Suatu pagi saya dibuat agak tersentak oleh sebuah kalimat singkat yang ditulis seorang teman. Sepotong kalimat yang dia tulis sebagai status blackberry messenger. Sepotong kalimat yang bukan sembarang kalimat, namun serapal doa.
Sepanjang ingatan saya, teman saya ini bukan orang yang suka mengumbar vulgar urusan-urusannya dengan Tuhan. Bahkan kalau ditanya apa agamanya pun, teman saya ini akan serta merta naik pitam. Menurut dia, agama adalah sebuah ranah pribadi, yang tidak perlu untuk dipublikasi, dan tidak berhak untuk diintervensi.
Namun sayang sungguh disayang, bertanya mengenai agama atau kepercayaan seseorang merupakan hal yang dianggap lumrah di negeri ini, yang konon berbasis persatuan bukan agama. Jadi teringat waktu berkunjung ke Jerman pada tahun 2009, saya dan beberapa orang teman singgah di sebuah kota kecil di perbatasan Jerman dan Swiss, bernama Konstanz. Di kota ini ada sebuah universitas, dimana Bahasa Indonesia menjadi salah satu mata kuliahnya. Kami, sebagai orang Indonesia asli, diminta menjadi bintang tamu di kelas bahasa Indonesia tersebut, membantu teman-teman disana untuk bisa bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia. Terkejut saya saat mengetahui bahwa dalam buku modul mereka, pertanyaan “Agama kamu apa?” menjadi pertanyaan nomor tiga saat berkenalan dengan orang baru, setelah menanyakan nama dan asal. Menurut si dosen, bertanya tentang agama sudah menjadi bagian dari budaya berkenalan di Indonesia. Walaupun saya merasa bangga menjadi wakil orang Indonesia di sana, tapi berkaitan dengan pernyataan si dosen ini saya tidak merasa terwakili sama sekali. Bisa jadi si dosen benar, sayanya saja yang anomali.
Di Indonesia, beberapa aplikasi formulir, baik yang berkaitan dengan urusan pekerjaan dengan instansi swasta maupun urusan kewarganegaraan dengan pemerintah, mewajibkan informasi tentang agama untuk dibubuhkan. Dalam kartu tanda penduduk pun juga ada informasi mengenai agama si empunya kartu. Saya pribadi merasa tidak ada urgensinya membubuhkan informasi tentang agama di tanda pengenal. Saat saya merasa sudah cukup keterlaluan dengan mencantumkan informasi agama, dan mendukung petisi menghapus informasi agama dari KTP, baru saya ketahui belakangan bahwa dulu bahkan ada informasi mengenai suku juga di KTP. Bayangkan! Suku? Agama? Apakah ini hanya merupakan informasi administrasi standar untuk data kependudukan? Atau kemudian pada prakteknya akan ada perlakukan yang “berbeda” saat mengetahui si pemilik kartu percaya agama A dan berasal dari suku B?
Kembali ke doa teman saya, dia menulis: “Lindungilah kami dari kesedihan”. Walaupun tidak disebutkan secara spesifik kepada siapa dia memohon perlindungan, dan walaupun teman saya selalu lantang di garis depan meneriakkan hak-hak perempuan, tapi saya yakin seratus persen dia memohon kepada Tuhan, bukan kepada Lilith.
Saya pernah bertanya ke seorang karib saya yang lain, apakah dia masih berdoa kepada Tuhan. Doa yang harus diucapkan secara rutin dari waktu-ke waktu. Saking dekatnya kami, saya tidak perlu merasa canggung untuk melontarkan pertanyaan yang sangat personal ini kepadanya. Dia menjawab, “Tuhan sangat baik ke aku Bay, Dia sudah kasih semua yang aku butuh, bahkan tanpa aku minta. Jadi aku tidak mau terlalu sering merepotkan Dia dengan permintaan-permintaanku. Kupikir Dia sudah cukup sibuk mengurusi permintaan-permintaan orang yang kadang aneh-aneh.” Saya bergeming mendengar jawabannya. Sejak itu saya tidak pernah lagi menanyakan urusan Tuhan dan doa-doa kepadanya. Suatu hari di suatu pagi buta, saya melihat dia menggelar sajadah. Barangkali, doanya bukan meminta, hanya bersyukur.
