Selasa, 20 November 2012

Dua Tujuh

Sebulan yang lalu saya memasuki usia dua tujuh. Baru sekarang, sebulan berselang, saya memikirkan tentang beranjaknya usia saya. Bulan kemarin, bulan saat saya berulang tahun, saya sedang sibuk-sibuknya. Berlalu lalang dari satu kota ke kota lain dengan alasan pekerjaan. Dilihat dari sudut pandang yang positif, adalah keuntungan bagi saya bekerja di perusahaan multinasional, yang memberikan kesempatan untuk menyambangi kota-kota di Indonesia. Tanpa bayar, bahkan dibayar. Tapi dari sudut pandang lain yang sedikit kurang menguntungkan, ini kerja bung bukan jalan-jalan! Bukan pula menjalang. Jadinya, saya wajib berpintar-pintar mengatur waktu supaya tetap bisa menikmati suasana kota di tengah padatnya jadwal.

Biasanya, saya mendarat di kota tujuan malam hari, karena siangnya harus bekerja dulu, atau paling tidak setor muka saya yang berminyak ini di kantor Jakarta. Selepas mendarat dan tiba di hotel, saya cenderung untuk memilih keluar jalan-jalan sebentar alih-alih menggelungkan diri di atas kasur. Entah itu pergi untuk mencari panganan khas lokal guna mengganjal perut, atau sekedar melihat-lihat apa yang bisa dilihat hanya dikala malam, tidak di saat benderang. Bukan berarti bulan ini saya tidak sibuk bepergian. Saya berkesempatan menulis ini pun di tengah kebengongan di ruang tunggu bandara Djuanda, menunggu jadwal penerbangan yang diundur sekitar satu jam.

Dalam satu jam ini kemudian saya tiba-tiba teringat bahwa saya telah menjadi dua tujuh. Seolah saya ditarik paksa untuk melihat kenyataan, setelah selama sebulan terakhir saya terlalu banyak melihat langit dan gumpalan awan dari ketinggian pesawat. Saya telah kehilangan satu bulan untuk menyadari usia saya yang telah bertambah, untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian di otak dan benak saya. Seolah-olah usia dua tujuh ini adalah sebuah baju baru yang seterusnya (sampai dua belas bulan ke depan) harus saya pakai, saya telah terlambat satu bulan untuk mengganti baju yang lama dan memakai baju baru ini. Untungnya hanya terlambat satu bulan, saya tidak mau tiba-tiba nanti saya telah menjadi tiga lima, tapi tidak ingat akan proses-proses yang terjadi karena terlalu asik mengalir. Ibarat dalam sebuah perjalanan, saya tidak mau tiba-tiba sudah sampai di tempat tujuan, tapi lupa lewat jalan mana.

Beberapa malam yang lalu, saat saya berkesempatan rehat sejenak di Jakarta, tiba-tiba ada teman yang menghubungi saya. Lewat sebuah pesan singkat dia menuliskan, “Makan nasi goreng rajungan yuk”. Saya cukup kaget dengan pesannya yang datang tiba-tiba, karena sepanjang ingatan saya dia masih meliburkan diri di Turki. “Sudah balik dari Turki?”, tanya saya. “Baru sampai tadi siang. Nih, ada oleh-oleh”, jawabnya. Saya menyambut baik ajakan makan malamnya, dengan iming-iming oleh-oleh yang dia bawa. Kebetulan, pun saya lapar. Tak lama berselang kami berdua sudah blusukan melewati jalan sempit yang di pinggir-pinggirnya penuh dengan penjaja sayuran dan ikan, di bilangan Bendungan Hilir. Tempat makan yang kami tuju ini lokasinya ada di tengah pasar. Kami berjalan dengan langkah pelan sembari berjingkat-jingkat menghindari genangan. Hujan baru berhenti, meninggalkan genangan-genangan kecil air di sepanjang jalan, bau usai hujan yang khas, suhu yang mendingin, dan kemacetan kecil yang sudah biasa menjadi wajah Jakarta. Sesampainya di lokasi, kami memesan beberapa menu andalan seperti cumi saus Padang, cah kangkung kaya serat untuk pencernaan kami yang bak rongsokan, dan tentunya sepiring porsi besar nasi goreng rajungan yang dimakan oleh dua bajingan.

Sembari menunggu pesanan datang, teman saya mengeluarkan sekantong buah-buahan kering yang dia beli di Turki untuk oleh-oleh saya. Selanjutnya, sambil memamah pesanan yang telah terhidang, asiklah dia bercerita penjang lebar tentang proses pembuatan buah-buah kering ini, yang dia sambunglidahkan dari penjelasan si penjual. Tanpa diminta, tau saja dia apa yang saya suka dari sebuah oleh-oleh atau buah tangan. Bukan melulu bendanya, tapi lebih ke ceritera unik di balik benda-benda itu yang menurut saya lebih menarik. Jadi, di dalam kantong plastik yang dia berikan ke saya, berisi buah-buahan kering beraneka rupa. Mulai dari aprikot, walnut, anggur, dan macadamia. Anggurnya sendiri juga bermacam-macam jenisnya. Ada anggur hijau, anggur ungu, dan anggur merah. Proses pengeringannya anggur-anggur ini dan buah-buahan yang lain pun berbeda-beda. Ada yang dijerang di bawah panas matahari, ada pula yang dikeringkan di dalam ruangan, yang menghasilkan cita rasa yang tidak sama. Sambil mendengarkan dengan seksama, sembari saya menggigiti anggur-anggur kering tersebut untuk membuktikan kebenaran ceritanya. Terbukti memang benar. Walaupun sama-sama anggur, ternyata rasanya beda. Juga teksturnya saat dikulum di mulut dan dikunyah geligi. Ada yang teksturnya lembut dengan rasa yang sedikit hambar, ada pula yang kenyal dan manis bak makan permen Yuppy.

Kemudian topik beralih ke lanskap kota Istanbul. Oh...Konstantinopel, begitu saya lebih suka menyebutnya. Tempat yang menjadi salah satu bucket list saya untuk disambangi suatu hari nanti, sejak pertama kali saya jatuh hati setelah melihat film berjudul “Touch of Spice”. Kota dimana setiap lapisan tanahnya menjejak peradaban-peradaban yang agung. Yunani, Romawi, dan Kordoba. Konon, masuk ke Konstantinopel seakan-akan masuk ke dunia lain. Lanskap kota yang sangat otentik, yang tidak dimiliki oleh daerah manapun di belahan dunia manapun. Hanya ada satu Konstantinopel di dunia.

Saya terus memperhatikan teman saya yang ceriwis bercerita. Lihatlah dia. Diusianya yang tiga lima, dia nampak begitu utuh. Apa adanya. Dia tidak sedikitpun terlihat berusaha untuk mengimpresi orang lain, termasuk saya. Kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutnya yang dipenuhi nasi goreng dan suwiran daging rajungan, hampir tidak ada yang menggunakan subjek kalimat “aku”. Dia tidak bercerita tentang dirinya yang telah menjejakkan kaki di Turki, tapi dia bercerita tentang Turki negara yang baru saja dia eksplorasi. Dalam percakapan-percakapan kami selama ini, bisa dia dengan begitu mudahnya menepis argumen-argumen saya yang tajam lagi sinis, hanya dengan celetukan-celetukan sambil lalu. “Aku liat dong foto-fotonya, tapi bukan yang foto narsis ya”, pinta saya sedikit dibumbui nyinyir. Tak acuh dia menjawab, “Emang jarang yang ada aku-nya kali. Kebanyakan foto pemandangan. Kalau mau foto diri sendiri mah ngapain jauh-jauh ke Turki, di rumah juga bisa”.

