Kamis, 13 September 2012

Tumbuh

Malam ini entah malam keberapa, aku tidak bisa menghitung, semenjak kita berikrar mengikat asa delapan tahun yang lalu. Dan malam ini, seperti malam-malam terakhir yang aku rasa. Dingin. Entah pada angka berapa temperatur pendingin ruangan di kedai kopi ini dipasang, sehingga aku sedari tadi menggengamkan kedua telapak tanganku pada cangkir kopi hangat yang isinya baru aku seruput sedikit. Atau aku merasa dingin karena bersamamu, saat kamu duduk di hadapanku sekarang.

 Malam ini, seperti malam-malam terakhir yang aku rasa. Saat aku memilih untuk memandangi isi cangkir kopiku yang masih separuh lebih penuh, atau sesekali melempar pandang ke luar jendela kaca melihat orang-orang berlalu lalang, alih-alih memandangmu. Toh saat aku mencoba dengan segenap hati melakukannya, kaupun hanya bertahan sebentar memandangku tepat di mata, dan segeralah menarik pandanganmu dari koneksi mata kita, melemparnya ke arah lain. Dari gelagatnya, sepertinya kita berdua sama-sama sadar tentang apa yang terjadi, tapi tak seorangpun dari kita yang berani mengatakannya. Sepenggal kalimat yang akan menjadi sepotong pisau bermata dua.

Tidakkah kau sadar bahwa kita tidak sama seperti delapan tahun lalu? Saat aku masih tersipu malu hanya karena tahu kamu duduk di ujung sana di ruang kuliah, dan menyadari bahwa kamu melirik ke arahku dari waktu ke waktu. Dan kamu pun bukan lagi si lugu, yang menganggap bahwa aku adalah duniamu, dan senyumku adalah sumber energimu. Kita tidak lagi seperti dulu, delapan tahun lalu. Saat pandangan mata kita saling terkait selalu, hanya ke satu arah, tajam dan dalam, sampai ke isi jiwa, tidak ada jiwa manusia yang lain. Saat aku sering terkikik geli mendengar leluconmu, dan ku timpali sesekali dengan lelucon yang terdengar basi. Namun saat kamu mendengarnya, kamu terbahak lepas yang membuatku merasa aku berbakat menjadi komedian kelas wahid. Dulu kamu selalu memeluk aku, bak sabuk pengaman untukku. Saat kamu pergi untuk beberapa jam saja, aku panik karena tarikan napasku tiba-tiba terasa tidak penuh.

 Itu dulu. Delapan tahun yang lalu. Sekarang, kita berdua punya pekerjaan, membangun karir, melihat dunia, dan bertemu orang-orang. Selalu menyenangkan untuk bisa menghabiskan waktu dengamu selepas kerja atau di akhir pekan. Melihat senyummu, mendengar kelakarmu. Tapi ternyata di waktu aku tidak bersamamu, aku tidak lagi selalu memikirkanmu. Sekarang, aku tidak bisa menjadi si lugu seperti apa yang kamu mau. Aku masih punya banyak cita-cita yang ingih aku raih, masih ingin bepergian mengelilingi dunia. Namun kamu mau aku menutup cita-citaku, menjadikanmu hanya satu-satunya duniaku, dan hanya beredar mengitari dirimu. Sekarang, aku punya kesibukan yang menyita waktu namun membuat aku senang dan bersemangat. Tapi kamu mau satu-satunya yang menjadi kesibukanku adalah dengan semangat menunggumu pulang, dengan secangkir teh manis hangat di tangan, menyambutmu kemudian menanyakan hari ini apa kesibukanmu.

 Aku punya gambaran tentang akan jadi apa aku di masa depan, delapan tahun dari sekarang. Gambar itu indah dan semakin jelas terbayang, tapi mengapa aku tidak bisa menemukan sosokmu di gambar itu? Malam ini, aku menahan air mata saat kamu akhirnya meminta untuk melihatmu lekat, alih-alih memandang isi cangkir kopi, atau ke luar jendela. Dengan serak dan perlahan kamu bilang menerima kenyataan, bahwa ternyata bahagiaku bukan denganmu. Bahagiaku ternyata tidak sama dengan definisi bahagia yang kamu punya. Ternyata kita tidak lagi sama seperti dulu, delapan tahun lalu. Di ujung malam ini, kita berdua sadar bahwa kita telah tumbuh tinggi sejak delapan tahun lalu, di hari saat hati kita pertama kali saling mengait. Kita tumbuh, sama seperti manusia-manusia lainnya. We realized that we’re just like other people. Ordinary people. When they grow, they grow apart. So do we.