Semakin kami menua, ternyata hidup semakin tidak semudah kelihatannya. Jadi kami memilih untuk merapal doa-doa yang sifatnya lebih mengarah ke pertahanan diri daripada mengharapkan sesuatu. Atau mungkin karena kami berpikir terlalu sederhana, sehingga doa yang kami rapal juga sederhana. Seperti doanya teman saya itu, dia hanya minta dilindungi dari kesedihan, bukan minta kaya. Kami tidak minta sukses dan bergelimang uang, cukup memohon bahagia dan berkecukupan. Kami mohon untuk dijauhi dari mempunyai jiwa yang dingin dan hati yang mengeluh. Kami mohon buka pikiran kami untuk tidak menjadi picik, tapi bisa melihat dari berbagai sudut pandang. Kami mohon supaya selalu menyadari bahwa warna dunia sejatinya abu-abu, bukan hitam putih. Dan kami mohon untuk selalu diingatkan bahwa bahkan kentut dan sendawa adalah sebuah nikmat yang layak disyukuri.
Saya kembali sempat membaca doa-doa teman saya. Kali ini ia berdoa supaya hutan-hutan dilindungi, dari jahatnya tangan-tangan kami sendiri. Dia meminta waktu supaya jangan terlalu terburu-buru, biarkan kami menikmatinya barang sebentar. Dan terakhir, dia memohon Tuhan untuk menangkap setiap tetes syukur dan doa yang kami rapal. Walaupun kami tahu bahwa tidak akan ada doa, bahkan sebesar biji zarah sekalipun, yang luput dari tanganNya yang agung. Sesungguhnya, doa-doa dari milyaran mulut manusia di dunia ini bukan karena Tuhan ingin selalu di puji puja, tapi supaya manusia-manusia seperti kami ini selalu tetap waras dalam menjalani hari-hari. Jadi serapal doa, sebuah proses untuk meminta nikmat atau menyukuri nikmat, juga adalah sebuah nikmat.
Sabtu, 06 Oktober 2012
When It Rains
Hujan turun deras malam itu. Hujan pertama, semenjak kota ini dirunduk terik. Walaupun keamburadulan tata kota seringnya menyebabkan macet total hanya karena hujan turun, dan membuat kaum pekerja yang sering menghabiskan umur di macetnya jalanan mengutuki nasib, tapi tidak malam itu. Macet tetap terjadi, tapi tidak ada aksi kutuk-mengutuk. Banyak orang justru bersyukur. Syukur yang diluapkan melalui media-media digital yang dijadikan corong-corong pikiran dan limpahan uneg-uneg oleh orang-orang seperti kami. Orang-orang yang menganggap internet sudah seperti oksigen, tidak bisa hidup tanpanya.
Malam itu kami bersyukur karena hujan turun, hujan perdana setelah sekian lama. Hujan yang setiap titik airnya membawa aura syahdu, secara magis menyeka luka dan menghilang penat. Di kala hujan, waktu seakan melambat, membuat kami mempunyai kesempatan untuk menarik napas dalam, mengendurkan urat leher, dan sejenak bersandar. Tuhan memang terbukti maha baik. Hujan deras pada malam itu adalah buktinya. Menyembuhkan kami-kami ini, yang bertakwa pun tidak.
Hujan turun deras malam itu. Saya terduduk di jok belakang sebuah taksi. Malam sudah cukup larut, namun laju kendaraan di jalanan masih tersendat pelan. Saya tidak ambil peduli. Saya tidak ingin tersegera pulang, walaupun lelah badan sedari pagi dibombardir tumpukan pekerjaan yang harus dibereskan. Mata saya kosong terarah jauh menembus keluar kaca jendela, entah menatap apa. Pikiran saya tidak pada tempatnya, entah melayang ke mana. Mungkin hujan ibarat candu, membuat seluruh pertahanan kita mengendur, melayang, menikmati. Sekian menit saya terbawa suasana, sampai tetiba muncul sebuah pesan singkat di telepon genggam saya. Dengan malas saya mengumpulkan segenap perhatian yang semula beterbangan, diarahkan ke pesan yang baru saja muncul. Saya baca nama si pemberi pesan, dan ikut terbaca juga selarik kalimat di bawah nama, yang menunjukkan status perasaannya kala itu. “Enjoy the rain”.
“Hi.”, Sapanya.
“Hi juga.”, Jawab saya sambil membubuhkan emoticon memeluk.
“Mau yang asli.”, reaksinya atas si gambar memeluk.
“Jauh.”, jawab saya.
“jauh?”, balasnya.
“Iya, terpisah pulau".
“Emang lagi di mana?”
“Di jalan, baru pulang kantor”.
“Hahaha..jauh ndasmu”.
“kan di seberang samudera. Samudera banjir maksudnya.”, jawab saya. Sambil melirik genangan-genangan air cukup luas di ruas jalan sebelah.
“So, what do you do to enjoy the rain?”, iseng saya bertanya, merujuk ke kalimat yang dia tulis di bawah namanya.
“Just open the window. I like the smell and the sound.”, jawabnya.
“Why?” tanya saya.
“It’s soothing and calming.”, jawabnya lagi.
