya masih tidak bisa melihat adanya adding value dari menikah atau mempunyai hubungan. Saya merasa menikah justru membuat orang menjadi banyak pertimbangan, membuat orang jadi ragu untuk melihat dunia. Padahal saya masih ingin melihat dunia. Masih banyak tempat-tempat menakjubkan yang ingin saya kunjungi. Masih ada puncak-puncak gunung yang ingin saya taklukkan. Pernah suatu hari, saya melihat pasangan muda yang sedang membeli bubble tea. Satu cup buble tea untuk berdua. Orang lain mungkin akan melihat mereka sebagai pasangan yang romantis. Saya, rasa yang muncul dalam benak justru rasa kasihan, dan berpikir untungnya saya tidak seperti mereka. Saya seringkali mengernyitkan dahi saat menerima undangan pernikahan dari orang-orang yang saya kenal, sembari berpikir kenapa mereka mau menikah secepat itu.

Yes, I think I’m married the world already.

Setelah ditelaah lagi, skala prioritas hidup saya diisi oleh target-target yang berhubungan dengan pekerjaan dan karir. Hari-hari saya habiskan dengan bekerja, menyusun dan membangun karir. Tidak pernah terbersit keinginan untuk dengan sengaja berkenalan dengan orang baru di sela-sela hari yang sibuk, dan berusaha membangun hubungan. Tidak ada ruang dalam pikiran saya dan slot dalam waktu saya untuk sebuah hubungan yang melelahkan. Saya sudah menjadi mempelai dunia. Dunia yang sejauh ini bisa membuat saya senang, sedih, gemas, marah, gembira, dan tertawa. Saya sudah menikah dengan dunia.
Mungkin, bisa saja suatu hari nanti saya berubah pikiran. Ingin memiliki hubungan yang lebih humanis, dan mempunyai alasan untuk siapa saya berlelah-lelah mengumpulkan uang. Satu yang pasti, jika saya menikah nanti, alasannya adalah karena saya menemukan orang yang membuat saya yakin untuk menghabiskan sisa hidup dengannya. Bukan karena alasan “semua orang menikah, maka saya juga harus menikah”, atau “saya tidak mau menjadi tua sendiri”, atau “saya harus meneruskan keturunan”, atau alasan-alasan lain yang terkait dengan kondisi dan tuntutan sosial. Menikah adalah kebahagiaan saya, bukan kebahagiaan orang lain. Jadi menjadi hak prerogatif saya untuk melakukannya, atau tidak melakukannya.
Menurut saya, menikah ibaratnya seperti secangkir kopi Starbucks di suatu pagi yang sibuk. Beberapa orang tidak bisa memulai hari dan bekerja dengan baik tanpa meminumnya. Tapi bagi beberapa orang lain, termasuk saya, ini hanya masalah apakah saya sempat untuk mampir membeli dan meminumnya dalam perjalanan ke kantor atau tidak. Karena saya yakin dengan atau tanpa meminumnya, hari saya akan berjalan baik-baik saja.
Marriage is like a cup of starbucks coffee. Some people can not start the day and doing well without drinking it. But for me, it’s only the matter of do I have time to stop by to buy and drinking it on my way to the office or not. Because with or without it, I believe my day still will be okay.

Have a great day everyone!! :D

Normal People

I think I’ve mentioned that I have a best friend. She is like my rectoverso, the girl version of me. And I’m apparently like the boy version of her. We’ve been besfriends since we were still on the college in Jogja, the place and time where everyting feels so easy and peace. Now we have moved and been living in Jakarta. We’ve been Jakartans, build our own careers here in this city. Me with my communication marketing career, while she’s taking her master degree and doing copywriting in publishing company.
We both believe that there’s no city light for a whiner. Therefore we’re busting off our firmed surface asses to catch the city light, and try for not complaining. We also believe that in order to survive in this mad mad world, we should have our survival kits. Survival kits of life. They are, wittiness, pride, and leave our sanity at home. So far we succeed to survive, and so far we’re good fighters in this battle.
Some people who know us somehow don’t understand us. They think that we’re crazy and complicated. They don’t get our values. They don’t understand what we believe, including our conversation and jokes. Somehow, they consider us as not so normal people. Of course I have noticed about what people think about us as a duo, yet I don’t do give a dime damn about it. Until one day, she made a point. Made me think to redefine the concept of being normal people. How to perceive our crazy mind and soul, our complicated life, and try to make it fit in with the description of normal life of normal people.

Are we two too bold? Or just simply crazy?
Are we too complicated?

One example. We usually have our meeting after office hour, periodicaly, which we called it “juicy recap” time. In ‘juicy recap” time we talked about anything, mostly we shared all updates and “shit happened” on the days we don’t meet. Since it seems we’re destined to face and ride roller-coaster days and nights, so it’s a good thing for us to dispose the shits and thorns by sharing it to trusty friend. So that we can be rejunevated for facing the incoming days.
Since the specific topic that we shared to each other during “juicy recap time” is confidential and not for public comsumption, I choosed to enclose one example of our jokes that have strightly made me think and realize, “Yes, somehow I know why some people just don’t understand us”.

On our dinner, we were in the middle of conversation about kids...
Me : kowe kan tau njaluk spermaku nggo anakmu. Hahaha (You have asked me to donate my sperm for having your child. Hahaha ---*note : of course I’m joking*)
Her : Lha anakku mengko rupane kemampleng no koyo kowe (Then my kid will have slapable face just like yours)
We both laughed. Then suddenly I just realized that there was like four years old girl sat near to us, having dinner with her mother.
Me : Parah tenan yo awake dhewe ki. Yen bocahe krungu piye? Terus takok nang ibune “Mommy-mommy, I was made by dad’s sperm right mommy? (we are so bastard and bastardee, What if she heard? And asking her mom “Mommy-mommy, I was made by dad’s sperm right mommy?”)
Her : -pretending to be the girl’s mom- Nooo, you were made by sperm......whale.
*Note : sperm whale is one of whale species, has the largest brain of any animal*
Then we laughed out loud, made the young girl took a peek on us by her corner eyes, Her mouth still chewing the chiken.
-------
One day, I have asked her why she can be a bitch, and she replied it’s because she has a bastad bestfriend around. So it’s fair enough. but when one day, She has asked me whether we are normal people or not, with our complicated life, mind, and soul. Honestly I don’t have the answer.
One day after the question, accidentally I watched a movie “All about Steve”. The free spirited soul Mary Horowitz, main character on the movie played by Sandra Bullock, at the end of the movie said a quote :

“why should you have to change to be normal? all you have to do is find someone who is as normal as you are”

Hail Mary Horowitz because now, I have the answer of my bestfriend’s question.
YES, baby. We are normal people. We are normal as we can be. I’m normal because I have you around me, and vice versa.
Thanks to you my pinch cake!!