Pencapaian-pencapaiannya luar biasa, tapi tidak ada yang dia display di etalase sosial. Teman saya ini, bukan marionette berjalan. Polah dan pikirnya tidak dikendalikan oleh orang lain. Adapun teman saya yang lain. Dimana pertemuan pertama dan terakhir kami terjadi di New York, tiga tahun lalu. Pertemuan yang tidak lama, hanya perkenalan dan jabat tangan singkat. Setelah beberapa waktu tidak bersua, kami bertaut lagi akibat kecanggihan teknologi. Dia, di waktu-waktu yang tidak terduga suka menyapa, atau lebih tepatnya bertanya kepada saya, dengan kalimat pembuka yang selalu sama. “Bay, can I hit you with a question?”. Segera setelah saya menjawab dengan jawaban yang sama pula, “Hit me.”, meluncurlah pertanyaan-pertanyaan filosofis yang kadang sulit untuk dijawab. Suatu waktu dia bertanya, “Bay, what will you be, as a person, when you’re thirty?” Pertanyaan yang cukup sulit. Sejenak saya berpikir, teringat akan teman saya yang baru pulang dari menyinggahi Turki, kemudian saya menjawab: “Aku pengen jadi orang yang nggak perlu membuktikan apapun ke siapapun. Tidak perlu bersusah menarik perhatian orang dengan memamerkan diri di etalase sosial. Dan nggak mau dengan bodoh membohongi diri untuk tetap menjadi muda. Toh faktanya aku nggak akan pernah jadi lebih muda dari hari ini.”

Tetiba, kegiatan tulis menulis saya harus segera disudahi. Termasuk menyudahi benak saya yang sedari tadi melayang-layang memikirkan ke-duatujuh-an saya. Sudah saatnya giliran badan yang melayang, kembali pulang, karena panggilan untuk memasuki badan pesawat sudah digaungkan. Saya termasuk yang paling akhir memasuki pesawat. Sejenak mencuri kesempatan melirik jam tangan, pukul 17.30. Dalam beberapa menit, saya akan terbang di atas selapis langit, dan melihat semburat garis kuning di ujung sana, penanda matahari mulai tenggelam. Entah terbang pada lapisan langit keberapa? Bisa jadi di lapisan ketujuh, di usia saya yang –sudah, atau baru- dua tujuh.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Serapal Doa

Suatu pagi saya dibuat agak tersentak oleh sebuah kalimat singkat yang ditulis seorang teman. Sepotong kalimat yang dia tulis sebagai status blackberry messenger. Sepotong kalimat yang bukan sembarang kalimat, namun serapal doa.

Sepanjang ingatan saya, teman saya ini bukan orang yang suka mengumbar vulgar urusan-urusannya dengan Tuhan. Bahkan kalau ditanya apa agamanya pun, teman saya ini akan serta merta naik pitam. Menurut dia, agama adalah sebuah ranah pribadi, yang tidak perlu untuk dipublikasi, dan tidak berhak untuk diintervensi.

 Namun sayang sungguh disayang, bertanya mengenai agama atau kepercayaan seseorang merupakan hal yang dianggap lumrah di negeri ini, yang konon berbasis persatuan bukan agama. Jadi teringat waktu berkunjung ke Jerman pada tahun 2009, saya dan beberapa orang teman singgah di sebuah kota kecil di perbatasan Jerman dan Swiss, bernama Konstanz. Di kota ini ada sebuah universitas, dimana Bahasa Indonesia menjadi salah satu mata kuliahnya. Kami, sebagai orang Indonesia asli, diminta menjadi bintang tamu di kelas bahasa Indonesia tersebut, membantu teman-teman disana untuk bisa bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia. Terkejut saya saat mengetahui bahwa dalam buku modul mereka, pertanyaan “Agama kamu apa?” menjadi pertanyaan nomor tiga saat berkenalan dengan orang baru, setelah menanyakan nama dan asal. Menurut si dosen, bertanya tentang agama sudah menjadi bagian dari budaya berkenalan di Indonesia. Walaupun saya merasa bangga menjadi wakil orang Indonesia di sana, tapi berkaitan dengan pernyataan si dosen ini saya tidak merasa terwakili sama sekali. Bisa jadi si dosen benar, sayanya saja yang anomali.

Di Indonesia, beberapa aplikasi formulir, baik yang berkaitan dengan urusan pekerjaan dengan instansi swasta maupun urusan kewarganegaraan dengan pemerintah, mewajibkan informasi tentang agama untuk dibubuhkan. Dalam kartu tanda penduduk pun juga ada informasi mengenai agama si empunya kartu. Saya pribadi merasa tidak ada urgensinya membubuhkan informasi tentang agama di tanda pengenal. Saat saya merasa sudah cukup keterlaluan dengan mencantumkan informasi agama, dan mendukung petisi menghapus informasi agama dari KTP, baru saya ketahui belakangan bahwa dulu bahkan ada informasi mengenai suku juga di KTP. Bayangkan! Suku? Agama? Apakah ini hanya merupakan informasi administrasi standar untuk data kependudukan? Atau kemudian pada prakteknya akan ada perlakukan yang “berbeda” saat mengetahui si pemilik kartu percaya agama A dan berasal dari suku B?

Kembali ke doa teman saya, dia menulis: “Lindungilah kami dari kesedihan”. Walaupun tidak disebutkan secara spesifik kepada siapa dia memohon perlindungan, dan walaupun teman saya selalu lantang di garis depan meneriakkan hak-hak perempuan, tapi saya yakin seratus persen dia memohon kepada Tuhan, bukan kepada Lilith. Saya pernah bertanya ke seorang karib saya yang lain, apakah dia masih berdoa kepada Tuhan. Doa yang harus diucapkan secara rutin dari waktu-ke waktu. Saking dekatnya kami, saya tidak perlu merasa canggung untuk melontarkan pertanyaan yang sangat personal ini kepadanya. Dia menjawab, “Tuhan sangat baik ke aku Bay, Dia sudah kasih semua yang aku butuh, bahkan tanpa aku minta. Jadi aku tidak mau terlalu sering merepotkan Dia dengan permintaan-permintaanku. Kupikir Dia sudah cukup sibuk mengurusi permintaan-permintaan orang yang kadang aneh-aneh.” Saya bergeming mendengar jawabannya. Sejak itu saya tidak pernah lagi menanyakan urusan Tuhan dan doa-doa kepadanya. Suatu hari di suatu pagi buta, saya melihat dia menggelar sajadah. Barangkali, doanya bukan meminta, hanya bersyukur.

