Minggu, 26 Februari 2012

Jogja VS Jakarta

JOGJA. Dimana semua orang sudah mempunyai tempat dan perannya sendiri-sendiri. Di kota ini, kacamata penduduknya bervariasi. Raut mukanya menunjukkan kepahaman dan memaklumi, bukan tidak peduli. Tidak perlu berlari, karena progres manusianya selaras dengan progres kota ini.

JAKARTA. Dimana semua orang harus berusaha diri untuk memenuhi standar kesombongan kota ini. Jika tidak bisa menembus standar, maka cibir cemooh, harus siap kita terima. Bagusnya, kita dituntut untuk selalu berprogres dan berproses. Selalu berlari dan berkeras hati.

JOGJA. Kota dengan sebuah lapisan pelindung. Lemparilah penduduknya dengan cibiran dan kotoran dunia, maka lapisan atmosfer Jogja lebih dulu akan membakarnya. Jogja bagai sebuah dunia tersendiri. Penduduknya, menertawakan dunia.

JAKARTA. Kota dimana kami dilempari tai-tai dunia. Tanpa pelindung satupun, mendarat tepat di muka kami. Baiknya, kota ini tidak memberi kesempatan untuk menangis. Segera seka kotoran di muka dan badan, tegakkan muka dan kembali berjalan.

JOGJA. Kota dimana senyum dan tulus pujian diumbar ke semua orang. Gratis, tanpa pamrih.

JAKARTA. Sebuah kota yang mahal. Pujian pun harganya mahal. Kilau-kilau dunia harus menempel di tubuh kita. Kalau tidak punya kilauan, jangankan pujian, pandangan sebelah mata pun tidak akan diberikan. Baiknya, kita dituntut untuk berusaha keras hanya untuk sebuah tatapan.

JOGJA. Seakan waktu berhenti. Semua bisa dikerjakan dalam satu hari.

JAKARTA. Kota dimana waktu berjalan sangat cepat. Seakan dua puluh empat jam tidak cukup untuk mengerjakan semuanya. Hari Minggu, bergerak cepat kembali ke hari Minggu. Baiknya, Manusianya terlatih untuk memanfaatkan waktu. Mau tidak mau, bersahabat dengan waktu.

JOGJA. Bagai sebuah brwonies ganja. Memberi efek selalu gembira. Tertawa. Seakan hidup tanpa masalah, tanpa tekanan. Semua akan berjalan baik.

JAKARTA. Kota penuh dengan tekanan dan tuntutan. Penuh dengan lapisan standar yang harus dipenuhi. Penuh dengan lapisan masalah dan tantangan yang harus dilawan. Baiknya, manusianya menjadi menghargai momen-momen kecil yang ternyata membahagiakan. Bertemu sejenak dengan sobat lama setelah hari yang melelahkan, atau menikmati deretan lampu kota di kala malam. Sederhana, tapi menyenangkan.

Saya sudah menjadi manusia Jakarta. Saya sudah mulai terbiasa dengan tuntutan sekaligus keruwetannya. Saya sudah berlari kencang bersama kota ini. Mendongak tegak dan menjadi sombong. Tapi dari waktu ke waktu, saya selalu merindukan pulang ke Jogja. Dengan segala senyum lebar dan tawa lepasnya.

Tentang Durian dan Pakaian Dalam

Belakangan ini, semakin banyak orang yang menduga-duga apa agama saya. Ada yang bertanya terus terang, ada pula yang menyelubungkan keingintahuannya dalam kalimat-kalimat yang menggatung, sambil menunggu reaksi saya. Untungnya saya cukup pandai untuk membalas pertanyaan dengan pertanyaan, atau membalas kalimat menggantung dengan kalimat yang lebih menggantung. Jadilah kepenasaran mereka tetap menggantung terkatung-katung. Contohnya saat ada orang bertanya, ”Bayu agama kamu apa sih?”, maka saya akan menjawab, ”Menurut kamu apa?”. Kemudian saat si penanya bilang, ”Kamu beragama A.”, maka saya akan membalas dengan, ”oooh.”, dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain, atau pergi.

Bahkan, ada satu teman kantor saya yang berpikir saya berencana akan pindah agama. Tidak bisa ia membendung rasa ingin tahu, suatu hari duduklah saya di depan meja kantornya. Lebih tepatnya, dengan bisik-bisik halus dia memanggil nama saya untuk duduk, saat saya sedang asik mencuil sepotong kecil dark chocolate yang terhidang di dekat mejanya. Jadilah saya ditanya-tanyai, dan diceramahi, sembari saya menjilati cokelat yang berlumuran di jari-jari. Namun seperti biasa, saya menunjukkan bakat saya, yaitu dengan mudah bisa menenggelamkan orang makin dalam ke dalam pemikirannya. Ke dalam apa yang sudah dipercaya oleh pikirannya, tanpa perlu mengatakan ”ya” atau ’tidak”. Biarkan mereka berasyik masyuk dengan asumsi-asumsi di kepala. Akhirnya, sepertinya semakin yakin dia bahwa saya akan pindah agama.

