Selasa, 20 November 2012

Dua Tujuh

Sebulan yang lalu saya memasuki usia dua tujuh. Baru sekarang, sebulan berselang, saya memikirkan tentang beranjaknya usia saya. Bulan kemarin, bulan saat saya berulang tahun, saya sedang sibuk-sibuknya. Berlalu lalang dari satu kota ke kota lain dengan alasan pekerjaan. Dilihat dari sudut pandang yang positif, adalah keuntungan bagi saya bekerja di perusahaan multinasional, yang memberikan kesempatan untuk menyambangi kota-kota di Indonesia. Tanpa bayar, bahkan dibayar. Tapi dari sudut pandang lain yang sedikit kurang menguntungkan, ini kerja bung bukan jalan-jalan! Bukan pula menjalang. Jadinya, saya wajib berpintar-pintar mengatur waktu supaya tetap bisa menikmati suasana kota di tengah padatnya jadwal.

Biasanya, saya mendarat di kota tujuan malam hari, karena siangnya harus bekerja dulu, atau paling tidak setor muka saya yang berminyak ini di kantor Jakarta. Selepas mendarat dan tiba di hotel, saya cenderung untuk memilih keluar jalan-jalan sebentar alih-alih menggelungkan diri di atas kasur. Entah itu pergi untuk mencari panganan khas lokal guna mengganjal perut, atau sekedar melihat-lihat apa yang bisa dilihat hanya dikala malam, tidak di saat benderang. Bukan berarti bulan ini saya tidak sibuk bepergian. Saya berkesempatan menulis ini pun di tengah kebengongan di ruang tunggu bandara Djuanda, menunggu jadwal penerbangan yang diundur sekitar satu jam.

Dalam satu jam ini kemudian saya tiba-tiba teringat bahwa saya telah menjadi dua tujuh. Seolah saya ditarik paksa untuk melihat kenyataan, setelah selama sebulan terakhir saya terlalu banyak melihat langit dan gumpalan awan dari ketinggian pesawat. Saya telah kehilangan satu bulan untuk menyadari usia saya yang telah bertambah, untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian di otak dan benak saya. Seolah-olah usia dua tujuh ini adalah sebuah baju baru yang seterusnya (sampai dua belas bulan ke depan) harus saya pakai, saya telah terlambat satu bulan untuk mengganti baju yang lama dan memakai baju baru ini. Untungnya hanya terlambat satu bulan, saya tidak mau tiba-tiba nanti saya telah menjadi tiga lima, tapi tidak ingat akan proses-proses yang terjadi karena terlalu asik mengalir. Ibarat dalam sebuah perjalanan, saya tidak mau tiba-tiba sudah sampai di tempat tujuan, tapi lupa lewat jalan mana.

Beberapa malam yang lalu, saat saya berkesempatan rehat sejenak di Jakarta, tiba-tiba ada teman yang menghubungi saya. Lewat sebuah pesan singkat dia menuliskan, “Makan nasi goreng rajungan yuk”. Saya cukup kaget dengan pesannya yang datang tiba-tiba, karena sepanjang ingatan saya dia masih meliburkan diri di Turki. “Sudah balik dari Turki?”, tanya saya. “Baru sampai tadi siang. Nih, ada oleh-oleh”, jawabnya. Saya menyambut baik ajakan makan malamnya, dengan iming-iming oleh-oleh yang dia bawa. Kebetulan, pun saya lapar. Tak lama berselang kami berdua sudah blusukan melewati jalan sempit yang di pinggir-pinggirnya penuh dengan penjaja sayuran dan ikan, di bilangan Bendungan Hilir. Tempat makan yang kami tuju ini lokasinya ada di tengah pasar. Kami berjalan dengan langkah pelan sembari berjingkat-jingkat menghindari genangan. Hujan baru berhenti, meninggalkan genangan-genangan kecil air di sepanjang jalan, bau usai hujan yang khas, suhu yang mendingin, dan kemacetan kecil yang sudah biasa menjadi wajah Jakarta. Sesampainya di lokasi, kami memesan beberapa menu andalan seperti cumi saus Padang, cah kangkung kaya serat untuk pencernaan kami yang bak rongsokan, dan tentunya sepiring porsi besar nasi goreng rajungan yang dimakan oleh dua bajingan.