Semakin kami menua, ternyata hidup semakin tidak semudah kelihatannya. Jadi kami memilih untuk merapal doa-doa yang sifatnya lebih mengarah ke pertahanan diri daripada mengharapkan sesuatu. Atau mungkin karena kami berpikir terlalu sederhana, sehingga doa yang kami rapal juga sederhana. Seperti doanya teman saya itu, dia hanya minta dilindungi dari kesedihan, bukan minta kaya. Kami tidak minta sukses dan bergelimang uang, cukup memohon bahagia dan berkecukupan. Kami mohon untuk dijauhi dari mempunyai jiwa yang dingin dan hati yang mengeluh. Kami mohon buka pikiran kami untuk tidak menjadi picik, tapi bisa melihat dari berbagai sudut pandang. Kami mohon supaya selalu menyadari bahwa warna dunia sejatinya abu-abu, bukan hitam putih. Dan kami mohon untuk selalu diingatkan bahwa bahkan kentut dan sendawa adalah sebuah nikmat yang layak disyukuri. Saya kembali sempat membaca doa-doa teman saya. Kali ini ia berdoa supaya hutan-hutan dilindungi, dari jahatnya tangan-tangan kami sendiri. Dia meminta waktu supaya jangan terlalu terburu-buru, biarkan kami menikmatinya barang sebentar. Dan terakhir, dia memohon Tuhan untuk menangkap setiap tetes syukur dan doa yang kami rapal. Walaupun kami tahu bahwa tidak akan ada doa, bahkan sebesar biji zarah sekalipun, yang luput dari tanganNya yang agung. Sesungguhnya, doa-doa dari milyaran mulut manusia di dunia ini bukan karena Tuhan ingin selalu di puji puja, tapi supaya manusia-manusia seperti kami ini selalu tetap waras dalam menjalani hari-hari. Jadi serapal doa, sebuah proses untuk meminta nikmat atau menyukuri nikmat, juga adalah sebuah nikmat.

When It Rains

Hujan turun deras malam itu. Hujan pertama, semenjak kota ini dirunduk terik. Walaupun keamburadulan tata kota seringnya menyebabkan macet total hanya karena hujan turun, dan membuat kaum pekerja yang sering menghabiskan umur di macetnya jalanan mengutuki nasib, tapi tidak malam itu. Macet tetap terjadi, tapi tidak ada aksi kutuk-mengutuk. Banyak orang justru bersyukur. Syukur yang diluapkan melalui media-media digital yang dijadikan corong-corong pikiran dan limpahan uneg-uneg oleh orang-orang seperti kami. Orang-orang yang menganggap internet sudah seperti oksigen, tidak bisa hidup tanpanya.

Malam itu kami bersyukur karena hujan turun, hujan perdana setelah sekian lama. Hujan yang setiap titik airnya membawa aura syahdu, secara magis menyeka luka dan menghilang penat. Di kala hujan, waktu seakan melambat, membuat kami mempunyai kesempatan untuk menarik napas dalam, mengendurkan urat leher, dan sejenak bersandar. Tuhan memang terbukti maha baik. Hujan deras pada malam itu adalah buktinya. Menyembuhkan kami-kami ini, yang bertakwa pun tidak.

Hujan turun deras malam itu. Saya terduduk di jok belakang sebuah taksi. Malam sudah cukup larut, namun laju kendaraan di jalanan masih tersendat pelan. Saya tidak ambil peduli. Saya tidak ingin tersegera pulang, walaupun lelah badan sedari pagi dibombardir tumpukan pekerjaan yang harus dibereskan. Mata saya kosong terarah jauh menembus keluar kaca jendela, entah menatap apa. Pikiran saya tidak pada tempatnya, entah melayang ke mana. Mungkin hujan ibarat candu, membuat seluruh pertahanan kita mengendur, melayang, menikmati. Sekian menit saya terbawa suasana, sampai tetiba muncul sebuah pesan singkat di telepon genggam saya. Dengan malas saya mengumpulkan segenap perhatian yang semula beterbangan, diarahkan ke pesan yang baru saja muncul. Saya baca nama si pemberi pesan, dan ikut terbaca juga selarik kalimat di bawah nama, yang menunjukkan status perasaannya kala itu. “Enjoy the rain”.

“Hi.”, Sapanya.
“Hi juga.”, Jawab saya sambil membubuhkan emoticon memeluk.
“Mau yang asli.”, reaksinya atas si gambar memeluk.
“Jauh.”, jawab saya.
 “jauh?”, balasnya.
 “Iya, terpisah pulau".
“Emang lagi di mana?”
“Di jalan, baru pulang kantor”.
 “Hahaha..jauh ndasmu”.
 “kan di seberang samudera. Samudera banjir maksudnya.”, jawab saya. Sambil melirik genangan-genangan air cukup luas di ruas jalan sebelah.
“So, what do you do to enjoy the rain?”, iseng saya bertanya, merujuk ke kalimat yang dia tulis di bawah namanya.
“Just open the window. I like the smell and the sound.”, jawabnya.
 “Why?” tanya saya.
“It’s soothing and calming.”, jawabnya lagi.
“Petrichor.” Saya menimpali.
“He?”, dia nampak bingung.
“Petrichor is specific a scent during and after the rain.”, saya coba memberi definisi.
“Ooow, I dunno that.”
 “Now you know. Btw, enjoy the rain alone?” tanya saya.
“ Iyalah. Sama siapa lagi?” dia balik bertanya.
 “Hehehe..dunno. But I think good moment should be shared”.
“I do share. By written conversation.”, dia membalas.

Saya tidak membalas dengan kalimat, hanya dengan gambar tersenyum. Percakapan kami melalui pesan-pesan di handphone berhenti sampai di situ. Cukuplah sampai di situ, sebelum mengarah jauh hanya karena pengaruh syahdunya hujan. Kembali saya lempar pandangan ke luar jendela. Perasaan saya tidak lagi melankolis, tapi justru segar seperti tersiram air dingin. Ternyata derasnya hujan dan sepotong percakapan yang menggantung juga bisa menyembuhkan. Menyembuhkan apapun itu yang terluka. Luka saya dan luka siapapun itu yang menikmati hujan, saat ia berderas turun.

Kamis, 13 September 2012

Tumbuh

Malam ini entah malam keberapa, aku tidak bisa menghitung, semenjak kita berikrar mengikat asa delapan tahun yang lalu. Dan malam ini, seperti malam-malam terakhir yang aku rasa. Dingin. Entah pada angka berapa temperatur pendingin ruangan di kedai kopi ini dipasang, sehingga aku sedari tadi menggengamkan kedua telapak tanganku pada cangkir kopi hangat yang isinya baru aku seruput sedikit. Atau aku merasa dingin karena bersamamu, saat kamu duduk di hadapanku sekarang.

 Malam ini, seperti malam-malam terakhir yang aku rasa. Saat aku memilih untuk memandangi isi cangkir kopiku yang masih separuh lebih penuh, atau sesekali melempar pandang ke luar jendela kaca melihat orang-orang berlalu lalang, alih-alih memandangmu. Toh saat aku mencoba dengan segenap hati melakukannya, kaupun hanya bertahan sebentar memandangku tepat di mata, dan segeralah menarik pandanganmu dari koneksi mata kita, melemparnya ke arah lain. Dari gelagatnya, sepertinya kita berdua sama-sama sadar tentang apa yang terjadi, tapi tak seorangpun dari kita yang berani mengatakannya. Sepenggal kalimat yang akan menjadi sepotong pisau bermata dua.

Tidakkah kau sadar bahwa kita tidak sama seperti delapan tahun lalu? Saat aku masih tersipu malu hanya karena tahu kamu duduk di ujung sana di ruang kuliah, dan menyadari bahwa kamu melirik ke arahku dari waktu ke waktu. Dan kamu pun bukan lagi si lugu, yang menganggap bahwa aku adalah duniamu, dan senyumku adalah sumber energimu. Kita tidak lagi seperti dulu, delapan tahun lalu. Saat pandangan mata kita saling terkait selalu, hanya ke satu arah, tajam dan dalam, sampai ke isi jiwa, tidak ada jiwa manusia yang lain. Saat aku sering terkikik geli mendengar leluconmu, dan ku timpali sesekali dengan lelucon yang terdengar basi. Namun saat kamu mendengarnya, kamu terbahak lepas yang membuatku merasa aku berbakat menjadi komedian kelas wahid. Dulu kamu selalu memeluk aku, bak sabuk pengaman untukku. Saat kamu pergi untuk beberapa jam saja, aku panik karena tarikan napasku tiba-tiba terasa tidak penuh.