Pakaian Dalam
Tanpa mengurangi rasa hormat sedikit pun, bagi saya, agama seperti pakaian dalam. Ya, Pakaian dalam yang kita pakai sehari-hari. Fungsinya sangat penting untuk melindungi bagian-bagian yang paling pribadi dan paling personal dari diri kita. Bedanya, tentu saja pakaian dalam berfungsi untuk melindungi bagian penting dari diri kita yang sifatnya fisikal, sedangkan agama adalah lapisan pelindung spiritual. Laiknya pakaian dalam, agama seharusnya tidak perlu ditunjuk-tunjukkan ke orang lain. Keagamaan kita seharusnya bukan menjadi konsumsi publik, atau menjadi cara penarik perhatian publik, kecuali kita adalah seorang eksibisionis, baik fisikal maupun spritual.
Agama layaknya pakaian dalam, yang kita pilih dan pakai supaya kita merasa nyaman. Beberapa orang memeluk sebuah agama karena mereka anggap agamanya adalah yang paling logis. Ini aneh, karena awalnya konsep kepercayaan yang paling kuno terbentuk untuk menjawab segala fenomena yang tidak bisa dijawab oleh nalar manusia p
ada masa itu. Manusia purba tidak punya logika kenapa gunung bisa tiba-tiba meletus memuntahkan lahar. Maka dibuatkanlah bentuk-bentuk persembahan untuk menyenangkan, atau menenangkan sebuah kuasa yang jauh lebih besar dari kuasa mereka. Akan selalu ada sisi-sisi ajaran agama yang tidak rasional, tidak logis, dan tidak masuk akal. Karena jika semua bagiannya bisa dilogikakan, bukankah itu akan menafikan fungsi dasar agama itu sendiri? Agama ada karena kita percaya, tidak perlu ada alasan yang kena logika, cukup merasa nyaman saja.

Durian
Ada dua orang sahabat. Sebut saja nama mereka adalah Karib dan Kental. Gelombang pikiran mereka berada dalam frekwensi yang sama. Pun dukungan dan semangat selalu diberikan dari satu kepada yang lainnya. Hanya ada satu hal yang membedakan mereka, dan tidak dapat disatukan. Satu hal itu adalah durian. Karib adalah pecinta durian. Bagi Karib, durian adalah kepingan kecil surga yang jatuh ke dunia. Sedangkan bagi Kental, mencium baunya dari radius lima meter saja bisa membuat dia pingsan. Kenapa Karib suka durian? Jawabannya adalah karena rasanya enak. Kenapa Kental tidak suka durian? Jawabannya adalah karena baunya saja sudah tidak enak, bikin pusing, apalagi rasanya. ”Enak” dan ”Tidak Enak” adalah alasan mereka untuk suka dan tidak suka. ”Enak” dan ”Tidak Enak” berkaitan erat dengan pengalaman personal, sulit untuk digeneralisir, dan susah untuk dipecah lagi menjadi turunan-turunan parameter.
Karena Karib dan Kental bersahabat erat, haruskah Karib memaksa Kental untuk juga menyukai durian, hanya karena menurut Karib rasanya enak? Pun sebaliknya dari sisi Kental? Karib dan Kental tetap sepasang sahabat, terlepas dari satu dari mereka mencintai durian, sedangkan yang lain membencinya.
Agama layaknya durian. Kita percaya dengan alasan-alasan yang telah melewati lapisan pengalaman personal. Alasan-alasan yang tidak bisa digeneralisir, tidak bisa disamaratakan. Kita tidak bisa, dan tidak pantas, untuk meminta orang lain untuk mempercayai sesuatu, hanya karena kita mempercayainya. Namun layaknya Karib dan Kental, gelombang otak kita tetap bisa dalam frekwensi yang sama. Kita tetap saling menjaga punggung satu sama lain, meskipun kita percaya dua hal yang berbeda.

