Senin, 20 Juni 2011

Gravitasi

Saya punya seorang kawan di kantor lama. Wanita. Usianya masih muda, tapi sudah merasakan pencapaian karir yang bisa membuat iri wanita-wanita berpandangan modern di negeri ini. Penampilannya menarik, layaknya wanita-wanita mandiri jaman sekarang. Sempurna dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rambutnya terurai tebal, jelas dirawat dengan seksama. Padu padan bajunya selalu serasi, diiringi bau harum semprotan parfum impor. Kakinya dibungkus sepatu hak tinggi penuh gaya, yang modelnya selalu diserasikan dengan tampilan keseluruhan. Gaya bicaranya ringan, tapi tajam, menunjukkan kualitas pribadinya. Teman saya ini, tidak bisa dihentikan. Unstoppable.

Suatu malam, dia menelpon saya. “Booooy, kamu ada dimana? Ketemu yuk, aku pengen cerita nih”. Ya, dia selalu memanggil saya dengan sebutan “boy”. Alasannya saya tidak tahu persis. Sebagai pribadi yang tidak suka mengulik hal remeh temeh, saya tidak terlalu peduli mau dipanggil apa. Nada bicara teman saya di telpon tidak seperti biasa. Dari intonasinya, saya menyimpulkan bahwa mode perasaannya sedang dalam posisi labil, atau cemas. Kondisi yang lumayan jarang saya liat dalam kesehariannya yang penuh percaya diri. Kalau dalam kondisi galak sih sering. Maklum, wanita karir. Semuanya harus teratur, rapi, detail, terencana.

Jam sepuluh malam di hari yang sama, kami duduk saling berhadapan di sebuah gerai pizza. Teman saya memesan seloyang pizza berpotongan empat. Satu potong terbaring di piringnya, Cuma diulik-ulik dengan garpu, tapi masih utuh belum masuk mulut sepotong kecilpun. Dua potong yang lain sudah mendarat selamat di lambung saya. Satu lagi sedang dimamah oleh geligi saya. Berhubung kemampuan multitasking saya bagus untuk semua aktivitas yang berhubungan dengan makanan, jadi saya tetap konsentrasi mendengarkan ceritanya, sembari memberi komentar di sana-sini.

Seseorang dari masa lalu datang ke Jakarta. Bukan sembarang orang, tapi seorang pria yang sempat memberikan warna dalam hidup teman saya. Jelas bukan sembarang warna yang diberikan si pria ini. Kalau warnanya biasa saja, tidak mungkin teman saya jadi kalang kabut begini. Dari ceritanya, berdua sempat terjalin sebuah hubungan. Bukan hubungan yang terbungkus status, tapi jelas manis. Terjadi saat mereka menempuh pendidikan di sebuah SMA semi militer di Magelang dulu. Sekarang, setelah hampir tujuh tahun berselang, si pria yang menetap di sebuah kota di Sumatera, datang ke Jakarta untuk acara keluarga. Teman saya ingin sekali bertemu, lima belas menit saja pun tidak apa-apa. Ingin melihat seperti apa si pria sekarang, menanyakan kabarnya, pekerjaannya, hidupnya, apakah baik-baik saja. Teman saya meyakinkan saya –dan saya pikir juga berusaha meyakinkan dirinya sendiri- bahwa tidak ada harapan muluk apapun dari pertemuan ini. Hanya bertemu, tidak lebih. Toh mereka berdua sudah hidup dalam konsep dunia yang berbeda. Teman saya adalah seorang perempuan kota cemerlang, sedangkan si pria memilih hidup nyaman di kota tenang.
“Cuma pengen ketemu aja, boy. Pengen nunjukkin ini lho gue sekarang. Apa yang udah gue capai”, ujar teman saya, masih belum memasukkan secuilpun pizza ke mulutnya. Kebanggan diri, yang menurut saya sangat wajar bila ingin ditunjukkan ke dia yang pernah terlibat dalam hubungan yang kompleks dengan kita. Kesimpulan kami berdua malam itu, tujuan dari misi pertemuan teman saya dengan pria masa lalunya adalah murni untuk menunjukkan progres hidup, setelah tujuh tahun berselang. Tidak ada embel-embel romantis apapun. Romantisme itu sudah ditinggal tujuh tahun yang lalu.