 Itu dulu. Delapan tahun yang lalu. Sekarang, kita berdua punya pekerjaan, membangun karir, melihat dunia, dan bertemu orang-orang. Selalu menyenangkan untuk bisa menghabiskan waktu dengamu selepas kerja atau di akhir pekan. Melihat senyummu, mendengar kelakarmu. Tapi ternyata di waktu aku tidak bersamamu, aku tidak lagi selalu memikirkanmu. Sekarang, aku tidak bisa menjadi si lugu seperti apa yang kamu mau. Aku masih punya banyak cita-cita yang ingih aku raih, masih ingin bepergian mengelilingi dunia. Namun kamu mau aku menutup cita-citaku, menjadikanmu hanya satu-satunya duniaku, dan hanya beredar mengitari dirimu. Sekarang, aku punya kesibukan yang menyita waktu namun membuat aku senang dan bersemangat. Tapi kamu mau satu-satunya yang menjadi kesibukanku adalah dengan semangat menunggumu pulang, dengan secangkir teh manis hangat di tangan, menyambutmu kemudian menanyakan hari ini apa kesibukanmu.

 Aku punya gambaran tentang akan jadi apa aku di masa depan, delapan tahun dari sekarang. Gambar itu indah dan semakin jelas terbayang, tapi mengapa aku tidak bisa menemukan sosokmu di gambar itu? Malam ini, aku menahan air mata saat kamu akhirnya meminta untuk melihatmu lekat, alih-alih memandang isi cangkir kopi, atau ke luar jendela. Dengan serak dan perlahan kamu bilang menerima kenyataan, bahwa ternyata bahagiaku bukan denganmu. Bahagiaku ternyata tidak sama dengan definisi bahagia yang kamu punya. Ternyata kita tidak lagi sama seperti dulu, delapan tahun lalu. Di ujung malam ini, kita berdua sadar bahwa kita telah tumbuh tinggi sejak delapan tahun lalu, di hari saat hati kita pertama kali saling mengait. Kita tumbuh, sama seperti manusia-manusia lainnya. We realized that we’re just like other people. Ordinary people. When they grow, they grow apart. So do we.

Kamis, 09 Agustus 2012

Rasa Dua Minggu

“Ngopoe? Statusmu kuwi?” Bertanyalah saya ke teman saya, merujuk ke status BBMnya yang tidak seperti biasanya.  
“Lagi nggrantes ati”, jawabnya singkat. Sedang bersedih hati rupanya ia.  
“Tengopo kok nggrantes?”, bertanya lagi saya, berusaha mengulik sebab musabab susah hatinya.
Bar Pedhot”, habis putus cinta, jelasnya.

Heran saya. Bagaimana mungkin teman saya ini bisa menderita patah hati yang menyebabkan dia menggalau di ranah digital, mengingat dia adalah teman saya yang jalang, yang kemampuannya menyembuhkan luka hati sama cepatnya dengan regenerasi cicak menumbuhkan ekornya yang putus.

“Hah? Sama si Panda? Bukannya baru saja, dan lagi hangat-hangatnya?" Rentetan pertanyaan mengalir dari mulut saya.

Lancangnya saya, pertama, mempredikati mantan teman saya dengan sebutan panda, karena format tubuhnya yang membulat seperti binatang langka itu. Otak saya yang aneh ini, selain terlahir sinis, juga punya kecendurangan untuk mengasosiasikan sesuatu atau seseorang dengan benda lain, alih-alih berusaha untuk mengingat namanya. Saya pernah mengasosiasikan seseorang dengan monster loch ness, monster danau Nessy, hanya karena ukuran lehernya panjang. Bukan bermaksud menghina, hanya saja begitulah cara otak saya bekerja untuk mengingat sesuatu. Lancangnya saya yang kedua, karena saya mulai melempar pertanyaan di ranah privasi yang seharusnya sudah tidak berhak saya masuki, kecuali si penjawab memberi permisi. Namun berhubung dia adalah teman saya yang jalang lagi baik hati, terutama kepada saya, maka selanjutnya mengalirlah teman saya bercerita, perihal sebab musabab ia menyudahi tali kasihnya yang baru seumur bunga jagung. Dia adalah teman saya yang jalang lagi cerdas. Dia punya kemampuan menganalisa situasi yang mumpuni, mungkin karena dia adalah seorang wartawati. Jadi pembicaraan kami pun mengalir menjadi analisa-analisa mengapa fenomena jatuh hati sepanjang dua pekan bisa terjadi. Karena bukan hanya teman saya yang jalang itu saja yang pernah mengalaminya, pun saya juga, dan beberapa orang di luar sana. Mungkinkah kamu juga? Pernah kamu mengalaminya? bukan hanya sekali, namun beberapa kali?

 Kebanggaan kita sebagai manusia modern terbayar sangat mahal dengan bagaimana luar biasanya kita kesepian. Mungkin mulut dan ekspresi wajah kita bisa membohongi manusia-manusia di luar sana, meyakinkan mereka bahwa kita bahagia dan baik-baik saja. Namun terkadang pola tingkah laku kita yang dipengaruhi alam bawah sadar tidak bisa bohong, bahwa kita sering merasa sepi, walaupun di tengah keramaian. Sibuknya memenuhi urusan duniawi membuat kita tidak ada cukup waktu, atau punya kesempatan untuk memiliki hubungan yang tidak hanya tampak manis di riak permukaan, tapi juga bisa menghangatkan hati di bagian dalam. Sehingga saat seketika kita bertemu dia yang menarik hati, kita pun seketika pula jatuh hati, menafikan dan membutakan diri sejenak atas apa-apa yang tidak cocok dengan hati. Berasyik masyuk, terbuai dengan eforia salam-salam sayang di pagi hari, pesan mengingatkan makan di kala siang, dan peluk erat nan hangat di waktu malam.

  Tetapi, kebanggaan kita sebagai manusia modern juga membuat kita terlalu serius dalam melakukan manajemen resiko, bahkan sampai pada urusan-urusan usaha menyimpulkan tali hati. Check list memilih pasangan yang semula hanya terdiri dari tiga sampai lima poin dengan kriteria sederhana seperti: “yang penting baik” atau “yang penting ngobrolnya nyambung”, berubah menjadi ratusan poin yang sulit untuk dikompromi saat salah satu atau dua ternyata tidak dimiliki oleh si pemilik hati. Beberapa hari berselang, saat eforia sudah menyurut, saat logika kembali terpancang, hangat mesra pun mendingin, berganti dengan percakapan datar dan logis untuk menilai apakah ikatan ini bisa berlanjut atau harus berhenti. Argumen-argumen pun dibangun, daftar pro kontra dibuat, dan sayang sekali ternyata apa yang terjadi selama dua minggu ini harus disudahi, simpul hati pun harus diurai kembali.