Sembari menunggu pesanan datang, teman saya mengeluarkan sekantong buah-buahan kering yang dia beli di Turki untuk oleh-oleh saya. Selanjutnya, sambil memamah pesanan yang telah terhidang, asiklah dia bercerita penjang lebar tentang proses pembuatan buah-buah kering ini, yang dia sambunglidahkan dari penjelasan si penjual. Tanpa diminta, tau saja dia apa yang saya suka dari sebuah oleh-oleh atau buah tangan. Bukan melulu bendanya, tapi lebih ke ceritera unik di balik benda-benda itu yang menurut saya lebih menarik. Jadi, di dalam kantong plastik yang dia berikan ke saya, berisi buah-buahan kering beraneka rupa. Mulai dari aprikot, walnut, anggur, dan macadamia. Anggurnya sendiri juga bermacam-macam jenisnya. Ada anggur hijau, anggur ungu, dan anggur merah. Proses pengeringannya anggur-anggur ini dan buah-buahan yang lain pun berbeda-beda. Ada yang dijerang di bawah panas matahari, ada pula yang dikeringkan di dalam ruangan, yang menghasilkan cita rasa yang tidak sama. Sambil mendengarkan dengan seksama, sembari saya menggigiti anggur-anggur kering tersebut untuk membuktikan kebenaran ceritanya. Terbukti memang benar. Walaupun sama-sama anggur, ternyata rasanya beda. Juga teksturnya saat dikulum di mulut dan dikunyah geligi. Ada yang teksturnya lembut dengan rasa yang sedikit hambar, ada pula yang kenyal dan manis bak makan permen Yuppy.

Kemudian topik beralih ke lanskap kota Istanbul. Oh...Konstantinopel, begitu saya lebih suka menyebutnya. Tempat yang menjadi salah satu bucket list saya untuk disambangi suatu hari nanti, sejak pertama kali saya jatuh hati setelah melihat film berjudul “Touch of Spice”. Kota dimana setiap lapisan tanahnya menjejak peradaban-peradaban yang agung. Yunani, Romawi, dan Kordoba. Konon, masuk ke Konstantinopel seakan-akan masuk ke dunia lain. Lanskap kota yang sangat otentik, yang tidak dimiliki oleh daerah manapun di belahan dunia manapun. Hanya ada satu Konstantinopel di dunia.

Saya terus memperhatikan teman saya yang ceriwis bercerita. Lihatlah dia. Diusianya yang tiga lima, dia nampak begitu utuh. Apa adanya. Dia tidak sedikitpun terlihat berusaha untuk mengimpresi orang lain, termasuk saya. Kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutnya yang dipenuhi nasi goreng dan suwiran daging rajungan, hampir tidak ada yang menggunakan subjek kalimat “aku”. Dia tidak bercerita tentang dirinya yang telah menjejakkan kaki di Turki, tapi dia bercerita tentang Turki negara yang baru saja dia eksplorasi. Dalam percakapan-percakapan kami selama ini, bisa dia dengan begitu mudahnya menepis argumen-argumen saya yang tajam lagi sinis, hanya dengan celetukan-celetukan sambil lalu. “Aku liat dong foto-fotonya, tapi bukan yang foto narsis ya”, pinta saya sedikit dibumbui nyinyir. Tak acuh dia menjawab, “Emang jarang yang ada aku-nya kali. Kebanyakan foto pemandangan. Kalau mau foto diri sendiri mah ngapain jauh-jauh ke Turki, di rumah juga bisa”.

Pencapaian-pencapaiannya luar biasa, tapi tidak ada yang dia display di etalase sosial. Teman saya ini, bukan marionette berjalan. Polah dan pikirnya tidak dikendalikan oleh orang lain. Adapun teman saya yang lain. Dimana pertemuan pertama dan terakhir kami terjadi di New York, tiga tahun lalu. Pertemuan yang tidak lama, hanya perkenalan dan jabat tangan singkat. Setelah beberapa waktu tidak bersua, kami bertaut lagi akibat kecanggihan teknologi. Dia, di waktu-waktu yang tidak terduga suka menyapa, atau lebih tepatnya bertanya kepada saya, dengan kalimat pembuka yang selalu sama. “Bay, can I hit you with a question?”. Segera setelah saya menjawab dengan jawaban yang sama pula, “Hit me.”, meluncurlah pertanyaan-pertanyaan filosofis yang kadang sulit untuk dijawab. Suatu waktu dia bertanya, “Bay, what will you be, as a person, when you’re thirty?” Pertanyaan yang cukup sulit. Sejenak saya berpikir, teringat akan teman saya yang baru pulang dari menyinggahi Turki, kemudian saya menjawab: “Aku pengen jadi orang yang nggak perlu membuktikan apapun ke siapapun. Tidak perlu bersusah menarik perhatian orang dengan memamerkan diri di etalase sosial. Dan nggak mau dengan bodoh membohongi diri untuk tetap menjadi muda. Toh faktanya aku nggak akan pernah jadi lebih muda dari hari ini.”

Tetiba, kegiatan tulis menulis saya harus segera disudahi. Termasuk menyudahi benak saya yang sedari tadi melayang-layang memikirkan ke-duatujuh-an saya. Sudah saatnya giliran badan yang melayang, kembali pulang, karena panggilan untuk memasuki badan pesawat sudah digaungkan. Saya termasuk yang paling akhir memasuki pesawat. Sejenak mencuri kesempatan melirik jam tangan, pukul 17.30. Dalam beberapa menit, saya akan terbang di atas selapis langit, dan melihat semburat garis kuning di ujung sana, penanda matahari mulai tenggelam. Entah terbang pada lapisan langit keberapa? Bisa jadi di lapisan ketujuh, di usia saya yang –sudah, atau baru- dua tujuh.