Sabtu malam, beberapa hari setelah pertemuan itu, saya reunian dengan teman-teman seperjuangan di organisasi pers mahasiswa dulu. Setelah makan malam, temu kangen kami lanjutkan dengan berkaraoke. Di tengah keasikan berbincang sembari menunggu ruang karaoke tersedia, tiba-tiba muncul pesan di blackberry messenger saya. “Booooy, bisa ditelpon nggak? aku sedih“. Nomor teleponnya pun muncul berpendar-pendar di layar handphone saya. Sebelum memencet simbol gagang telpon berwarna hijau, saya Berpindah mencari lokasi yang lebih tenang. Menghindari hiruk pikuk.
“It’s him, Boy“ ujarnya seketika tanpa diawali dengan sapaan ”Halo”.
”Maksudnya?”, tanya saya tidak paham
“Ya itu dia. Dia nggak berubah. Tetep sama, gaya ngomongnya, semuanya tetep sama. It’s him. He is the one, Boy. Tujuh tahun ternyata perasaanku masih kayak gini.”
Bingung mau berkomentar apa, terlontar komentar bodoh dari mulut saya, “He’s just not into you. Kamu pasti akan dapat yang lebih baik.”
Teman saya langsung menghardik, “Kenapa semua orang ngomong gitu! Termasuk kamu! Nggak Boy, cuma dia, nggak ada yang lain. Ya Cuma dia”, suaranya makin lirih sesekali diselingi isakan.
“Iya”, jawab saya.
“Iya” untuk dua alasan. Pertama, “Iya” untuk menanggapi setuju ucapan teman saya. Kedua, ‘iya” untuk menyetujui fakta bagaimana seseorang bisa mengikat kita seumur hidup. Bukan terikat dalam sebuah status, apalagi dalam ikatan suci pernikahan. Terpisah, tapi terikat. Bagaimana kita bisa terbelenggu masa lalu, jadi susah untuk maju. Bagaimana seseorang bisa membuat kita mau saja, dengan sadar dan sengaja, melakukan tindakan-tindakan bodoh. Bagaimana gravitasi bukan hanya mengarah ke bawah, menjadi milik bumi mengikat benda-benda yang menempel di atasnya, atau mengikat bulan. Gravitasi juga bisa dimiliki oleh seseorang, untuk menarik dan mengikat orang lain. Membuat orang lain tumbuh beredar di sekitarnya. Pergi jauh, tapi tetap kembali lagi.
Lelaki itu memberi tahu teman saya bahwa dia akan segera menikah, dengan seorang perempuan yang teman saya juga kenal. Seorang perempuan yang juga terlibat dalam peristiwa-peristiwa di masa lalu. Menurut saya, semesta alam tidak mendukung teman saya untuk bersama dengan si pria. Teman saya pun mengamininya. Ternyata rasionya tetap menyala walaupun sedang dirundung nelangsa. Namun tetap saja tidak mungkin saya memberi tahu dia untuk berhenti menangis, atau minum secangkir kopi supaya tenang, atau menceritakan lelucon supaya dia tertawa. Malam ini, semua tentang kesedihannya, tentang sakit hatinya, tentang kenangannya dengan si pria dari dari masa lalu. Jadi saya hanya diam, mendengarkan, menjawab bila ditanya, dan memberi komentar sederhana disana-sini. Kembali ke ruang karaoke setelah pembicaraan kami berakhir, saya menyanyikan lagu “Stuck in a Moment” dari U2, “Linger” dari The Cranberries, dan “Gravity” dari Coldplay untuk teman saya.

Sekarang teman saya sudah tinggal di luar negeri. Tapi, sepotong bagian dari hatinya masih tertinggal di sini. Dibawa si pria., sepertinya tidak akan dikembalikan. Atau, teman saya dengan rela hati memberikan sepotong hatinya ke si pria, tidak terpikir maksud untuk diminta kembali. Tapi, hati yang tidak utuh bukan alasan untuk tidak terus maju bukan? Lagipula, siapa manusia di jaman ini yang hatinya masih utuh. Sadar atau tidak, pasti kita pernah memberikan secuil hati kita ke orang lain, atau kita menyimpan cuilan hati orang lain. Sadar atau tidak kita tertarik gravitasi milik orang lain, atau menarik orang lain dalam radius gravitasi kita. Di Singapura, teman saya mengepakkan sayap karirnya. Saya yakin dia tidak akan berhenti melangkah, terlepas dari utuh atau tidak hatinya. Sudah saya sebutkan diawal bukan, bahwa teman saya ini tidak bisa dihentikan. Unstoppable. Apalagi kiprah-kiprah manis yang akan dia perbuat? Tunggu saja....