 “Mungkin kita jatuh pada cinta, Bay. Bukan pada pasangannya”, Teman saya si jalang mencoba menganalisa. Mungkinkah begitu? Mungkinkah karena sebegitunya kita merasa kesepian, jadinya kita tanpa sadar melacurkan hati untuk mendapatkan satu paket rasa senang dan sedih yang menagih. Dengan siapa kita bercinta, menjadi urusan nomor dua. Ataukah, dengan bodohnya kita masih mengharapkan urusan percintaan kita sama seperti mimpi manis dan sempurna yang dibangun dalam bayangan kita? Masihkah kita berpikir bahwa nanti akan ada dia, yang datang dengan membawa komplit ratusan poin kriteria yang kita mau? Walaupun tiap hari kita menerima dengan telak tamparan pahitnya kenyataan, tapi untuk urusan yang satu itu, masihkah kita dengan rapat menutup telinga dari bisikan yang mengatakan bahwa ini bukan sebuah dongeng Disney, atau sebuah drama Korea? Hey, tidak ada yang namanya ibu peri di sini, dan operasi plastik harganya luar biasa mahal!

“Bedanya rasa suka anak kecil dan orang dewasa, Bay, Kalau anak kecil itu suka sesuatu dari seratus turun jadi sepuluh. Kalau orang dewasa, rasa sukanya dari sepuluh jadi seratus.”

Begitulah saat seorang karib memberikan opini pribadi tentang urusan percintaan orang dewasa. Bagaimana sisi kedewasaan menjadi salah satu faktor dalam menyukai sesuatu atau seseorang. Karib saya ini telah menjalin cinta dengan pacarnya lebih dari delapan tahun lamanya. Masih teringat dengan jelas seperti sebuah gambar foto di kepala saya, ekspresi paniknya karib saya ini saat si pacar tetiba raib saat kami sedang liburan ke luar negeri. Melihat mereka berdua, sering saya iri.

Kembali ke opini karib saya, jadi, mungkinkah begitu? Mungkinkah kita masih bertingah polah laiknya anak-anak? Seiring dengan berlalunya waktu, rasa suka kita justru menjadi semakin menurun kadarnya dan membosan? Atau, apakah kita sengaja melepaskan diri dari kerangkeng kedewasaan saat kita jatuh cinta? Sengaja bertingkah bak anak-anak? Ataukah, sederhana saja, memang kita belum beruntung saja di urusan percintaan? Memang belum jodoh saja? Bukan saat ini, tapi mungkinkah nanti ada orang yang datang yang membawa penggalan rusuk kita? Tunggu saja.

Pada akhirnya, kita tidak butuh seseorang yang sanggup merayakan hari jadi hubungan kita dengan pesta megah nan meriah, atau mengajak kita makan malam nan elegan di restoran mewah. Cukuplah seseorang yang memeluk hangat kita dari belakang saat kita merasa lelah.

Saya dan teman saya si jalang yang masih sedikit sendu akhirnya sepakat, sudahlah, rayakan saja status kelajangan kita. Apapun status yang kita emban sekarang, patut untuk disyukuri. Kami sepakat bahwa menjadi lajang tanpa menjadi jalang sama halnya seperti menjadi ronggeng tapi tidak memakai bedak. Sayang. Eman-eman. Sudah saya bilang berkali-kali bukan bahwa dia adalah teman saya nan jalang, dan saya adalah temannya yang kebetulan juga jalang. Daaan..menulis urusan cinta-cintaan begini membuat saya merasa seperti Carrie Bradshaw, walaupun wajah saya tidak seperti muka kuda (again, my brain). Lagipula, saya merasa saya lebih mirip Samantha. Huuuft..

Senin, 21 Mei 2012

Tersimpang

Apakah ini sayang? Tetiba kau menaruh sesuatu di tapak tangan kecilku. Sesuatu yang segera terasa hangat membungkus kulit dan menembus hati. Cintakah? Ah, sepertinya terlalu mendayu jika disebut begitu. Lagipula, hatiku ini terlanjur terlalu keras untuk merasa cinta seperti yang banyak orang rasa dan cerita. Jadi apa ini? Sepotong asa? Bolehlah jika kita sebut demikian. Karena memang hanya sepotong kecil saja besarnya. Kecil dan tidak penting. Sungguh, tidak penting. Sebegitu tidak pentingnya hingga kuuntai menjadi bandul, supaya dekat dengan degup hati. Sebegitu tidak pentingnya hingga bisa buat aku menyungging senyum meski mukaku terserang telak buliran badai pasir. Sebegitu tidak pentingnya hingga bisa membuat kaki gontaiku tetap melangkah pulang, meski kepala dan pundakku yang rapuh terpapar deras hujan. Jadi, kutanya lagi padamu sayang, apakah ini?

Siapakah kau ini sayang? Tetiba kau datang, memotong perhatianku ditengah alur rutinitas yang berbuah lelah lagi membosankan. Saat malam tiba, kau telah berdiri di situ, menungguku. Kau nyalakan deretan lampu kota. Lalu kau menggamit tanganku tanpa permisi untuk berjalan bersamamu di tengah kilau dan kerlipnya. Kau peluk aku erat sayang, seketika tulang-tulang lelahku berangsur menghangat dan menguat. Kau genggam tanganku dan sentuh punggungku, dimana setiap sentuhannya menjejakkan lapisan kulit yang membahagia. Tapi kenapa aku tidak bisa menyentuhmu sayang? Di saat aku mencoba mengusap pipimu, segera saja aku ternyata hanya menggengam angin. Wujudmu segera mundur, perlahan menghilang dengan meninggalkan raut senyum tipis khasmu itu. Senyum tipis yang aku benci namun juga aku rindu, karena aku tahu itu pertanda kau akan sejenak pergi. Aku tidak tahu dimana kamu, tapi kamu selalu bisa temukan aku. Aku benci kamu sayang, karena kamu tahu dengan tepat bagaimana membuatku lepas berderai tawa, namun juga membuatku menahan butir air di sudut mata. Jadi, kutanya lagi padamu sayang, siapakah kau ini?

Apakah kita ini sayang? Tetiba kita bertemu di jalan bersimpang. Berdua kita bukan tokoh utama dari sebuah kisah cinta yang manis. Jelas bukan. Karena kau sudah punya cerita cintamu, dan pun aku dengan kisah cintaku. Kita hanyalah manusia-manusia korban dari guyonan nasib yang sama sekali tidak lucu. Jadi, apakah kita ini sayang? Kait jalan bersimpang ini bergerak menjauh, di saat simpulku denganmu justru semakin menghubul erat. Inilah yang membuat aku sedih sayang, bukan karena yang lain. Belum puas aku nikmati cahaya kota berdua denganmu. Belum selesai aku ingin dipeluk hangat olehmu. Dan belum rela aku untuk melepas potongan asamu dari tanganku. Aku merasa ini belum seharusnya selesai sayang. Jadi, biar ku bertanya padamu sayang. Kita terpisah kini, namun suatu hari nanti, akankah kita tersimpang lagi?

Kamis, 19 April 2012

Nasi Tim

Dua bulan sebelumnya, pertigaan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat
Saya sedang menunggu salah satu makanan favorit saya, nasi tim, disiapkan dan dibungkus untuk dibawa pulang. Lokasi kedainya ada di pertigaan Bendungan Hilir, di depan sebuah restoran Asia yang sepi pengunjung. Sudah larut malam, sekitar jam sebelas. Tiba-tiba perut saya keroncongan, dan saya ingin makan yang hangat-hangat.

Sembari menunggu, saya melontarkan beberapa pertanyaan kasual kepada si mbak-mbak penjual. Dia menjawab ramah dengan logat Jawa pesisir yang kental bak kopi tubruk. Dia menjelaskan panjang lebar mengapa harga satu porsi nasi tim yang dia jual bisa sebesar itu, dengan nada seperti orang yang bersungguh-sungguh meminta maaf. Padahal menurut saya harganya cukup rasional dan masuk akal. Tidaklah mahal.
Saya suka berbincang dengan si mbak penjual nasi tim. Dia lebih muda dari saya. Dia nampak bahagia dengan apa yang dia kerjakan, bahagia dengan pakaian yang dia pakai, bahagia dengan gelang warna-warni yang suka dia gerak-gerakkan dengan mengayun-ayunkan pergelangan tangannya. Dia nampak bahagia dengan dirinya. Sepertinya dia lebih bahagia daripada saya, yang kadang masih suka mengeluh dan mengumpat untuk hal-hal kecil tidak penting lagi bodoh.