Atheis
Saya tidak percaya dengan bentuk institusi agama apapun. Saya juga memandang apatis para tokoh dan pemimpinnya. Tapi saya merasa saya tidak bisa menjadi atheis. Sama seperti manusia purba, saya ingin percaya bahwa ada kekuatan di luar kuasa yang membuat gunung meletus. Saya ingin percaya bahwa ada alasan di luar nalar supaya saya bisa bersuka cita atas rejeki dan jodoh, atau sebaliknya, dengan ikhlas berkata “belum rejeki”, “belum berjodoh”, atau “ada rencana yang lebih baik buat saya”. Ditengah segala keapatisan dan ketidakpercayaan saya atas dunia dimana saya tinggal sekarang, saya ingin percaya ada sebuah alasan kenapa kita harus bersusah-susah hidup. Saya mencintai The Beatles, tapi saya tidak bisa untuk imagine there’s no heaven, terlepas nanti saya akan tinggal disana atau tidak.

Balada Ronggeng

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng di sebuah padukuhan sederhana bernama dukuh Paruk. Penduduknya yang jumlahnya tidak seberapa hidup miskin lagi bodoh. Rambut mereka merah dengan kulit legam berdaki, terjerang matahari. Tubuh mereka kurus kering, tanda kurang asupan gizi. Tidak setiap hari mereka bisa makan nasi.

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng yang kecantikannya menyebar sampai ke pasar Dawuan. Ronggeng yang kecantikannya mendesirkan darah para pria. Ronggeng yang membuat para wanita memuja figurnya. Ronggeng yang kerlingan sudut matanya menantang iman para tuan tanah dan priyayi desa.

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng yang mendapat semua kemudahan dunia. Semenjak jadi ronggeng, Srintil tidak lagi serupa dengan warga dukuh Paruk lainnya. Rambut Srintil tebal, wangi, hitam legam. Kulitnya halus berwarna kuning. Seuntai kalung berbandul emas menjuntai sempurna di lehernya yang jenjang. Srintil tidur di ranjang, tidak lagi di bale-bale reyot dari anyaman bambu dan akar rotan.

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng yang menjadi penanda gempita dukuh Paruk. Dukuh Paruk yang gersang lagi terbelakang. Tugas ronggeng adalah menari dengan kenes disertai sabetan sampur. Bukan hanya itu, tugas ronggeng pulalah untuk fasih di urusan kasur. Menemani pria-pria dukuh paruk yang bau keringat itu tidur.

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng yang tidak lagi boleh punya rasa. Ronggeng harus selalu tersenyum di hadapan semua orang. Ronggeng tidak boleh menolak untuk menghibur walau badan kelelahan. Tidak boleh berhenti menari, karena seorang ronggeng tidak lebih dari sebuah komoditi.

Srintil adalah seorang ronggeng. Dan ronggeng sejatinya manusia biasa. Manusia biasa yang pada akhirnya ingin diperlakukan layaknya manusia. Srintil ingin dicintai oleh satu lelaki. Tetapi tidak bisa, karena Srintil adalah milik semua lelaki. Karena Srintil adalah seorang ronggeng, dan menjadi ronggeng adalah kontrak seumur hidup yang dibawa mati. Srintil adalah milik semua orang, sampai dia mati.

Kita bukan Srintil, dan kita bukan ronggeng. Kita adalah beragam manusia dengan beragam alur hidup, dan pekerjaan.Tapi, sedikit banyak, kita hidup bagaikan seorang ronggeng.

Siapa diantara kita yang tidak ingin tampil menarik?
Siapa diantara kita yang tidak ingin menjadi pusat perhatian?
Siapa diantara kita yang tidak ingin terlihat mempesona?
Siapa diantara kita yang tidak berlelah membentuk imej diri?
Siapa diantara kita yang tidak menghabiskan uang untuk bersolek?
Siapa diantara kita yang tidak ingin mendapatkan semua kemudahan dunia?

Siapa diantara kita yang terkadang tidak boleh menunjukkan rasa dihadapan orang lain?
Siapa diantara kita yang terkadang tidak punya pilihan?
Siapa diantara kita yang terkadang tidak boleh berhenti walau kelelahan?
Siapa diantara kita yang tidak boleh tidak tersenyum dihadapan orang lain?
Siapa diantara kita yang terkadang terjebak dalam hubungan-hubungan yang kompleks?
Siapa diantara kita yang hidupnya tidak menjadi milik beberapa orang? Atau semua orang?
Siapa diantara kita yang tidak menjadi komoditi?
Siapa diantara yang kita yang tidak menandatangani kontrak seumur hidup yang dibawa mati?

Kita, sedikit banyak, hidup bagaikan seorang ronggeng yang menawan. Hanya saja kita tidak perlu untuk bisa njoged, nembang, atau menghibur di atas kasur.


(terinspirasi dari trilogi ”Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari, dan film ”Sang Penari” karya Ifa Ifansyah)