Beruntung

Note : Tulisan ini dibuat untuk dimuat di rubrik ‘Story of My Life”, rubrik perkenalan karyawan baru di majalah internal PT Holcim Indonesia Tbk

Story of My Life:
Bayu Edmiralda
Brand Development Coordinator PT. Holcim Indonesia Tbk


Beruntung Bisa Bekerja
Saya cukup dipanggil Bayu. Saya merasa beruntung bisa bekerja di Holcim Indonesia. Sejak lulus dari jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada tahun 2009, saya, sangat beruntung, bisa langsung bekerja. Pengalaman kerja pertama saya di PT. Sari Husada, Danone Baby Nutrition. Kesempatan ini saya dapat setelah saya, dengan sangat beruntung, berhasil menjadi juara pada sebuah kompetisi bisnis yang diselenggarakan oleh perusahaan asal Perancis ini. Selanjutnya, saya dipindah ke Danone Aqua, mengurusi brand Mizone, sebuah merek minuman isotonik. Posisi terakhir saya di sana adalah sebagai Associate Brand Manager. Sekarang, di Holcim saya bekerja di divisi Group Marketing and Branding sebagai Brand Development Coordinator

Tumbuh “Disuapi“ Buku
Seingat saya, saya hampir tidak pernah punya mainan. Dari kecil, saya selalu dihadiahi buku oleh orang tua maupun sanak kerabat. Kisah petualangan Enid Blyton, seri Trio Detektif Alfred Hitchcock, dan analisa-analisa Hercule Poirot oleh Agatha Christie adalah favorit saya kala itu. Jadi ingat, sewaktu kecil ibu saya suka mengajak saya ke pameran buku. Buku yang sudah lama menjadi incaran kami adalah ensiklopedia anak Pintar Widya Wiyata dengan tagline-nya yang terkenal “Mengapa Begini Mengapa Begitu”. Dalam benak saya dan ibu saya kala itu, kami sama-sama tau. Ibu saya tau saya ingin sekali memiliki paket ensiklopedia itu. Tapi saya juga tahu ibu saya tidak mampu membelikannya, yang harga satu paketnya sudah menembus angka 1 juta rupiah, bahkan pada masa 25 perak masih bisa untuk membeli sebungkus permen Sugus. Jadi solusinya, saya membaca di tempat, bab demi bab, seri demi seri, walaupun tidak semuanya selesai saya baca. Sejak itu, saya makin menghormati ibu saya. Bukan hanya karena alasan dia perempuan yang melahirkan saya, tapi karena keberaniannya menghadapi lirikan cemooh “bukannya beli malah baca di tempat” dari si penjaga stand dan pengunjung berduit lainnya. Bahkan untuk anak seusia saya waktu itu, saya tahu rasanya pasti tidak mengenakkan dipandang seperti itu. Kurang ajarnya saya, saya tetap asik membaca, menggunakan privilese sebagai anak kecil yang (pura-pura) tidak tau urusan orang dewasa. Urusan orang dewasa yang penuh pertanyaan Mengapa Begini Mengapa Begitu?
Semakin besar, bacaan saya makin beragam. Buku favorit saya adalah kumpulan cerpen dari pengarang India, Jumpha Lahiri, yang berjudul “Interpreter of Maladies”. Saya juga menyukai film, terutama film festival. Film favorit saya adalah “Dead Poet Society”, yang ceritanya juga mengenai literasi.

Percaya atau Tidak
Secara pribadi, ada beberapa hal yang saya percaya dan tidak. Saya percaya: falsafah Jawa “Kanjeng Gusti Mboten Nati Sare” (Tuhan tidak pernah tidur); hantu; karma; keberuntungan; dan prinsip “Apa yang dipikirkan orang tentang saya adalah urusan mereka, bukan urusan saya’ (what people think about me is their business, not my business). Saya tidak percaya: teori revolusi Darwin; buku-buku pengembangan diri beserta para motivator; ramalan bintang; pemerintah; organisasi berbasis agama; dan keadilan dalam praktek poligami.

Undur Diri

Saya bekerja di bidang brand marketing. Selama hampir dua tahun ini saya mengurusi sebuah brand minuman isotonik yang kiprahnya sangat dinamis. Jujur saya mencintai brand ini. Saya mencintai tim saya, saya mencintai pekerjaan saya. Tapi, Ya..saya mengundurkan diri dari pekerjaan saya sekitar dua bulan yang lalu. Kenapa?

PEMBENARAN
Apa sih hal yang secara natural paling mudah untuk dibuat oleh manusia? Menurut saya, jawabannya adalah excuse atau pembenaran. Dan seperti sejuta manusia lainnya (golek bolo/cari teman) saya punya sejuta pembenaran yang bisa saya langsung saya petik dari udara, sebagai alasan mengapa saya mengundurkan diri. Mulai dari tidak cocok dengan teman satu tim, merasa benefit yang diterima tidak sebanding, atau mendapatkan kesempatan yg lebih baik di luar sana. Tapi, lagi-lagi semuanya adalah pembenaran. Mungkin saya bisa meyakinkan orang lain dengan pembenaran yang bisa buat, tapi jelas saya tidak bisa membohongi diri sendiri kan? Makanya, setelah melakukan kontemplasi dan pemetaan masalah (halah,nggaya). Inilah ultimate reason saya. Pembenaran yang sebenar-benarnya.

