Kamis, 09 Agustus 2012

Rasa Dua Minggu

“Ngopoe? Statusmu kuwi?” Bertanyalah saya ke teman saya, merujuk ke status BBMnya yang tidak seperti biasanya.  
“Lagi nggrantes ati”, jawabnya singkat. Sedang bersedih hati rupanya ia.  
“Tengopo kok nggrantes?”, bertanya lagi saya, berusaha mengulik sebab musabab susah hatinya.
Bar Pedhot”, habis putus cinta, jelasnya.

Heran saya. Bagaimana mungkin teman saya ini bisa menderita patah hati yang menyebabkan dia menggalau di ranah digital, mengingat dia adalah teman saya yang jalang, yang kemampuannya menyembuhkan luka hati sama cepatnya dengan regenerasi cicak menumbuhkan ekornya yang putus.

“Hah? Sama si Panda? Bukannya baru saja, dan lagi hangat-hangatnya?" Rentetan pertanyaan mengalir dari mulut saya.

Lancangnya saya, pertama, mempredikati mantan teman saya dengan sebutan panda, karena format tubuhnya yang membulat seperti binatang langka itu. Otak saya yang aneh ini, selain terlahir sinis, juga punya kecendurangan untuk mengasosiasikan sesuatu atau seseorang dengan benda lain, alih-alih berusaha untuk mengingat namanya. Saya pernah mengasosiasikan seseorang dengan monster loch ness, monster danau Nessy, hanya karena ukuran lehernya panjang. Bukan bermaksud menghina, hanya saja begitulah cara otak saya bekerja untuk mengingat sesuatu. Lancangnya saya yang kedua, karena saya mulai melempar pertanyaan di ranah privasi yang seharusnya sudah tidak berhak saya masuki, kecuali si penjawab memberi permisi. Namun berhubung dia adalah teman saya yang jalang lagi baik hati, terutama kepada saya, maka selanjutnya mengalirlah teman saya bercerita, perihal sebab musabab ia menyudahi tali kasihnya yang baru seumur bunga jagung. Dia adalah teman saya yang jalang lagi cerdas. Dia punya kemampuan menganalisa situasi yang mumpuni, mungkin karena dia adalah seorang wartawati. Jadi pembicaraan kami pun mengalir menjadi analisa-analisa mengapa fenomena jatuh hati sepanjang dua pekan bisa terjadi. Karena bukan hanya teman saya yang jalang itu saja yang pernah mengalaminya, pun saya juga, dan beberapa orang di luar sana. Mungkinkah kamu juga? Pernah kamu mengalaminya? bukan hanya sekali, namun beberapa kali?

 Kebanggaan kita sebagai manusia modern terbayar sangat mahal dengan bagaimana luar biasanya kita kesepian. Mungkin mulut dan ekspresi wajah kita bisa membohongi manusia-manusia di luar sana, meyakinkan mereka bahwa kita bahagia dan baik-baik saja. Namun terkadang pola tingkah laku kita yang dipengaruhi alam bawah sadar tidak bisa bohong, bahwa kita sering merasa sepi, walaupun di tengah keramaian. Sibuknya memenuhi urusan duniawi membuat kita tidak ada cukup waktu, atau punya kesempatan untuk memiliki hubungan yang tidak hanya tampak manis di riak permukaan, tapi juga bisa menghangatkan hati di bagian dalam. Sehingga saat seketika kita bertemu dia yang menarik hati, kita pun seketika pula jatuh hati, menafikan dan membutakan diri sejenak atas apa-apa yang tidak cocok dengan hati. Berasyik masyuk, terbuai dengan eforia salam-salam sayang di pagi hari, pesan mengingatkan makan di kala siang, dan peluk erat nan hangat di waktu malam.

  Tetapi, kebanggaan kita sebagai manusia modern juga membuat kita terlalu serius dalam melakukan manajemen resiko, bahkan sampai pada urusan-urusan usaha menyimpulkan tali hati. Check list memilih pasangan yang semula hanya terdiri dari tiga sampai lima poin dengan kriteria sederhana seperti: “yang penting baik” atau “yang penting ngobrolnya nyambung”, berubah menjadi ratusan poin yang sulit untuk dikompromi saat salah satu atau dua ternyata tidak dimiliki oleh si pemilik hati. Beberapa hari berselang, saat eforia sudah menyurut, saat logika kembali terpancang, hangat mesra pun mendingin, berganti dengan percakapan datar dan logis untuk menilai apakah ikatan ini bisa berlanjut atau harus berhenti. Argumen-argumen pun dibangun, daftar pro kontra dibuat, dan sayang sekali ternyata apa yang terjadi selama dua minggu ini harus disudahi, simpul hati pun harus diurai kembali.