Sebulan sebelumnya, pertigaan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat
Saya sedang kebingungan mencari kedai kecil nasi tim langganan saya. Kedai itu raib entah kemana. Restoran Asia di belakang kedai pun sudah berubah menjadi sebuah convinience store yang sedang marak menjamur di Jakarta. Namanya merupakan deretan angka. Tempat dimana pemuda dan pemudi labil ibukota gemar menghabiskan waktu nongkrong di pelatarannya. Sebuah informasi saya dapat dari seorang tukang parkir di area itu, bahwa semua warung makanan pinggir jalan di sekitar convinience store telah digusur, demi kenyamanan pengunjung. Bapak tukang parkir tidak tahu kemana warung makan-warung makan itu berpindah. Lelah mencari tanpa hasil, gontailah saya berjalan pulang.

Malam itu, pertigaan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat
Saya sedang menunggu salah satu makanan favorit saya, nasi tim, dipersiapkan dan dibungkus untuk dibawa pulang. Lokasi kedainya ada di pertigaan Bendungan Hilir, beberapa meter dari sebuah convinience store yang sedang marak menjamur di Jakarta. Sudah larut malam, sekitar jam sebelas. Tiba-tiba perut saya keroncongan, dan saya ingin makan yang hangat-hangat.

Usut punya usut, ternyata Ibu RT setempat memperjuangkan nasib para penjaja makanan pinggir jalan ini. Akhirnya manajemen convinience store mengijinkan mereka kembali berjualan, namun lokasinya sedikit bergeser beberapa meter dari lokasi semula. Ujar si mbak penjual nasi tim:

“Ndak popo lah Mas. Yang penting tetep bisa cari duit.”

Saat sedang menunggu nasi tim saya dihangatkan, tiba-tiba saya mendengar keributan di depan convinience store. Seorang pria berpakaian perempuan yang membawa kotak radio di lengannya, sedang bersitegang dengan seorang security.

"Tidak boleh mengamen di depan toko! ujar si security.

Semakin panas, tidak lagi hanya beradu mulut, kedua pihak sudah mulai beradu pukul, yang melibatkan pihak-pihak lain seperti tukang parkir dan pemuda-pemuda kampung yang berhamburan keluar mendengar keributan. Dikeroyok ramai-ramai, nampak jelas bogem-bogem mentah mendarat telak di pipi, dagu, dan perut si pria berpakaian perempuan, sampai datang pihak-pihak lain memisahkan perkelahian. Si pria berpakaian perempuan terseok mengambil radio bututnya yang tadi terjatuh, dan memungut sepatu manik-maniknya yang tadi terlepas. Pembuluh darah di bibirnya pecah. Dengan suara sedih getir bercampur menahan sakit, si pria berpakaian perempuan berteriak lantang diiringi sedikit isakan:

“GUE CUMA CARI DUIT.”


Kita semua, akhirnya, hanya mencari uang. Dengan cara yang kita tahu, dan dengan daya yang kita bisa.

Bus

Tiba-tiba muncul gambar semacam bunga di sudut logo twitter di handphone saya. Ini menunjukkan bahwa seseorang mencantumkan nama akun saya dalam kicauan yang baru saja dibuatnya.

Dari seorang teman ternyata. Ia membalas kicauan saya sebelumnya tentang pernyataan saya, yaitu bahwa saya menempuh perjalanan ke kantor dengan menggunakan transportasi umum alih-alih transportasi milik pribadi. Dalam kicauannya dia menanyakan pernyataan saya, mengapa saya yang sudah berstatus junior manager masih bersusah-susah menggunakan transportasi umum Jakarta yang jauh dari definisi aman dan nyaman. Dia juga menanyakan mengapa saya tidak punya mobil pribadi.

Bersegeralah saya menjawab: “Saya melawan tuntutan imej. Daripada tidak punya uang tapi berlagak kaya.” Kalimat kedua yang saya tulis dalam kicauan saya mungkin sedikit keras, namun bukan dimaksudkan untuk menyindir teman saya itu, atau siapapun. Kalimat ini saya buat berfungsi untuk memperkuat kalimat sebelumnya, fakta bahwa kita hidup disebuah situasi dimana bingkai-bingkai imej merupakan sebuah patokan definisi diri.

It’s no longer “you are what you think” but “you are what you have”.

Puji syukur atas karunia Tuhan yang maha pemurah, bahwa dijenjang usia saya sekarang, saya punya sedikit sisa dari pendapatan bulanan saya untuk berinvestasi atau membeli benda-benda tersier. Saya pernah membuat semacam daftar alasan, untuk diri saya sendiri, mengapa saya harus punya mobil. Karena mobil bukanlah barang murah -paling tidak untuk saya- saya pikir saya harus punya legitimasi yang kuat mengapa saya harus punya mobil, dan mengapa tidak harus. Setelah pikir punya pikir, ternyata alasan pertama yang muncul di kepala saya sama persis seperti kicauan teman saya.

“Saya kan sudah jadi junior manajer sekarang, masa tidak punya mobil”.

Alasan utama dan pertama dalam benak saya ternyata berkaitan dengan imej mobil sebagai barang mewah, alih-alih fungsi asli mobil itu sendiri sebagai alat transportasi. Karena saya punya kecenderungan untuk tidak mengamini imej-imej yang diusung oleh khalayak ramai, maka saya memutuskan bahwa transportasi umum Jakarta cukuplah bagi saya. Toh sewaktu kuliah di Jogja saya pergi kemana-mana naik bus. Jadi kalau dulu bisa, mengapa sekarang tidak? Terlepas dari apapun status saya dulu dan sekarang, mahasiswa atau manajer.

Suatu hari di kantor, saya diserang daftar pekerjaan yang panjang. Jadinya saya pulang sedikit larut, jam setengah sepuluh. Bus yang saya naiki sudah jauh lebih sepi penumpang dibanding saat jam-jam pulang kantor. Saya amati hanya ada tiga orang di dalam bus malam itu. Tiba-tiba bus berhenti mengangkut penumpang. Naiklah seorang ibu-ibu tua. Bukannya duduk, dia berdiri di dekat pintu masuk dan mulai bernyanyilah dia. Mau tidak mau saya memperhatikan si ibu pengamen ini. Usianya sekitar lima puluh tahunan. Rambutnya panjang dikucir kuda ditarik rapih kebelakang. Ia menggunakan kemeja warna biru muda, dan celana bahan yang sudah pudar warna gelapnya. Sendal jepit hijau membingkai kakinya. Pipinya bengkak di sebelah kanan, dan suaranya jelek.

Malam sudah larut, dan dia sudah tua. Melihat si ibu pengamen, tiba-tiba saya sedih dan teringat Ibu saya. Ibu saya yang sama tuanya, ibu saya yang akan melakukan apapun untuk menyuapi mulut anak-anaknya. Sedih namun juga bersyukur bahwa bukan ibu saya yang harus berdiri dan berdendang serak di bus, melawan malam untuk segenggam uang. Karena nasib orang tidak ada yang tahu, saya juga sedih membayangkan jika andaikata –semoga tidak- nasib saya dikala tua tidak seberuntung sekarang. Andaikata –semoga tidak- nasib memaksa saya harus mengamen di atas bus disaat seharusnya saya sudah bergelung nyaman di atas kasur, memanjakan ketuaan saya.