“Petrichor.” Saya menimpali.
“He?”, dia nampak bingung.
“Petrichor is specific a scent during and after the rain.”, saya coba memberi definisi.
“Ooow, I dunno that.”
“Now you know. Btw, enjoy the rain alone?” tanya saya.
“ Iyalah. Sama siapa lagi?” dia balik bertanya.
“Hehehe..dunno. But I think good moment should be shared”.
“I do share. By written conversation.”, dia membalas.
Saya tidak membalas dengan kalimat, hanya dengan gambar tersenyum. Percakapan kami melalui pesan-pesan di handphone berhenti sampai di situ. Cukuplah sampai di situ, sebelum mengarah jauh hanya karena pengaruh syahdunya hujan. Kembali saya lempar pandangan ke luar jendela. Perasaan saya tidak lagi melankolis, tapi justru segar seperti tersiram air dingin. Ternyata derasnya hujan dan sepotong percakapan yang menggantung juga bisa menyembuhkan. Menyembuhkan apapun itu yang terluka. Luka saya dan luka siapapun itu yang menikmati hujan, saat ia berderas turun.
Malam itu kami bersyukur karena hujan turun, hujan perdana setelah sekian lama. Hujan yang setiap titik airnya membawa aura syahdu, secara magis menyeka luka dan menghilang penat. Di kala hujan, waktu seakan melambat, membuat kami mempunyai kesempatan untuk menarik napas dalam, mengendurkan urat leher, dan sejenak bersandar. Tuhan memang terbukti maha baik. Hujan deras pada malam itu adalah buktinya. Menyembuhkan kami-kami ini, yang bertakwa pun tidak.
Hujan turun deras malam itu. Saya terduduk di jok belakang sebuah taksi. Malam sudah cukup larut, namun laju kendaraan di jalanan masih tersendat pelan. Saya tidak ambil peduli. Saya tidak ingin tersegera pulang, walaupun lelah badan sedari pagi dibombardir tumpukan pekerjaan yang harus dibereskan. Mata saya kosong terarah jauh menembus keluar kaca jendela, entah menatap apa. Pikiran saya tidak pada tempatnya, entah melayang ke mana. Mungkin hujan ibarat candu, membuat seluruh pertahanan kita mengendur, melayang, menikmati. Sekian menit saya terbawa suasana, sampai tetiba muncul sebuah pesan singkat di telepon genggam saya. Dengan malas saya mengumpulkan segenap perhatian yang semula beterbangan, diarahkan ke pesan yang baru saja muncul. Saya baca nama si pemberi pesan, dan ikut terbaca juga selarik kalimat di bawah nama, yang menunjukkan status perasaannya kala itu. “Enjoy the rain”.
“Hi.”, Sapanya.
“Hi juga.”, Jawab saya sambil membubuhkan emoticon memeluk.
“Mau yang asli.”, reaksinya atas si gambar memeluk.
“Jauh.”, jawab saya.
“jauh?”, balasnya.
“Iya, terpisah pulau".
“Emang lagi di mana?”
“Di jalan, baru pulang kantor”.
“Hahaha..jauh ndasmu”.
“kan di seberang samudera. Samudera banjir maksudnya.”, jawab saya. Sambil melirik genangan-genangan air cukup luas di ruas jalan sebelah.
“So, what do you do to enjoy the rain?”, iseng saya bertanya, merujuk ke kalimat yang dia tulis di bawah namanya.
“Just open the window. I like the smell and the sound.”, jawabnya.
“Why?” tanya saya.
“It’s soothing and calming.”, jawabnya lagi.
“Petrichor.” Saya menimpali.
“He?”, dia nampak bingung.
“Petrichor is specific a scent during and after the rain.”, saya coba memberi definisi.
“Ooow, I dunno that.”
“Now you know. Btw, enjoy the rain alone?” tanya saya.
“ Iyalah. Sama siapa lagi?” dia balik bertanya.
“Hehehe..dunno. But I think good moment should be shared”.
“I do share. By written conversation.”, dia membalas.
Saya tidak membalas dengan kalimat, hanya dengan gambar tersenyum. Percakapan kami melalui pesan-pesan di handphone berhenti sampai di situ. Cukuplah sampai di situ, sebelum mengarah jauh hanya karena pengaruh syahdunya hujan. Kembali saya lempar pandangan ke luar jendela. Perasaan saya tidak lagi melankolis, tapi justru segar seperti tersiram air dingin. Ternyata derasnya hujan dan sepotong percakapan yang menggantung juga bisa menyembuhkan. Menyembuhkan apapun itu yang terluka. Luka saya dan luka siapapun itu yang menikmati hujan, saat ia berderas turun.
Langganan:
Postingan (Atom)