 “Mungkin kita jatuh pada cinta, Bay. Bukan pada pasangannya”, Teman saya si jalang mencoba menganalisa. Mungkinkah begitu? Mungkinkah karena sebegitunya kita merasa kesepian, jadinya kita tanpa sadar melacurkan hati untuk mendapatkan satu paket rasa senang dan sedih yang menagih. Dengan siapa kita bercinta, menjadi urusan nomor dua. Ataukah, dengan bodohnya kita masih mengharapkan urusan percintaan kita sama seperti mimpi manis dan sempurna yang dibangun dalam bayangan kita? Masihkah kita berpikir bahwa nanti akan ada dia, yang datang dengan membawa komplit ratusan poin kriteria yang kita mau? Walaupun tiap hari kita menerima dengan telak tamparan pahitnya kenyataan, tapi untuk urusan yang satu itu, masihkah kita dengan rapat menutup telinga dari bisikan yang mengatakan bahwa ini bukan sebuah dongeng Disney, atau sebuah drama Korea? Hey, tidak ada yang namanya ibu peri di sini, dan operasi plastik harganya luar biasa mahal!

“Bedanya rasa suka anak kecil dan orang dewasa, Bay, Kalau anak kecil itu suka sesuatu dari seratus turun jadi sepuluh. Kalau orang dewasa, rasa sukanya dari sepuluh jadi seratus.”

Begitulah saat seorang karib memberikan opini pribadi tentang urusan percintaan orang dewasa. Bagaimana sisi kedewasaan menjadi salah satu faktor dalam menyukai sesuatu atau seseorang. Karib saya ini telah menjalin cinta dengan pacarnya lebih dari delapan tahun lamanya. Masih teringat dengan jelas seperti sebuah gambar foto di kepala saya, ekspresi paniknya karib saya ini saat si pacar tetiba raib saat kami sedang liburan ke luar negeri. Melihat mereka berdua, sering saya iri.

Kembali ke opini karib saya, jadi, mungkinkah begitu? Mungkinkah kita masih bertingah polah laiknya anak-anak? Seiring dengan berlalunya waktu, rasa suka kita justru menjadi semakin menurun kadarnya dan membosan? Atau, apakah kita sengaja melepaskan diri dari kerangkeng kedewasaan saat kita jatuh cinta? Sengaja bertingkah bak anak-anak? Ataukah, sederhana saja, memang kita belum beruntung saja di urusan percintaan? Memang belum jodoh saja? Bukan saat ini, tapi mungkinkah nanti ada orang yang datang yang membawa penggalan rusuk kita? Tunggu saja.

Pada akhirnya, kita tidak butuh seseorang yang sanggup merayakan hari jadi hubungan kita dengan pesta megah nan meriah, atau mengajak kita makan malam nan elegan di restoran mewah. Cukuplah seseorang yang memeluk hangat kita dari belakang saat kita merasa lelah.

Saya dan teman saya si jalang yang masih sedikit sendu akhirnya sepakat, sudahlah, rayakan saja status kelajangan kita. Apapun status yang kita emban sekarang, patut untuk disyukuri. Kami sepakat bahwa menjadi lajang tanpa menjadi jalang sama halnya seperti menjadi ronggeng tapi tidak memakai bedak. Sayang. Eman-eman. Sudah saya bilang berkali-kali bukan bahwa dia adalah teman saya nan jalang, dan saya adalah temannya yang kebetulan juga jalang. Daaan..menulis urusan cinta-cintaan begini membuat saya merasa seperti Carrie Bradshaw, walaupun wajah saya tidak seperti muka kuda (again, my brain). Lagipula, saya merasa saya lebih mirip Samantha. Huuuft..

1 komentar:

  1. iki apik bay, mungkin krn aku kenal tokohnya #eh. tapi mbokan dikasi paragraf, ben penak le moco :D

    BalasHapus