Sekarang si ibu sedang menghitung pendapatan atas jualan suaranya. Saat sedang asik menghitung receh dan sedikit lembaran uang kertas di tangan, tiba-tiba, entah mengapa pintu bis lepas dari engsel-engselnya, ujungnya menimpa lengan si Ibu. Dia berteriak kesakitan, kemudian mengelus-elus lengannya yang nampaknya ngilu.

Di ujung jalan si ibu turun dari bus. Bukannya menghentikan bis dengan benar, sopir bus hanya memelankan laju bus, sehingga si ibu terhuyung-huyung ke depan hampir jatuh saat turun. Tidak ada keluhan keluar sedikitpun dari mulutnya. Sama seperti saat lengannya tertimpa pintu bus pun, dia hanya melenguh kesakitan sebentar, dan kembali diam. Mungkin dalam hidupnya dia pernah melalui hari-hari yang jauh lebih berat, jadi apa yang terjadi malam itu hanya seperti gigitan semut merah baginya. Saya masih memperhatikan si ibu pengamen, sampai sosoknya hilang masuk kedalam gang.

Saya sedih malam itu.

Minggu, 26 Februari 2012

Jogja VS Jakarta

JOGJA. Dimana semua orang sudah mempunyai tempat dan perannya sendiri-sendiri. Di kota ini, kacamata penduduknya bervariasi. Raut mukanya menunjukkan kepahaman dan memaklumi, bukan tidak peduli. Tidak perlu berlari, karena progres manusianya selaras dengan progres kota ini.

JAKARTA. Dimana semua orang harus berusaha diri untuk memenuhi standar kesombongan kota ini. Jika tidak bisa menembus standar, maka cibir cemooh, harus siap kita terima. Bagusnya, kita dituntut untuk selalu berprogres dan berproses. Selalu berlari dan berkeras hati.

JOGJA. Kota dengan sebuah lapisan pelindung. Lemparilah penduduknya dengan cibiran dan kotoran dunia, maka lapisan atmosfer Jogja lebih dulu akan membakarnya. Jogja bagai sebuah dunia tersendiri. Penduduknya, menertawakan dunia.

JAKARTA. Kota dimana kami dilempari tai-tai dunia. Tanpa pelindung satupun, mendarat tepat di muka kami. Baiknya, kota ini tidak memberi kesempatan untuk menangis. Segera seka kotoran di muka dan badan, tegakkan muka dan kembali berjalan.

JOGJA. Kota dimana senyum dan tulus pujian diumbar ke semua orang. Gratis, tanpa pamrih.

JAKARTA. Sebuah kota yang mahal. Pujian pun harganya mahal. Kilau-kilau dunia harus menempel di tubuh kita. Kalau tidak punya kilauan, jangankan pujian, pandangan sebelah mata pun tidak akan diberikan. Baiknya, kita dituntut untuk berusaha keras hanya untuk sebuah tatapan.

JOGJA. Seakan waktu berhenti. Semua bisa dikerjakan dalam satu hari.

JAKARTA. Kota dimana waktu berjalan sangat cepat. Seakan dua puluh empat jam tidak cukup untuk mengerjakan semuanya. Hari Minggu, bergerak cepat kembali ke hari Minggu. Baiknya, Manusianya terlatih untuk memanfaatkan waktu. Mau tidak mau, bersahabat dengan waktu.

JOGJA. Bagai sebuah brwonies ganja. Memberi efek selalu gembira. Tertawa. Seakan hidup tanpa masalah, tanpa tekanan. Semua akan berjalan baik.

JAKARTA. Kota penuh dengan tekanan dan tuntutan. Penuh dengan lapisan standar yang harus dipenuhi. Penuh dengan lapisan masalah dan tantangan yang harus dilawan. Baiknya, manusianya menjadi menghargai momen-momen kecil yang ternyata membahagiakan. Bertemu sejenak dengan sobat lama setelah hari yang melelahkan, atau menikmati deretan lampu kota di kala malam. Sederhana, tapi menyenangkan.

Saya sudah menjadi manusia Jakarta. Saya sudah mulai terbiasa dengan tuntutan sekaligus keruwetannya. Saya sudah berlari kencang bersama kota ini. Mendongak tegak dan menjadi sombong. Tapi dari waktu ke waktu, saya selalu merindukan pulang ke Jogja. Dengan segala senyum lebar dan tawa lepasnya.

Tentang Durian dan Pakaian Dalam

Belakangan ini, semakin banyak orang yang menduga-duga apa agama saya. Ada yang bertanya terus terang, ada pula yang menyelubungkan keingintahuannya dalam kalimat-kalimat yang menggatung, sambil menunggu reaksi saya. Untungnya saya cukup pandai untuk membalas pertanyaan dengan pertanyaan, atau membalas kalimat menggantung dengan kalimat yang lebih menggantung. Jadilah kepenasaran mereka tetap menggantung terkatung-katung. Contohnya saat ada orang bertanya, ”Bayu agama kamu apa sih?”, maka saya akan menjawab, ”Menurut kamu apa?”. Kemudian saat si penanya bilang, ”Kamu beragama A.”, maka saya akan membalas dengan, ”oooh.”, dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain, atau pergi.

Bahkan, ada satu teman kantor saya yang berpikir saya berencana akan pindah agama. Tidak bisa ia membendung rasa ingin tahu, suatu hari duduklah saya di depan meja kantornya. Lebih tepatnya, dengan bisik-bisik halus dia memanggil nama saya untuk duduk, saat saya sedang asik mencuil sepotong kecil dark chocolate yang terhidang di dekat mejanya. Jadilah saya ditanya-tanyai, dan diceramahi, sembari saya menjilati cokelat yang berlumuran di jari-jari. Namun seperti biasa, saya menunjukkan bakat saya, yaitu dengan mudah bisa menenggelamkan orang makin dalam ke dalam pemikirannya. Ke dalam apa yang sudah dipercaya oleh pikirannya, tanpa perlu mengatakan ”ya” atau ’tidak”. Biarkan mereka berasyik masyuk dengan asumsi-asumsi di kepala. Akhirnya, sepertinya semakin yakin dia bahwa saya akan pindah agama.

Pakaian Dalam
Tanpa mengurangi rasa hormat sedikit pun, bagi saya, agama seperti pakaian dalam. Ya, Pakaian dalam yang kita pakai sehari-hari. Fungsinya sangat penting untuk melindungi bagian-bagian yang paling pribadi dan paling personal dari diri kita. Bedanya, tentu saja pakaian dalam berfungsi untuk melindungi bagian penting dari diri kita yang sifatnya fisikal, sedangkan agama adalah lapisan pelindung spiritual. Laiknya pakaian dalam, agama seharusnya tidak perlu ditunjuk-tunjukkan ke orang lain. Keagamaan kita seharusnya bukan menjadi konsumsi publik, atau menjadi cara penarik perhatian publik, kecuali kita adalah seorang eksibisionis, baik fisikal maupun spritual.
Agama layaknya pakaian dalam, yang kita pilih dan pakai supaya kita merasa nyaman. Beberapa orang memeluk sebuah agama karena mereka anggap agamanya adalah yang paling logis. Ini aneh, karena awalnya konsep kepercayaan yang paling kuno terbentuk untuk menjawab segala fenomena yang tidak bisa dijawab oleh nalar manusia p
ada masa itu. Manusia purba tidak punya logika kenapa gunung bisa tiba-tiba meletus memuntahkan lahar. Maka dibuatkanlah bentuk-bentuk persembahan untuk menyenangkan, atau menenangkan sebuah kuasa yang jauh lebih besar dari kuasa mereka. Akan selalu ada sisi-sisi ajaran agama yang tidak rasional, tidak logis, dan tidak masuk akal. Karena jika semua bagiannya bisa dilogikakan, bukankah itu akan menafikan fungsi dasar agama itu sendiri? Agama ada karena kita percaya, tidak perlu ada alasan yang kena logika, cukup merasa nyaman saja.

Durian
Ada dua orang sahabat. Sebut saja nama mereka adalah Karib dan Kental. Gelombang pikiran mereka berada dalam frekwensi yang sama. Pun dukungan dan semangat selalu diberikan dari satu kepada yang lainnya. Hanya ada satu hal yang membedakan mereka, dan tidak dapat disatukan. Satu hal itu adalah durian. Karib adalah pecinta durian. Bagi Karib, durian adalah kepingan kecil surga yang jatuh ke dunia. Sedangkan bagi Kental, mencium baunya dari radius lima meter saja bisa membuat dia pingsan. Kenapa Karib suka durian? Jawabannya adalah karena rasanya enak. Kenapa Kental tidak suka durian? Jawabannya adalah karena baunya saja sudah tidak enak, bikin pusing, apalagi rasanya. ”Enak” dan ”Tidak Enak” adalah alasan mereka untuk suka dan tidak suka. ”Enak” dan ”Tidak Enak” berkaitan erat dengan pengalaman personal, sulit untuk digeneralisir, dan susah untuk dipecah lagi menjadi turunan-turunan parameter.
Karena Karib dan Kental bersahabat erat, haruskah Karib memaksa Kental untuk juga menyukai durian, hanya karena menurut Karib rasanya enak? Pun sebaliknya dari sisi Kental? Karib dan Kental tetap sepasang sahabat, terlepas dari satu dari mereka mencintai durian, sedangkan yang lain membencinya.
Agama layaknya durian. Kita percaya dengan alasan-alasan yang telah melewati lapisan pengalaman personal. Alasan-alasan yang tidak bisa digeneralisir, tidak bisa disamaratakan. Kita tidak bisa, dan tidak pantas, untuk meminta orang lain untuk mempercayai sesuatu, hanya karena kita mempercayainya. Namun layaknya Karib dan Kental, gelombang otak kita tetap bisa dalam frekwensi yang sama. Kita tetap saling menjaga punggung satu sama lain, meskipun kita percaya dua hal yang berbeda.

Atheis
Saya tidak percaya dengan bentuk institusi agama apapun. Saya juga memandang apatis para tokoh dan pemimpinnya. Tapi saya merasa saya tidak bisa menjadi atheis. Sama seperti manusia purba, saya ingin percaya bahwa ada kekuatan di luar kuasa yang membuat gunung meletus. Saya ingin percaya bahwa ada alasan di luar nalar supaya saya bisa bersuka cita atas rejeki dan jodoh, atau sebaliknya, dengan ikhlas berkata “belum rejeki”, “belum berjodoh”, atau “ada rencana yang lebih baik buat saya”. Ditengah segala keapatisan dan ketidakpercayaan saya atas dunia dimana saya tinggal sekarang, saya ingin percaya ada sebuah alasan kenapa kita harus bersusah-susah hidup. Saya mencintai The Beatles, tapi saya tidak bisa untuk imagine there’s no heaven, terlepas nanti saya akan tinggal disana atau tidak.

Balada Ronggeng

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng di sebuah padukuhan sederhana bernama dukuh Paruk. Penduduknya yang jumlahnya tidak seberapa hidup miskin lagi bodoh. Rambut mereka merah dengan kulit legam berdaki, terjerang matahari. Tubuh mereka kurus kering, tanda kurang asupan gizi. Tidak setiap hari mereka bisa makan nasi.

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng yang kecantikannya menyebar sampai ke pasar Dawuan. Ronggeng yang kecantikannya mendesirkan darah para pria. Ronggeng yang membuat para wanita memuja figurnya. Ronggeng yang kerlingan sudut matanya menantang iman para tuan tanah dan priyayi desa.

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng yang mendapat semua kemudahan dunia. Semenjak jadi ronggeng, Srintil tidak lagi serupa dengan warga dukuh Paruk lainnya. Rambut Srintil tebal, wangi, hitam legam. Kulitnya halus berwarna kuning. Seuntai kalung berbandul emas menjuntai sempurna di lehernya yang jenjang. Srintil tidur di ranjang, tidak lagi di bale-bale reyot dari anyaman bambu dan akar rotan.

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng yang menjadi penanda gempita dukuh Paruk. Dukuh Paruk yang gersang lagi terbelakang. Tugas ronggeng adalah menari dengan kenes disertai sabetan sampur. Bukan hanya itu, tugas ronggeng pulalah untuk fasih di urusan kasur. Menemani pria-pria dukuh paruk yang bau keringat itu tidur.

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng yang tidak lagi boleh punya rasa. Ronggeng harus selalu tersenyum di hadapan semua orang. Ronggeng tidak boleh menolak untuk menghibur walau badan kelelahan. Tidak boleh berhenti menari, karena seorang ronggeng tidak lebih dari sebuah komoditi.

Srintil adalah seorang ronggeng. Dan ronggeng sejatinya manusia biasa. Manusia biasa yang pada akhirnya ingin diperlakukan layaknya manusia. Srintil ingin dicintai oleh satu lelaki. Tetapi tidak bisa, karena Srintil adalah milik semua lelaki. Karena Srintil adalah seorang ronggeng, dan menjadi ronggeng adalah kontrak seumur hidup yang dibawa mati. Srintil adalah milik semua orang, sampai dia mati.

Kita bukan Srintil, dan kita bukan ronggeng. Kita adalah beragam manusia dengan beragam alur hidup, dan pekerjaan.Tapi, sedikit banyak, kita hidup bagaikan seorang ronggeng.

Siapa diantara kita yang tidak ingin tampil menarik?
Siapa diantara kita yang tidak ingin menjadi pusat perhatian?
Siapa diantara kita yang tidak ingin terlihat mempesona?
Siapa diantara kita yang tidak berlelah membentuk imej diri?
Siapa diantara kita yang tidak menghabiskan uang untuk bersolek?
Siapa diantara kita yang tidak ingin mendapatkan semua kemudahan dunia?

Siapa diantara kita yang terkadang tidak boleh menunjukkan rasa dihadapan orang lain?
Siapa diantara kita yang terkadang tidak punya pilihan?
Siapa diantara kita yang terkadang tidak boleh berhenti walau kelelahan?
Siapa diantara kita yang tidak boleh tidak tersenyum dihadapan orang lain?
Siapa diantara kita yang terkadang terjebak dalam hubungan-hubungan yang kompleks?
Siapa diantara kita yang hidupnya tidak menjadi milik beberapa orang? Atau semua orang?
Siapa diantara kita yang tidak menjadi komoditi?
Siapa diantara yang kita yang tidak menandatangani kontrak seumur hidup yang dibawa mati?

Kita, sedikit banyak, hidup bagaikan seorang ronggeng yang menawan. Hanya saja kita tidak perlu untuk bisa njoged, nembang, atau menghibur di atas kasur.


(terinspirasi dari trilogi ”Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari, dan film ”Sang Penari” karya Ifa Ifansyah)