TUMBUH KE ARAH BERBEDA
Saya pernah bercakap-cakap tentang relationship (or shit?) dengan sahabat saya, yang punya level keskeptisan tentang hubungan dan pernikahakan yang sama tingginya dengan saya. Kami punya opini yang sama tentang fenomena pasangan yang berpisah tanpa sebab. Maksudnya tanpa sebab dilihat dari sudut pandang orang lain di luar hubungan tersebut. Wajar adanya kalau dua insan yang terlibat dalam sebuah hubungan, pada titik tertentu, tumbuh ke arah yang berbeda, menjadi dua pribadi yang berjauhan. Wajar jika mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan, karena memang sudah tidak ada alasan untuk dipertahankan. Dan kami juga setuju bahwa itu tidak salah. Kedua insan tersebut tidak salah, dan tidak ada yang salah dengan hubungannya. It's just unfortunate event. Period!
Lalu, apa hubungannya dengan alasan berhentinya saya? Ya, saya dan brand tumbuh ke arah yang berbeda. Sounds like another "pembenaran" eh? Ketika kesuksesan brand menuntut pergerakan yang makin dinamis, tapi saya merasa tenggelam dan tidak bisa bernapas, maka saya memutuskan harus berhenti. Ketika brand saya mengusung jargon "Love Today" -dengan soundtrack dari salah satu penyanyi favorit saya, Mika- tapi saya mulai tidak bisa merasakan maknanya, maka saya memutuskan harus berhenti. Saat suatu hari saya merasa seperti robot dan merasa ini bukan saya, maka saya memutuskan harus berhenti. Dan saat suatu pagi saya jadi begitu enggan untuk bangun dari kasur dan memulai hari, maka saya memutuskan harus berhenti. Percayalah, kami -saya dan pekerjaan saya- tidak ada yang salah. Pekerjaan saya sangat menyenangkan, apalagi tim saya. Yah memang sih ada satu orang di tim saya yang dzolim, tapi bukankah beberapa orang memang ditakdirkan bersifat tiran? Jadi, walaupun memerlukan proses yang cukup lama, akhirnya saya bisa menerima perlakuannya. Kasus saya dan pekerjaan saya menyentuh prinsip pada level yang tidak bisa ditawar dan diganggu gugat. Prinsip saya, karena hidup hanya sekali dan tidak tahu kapan akan berhenti, “bahagia” menjadi prioritas utama saya. Saya ingin merasa bahagia tiap hari, termasuk di tempat kerja. Tentu saya tidak berpikir naif. Pasti ada hari yang mengesalkan di tempat kerja. Deadline yang semakin dekat, proyek-proyek yang menumpuk, meeting yang tidak bisa dihindari, dan lembar-lembar presentasi yang harus dikerjakan dengan indah. Tapi, pastinya, saya tahu overall feeling saya, apakah saya bahagia atau tidak. Saya merasa tidak. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti. It was just an unfortunate event. Period!
Jadi, selamat tinggal kamu si botol biru. Semoga kamu makin bahagia, dan makin membuat bahagia orang-orang yang mengurusi kamu. Dan hai kamu si semen Swiss. Let me do this bitch. Hahahahaha

Selasa, 14 Juni 2011

Memulai Lagi, Dua Hari yang Lalu


Dua hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman lama. Bukan kebetulan, sudah direncanakan sebelumnya.  Diawali dari percakapan via situs jejaring sosial, bertanya kabar diselingi saling mengolok namun maksud bercanda, ditutup dengan janji bertemu pada hari dimana kami berdua bisa. 
Dua hari yang lalu, saya berbincang asik dengan seorang teman lama. Saat janjian, saya membiarkan dia menentukan lokasi kopi darat. Mengingat dia adalah commuter yang tinggal di Bogor, dan pengguna setia transportasi umum, jadi saya yang tinggal di tengah kota ikut saja. Dia memilih sebuah mall kelas menengah sebagai lokasi kita bertemu. Dan memilih sebuah restoran seafood murah meriah di dalam mall tersebut untuk berbincang sembari makan malam. Saya cukup terkejut dengan pilihannya, yang –kalau boleh jujur dan tidak bermaksud sombong- tidak lagi masuk dalam daftar pilihan saya. Selama ini, saya berusaha mengingatkan diri sendiri untuk selalu berpijak pada bumi. Tidak tercerabut dari akar masa lalu. Tidak lupa masa susah. Tapi dengan fakta terkejutnya saya dengan pihan-pilihan sederhana  teman saya ini, saya jadi bertanya ke diri sendiri, “Apakah saya sudah melayang terlalu jauh?”
Dua hari yang lalu, saya berdialektika dengan seorang teman lama. Teman jaman kuliah di Jogja. Jurusan yang sama, dan organisasi pers mahasiswa yang sama pula. Tidak berhenti di situ kesamaan kami, kami berdua juga menyukai film. Bedanya, saya menyukai film festival atau independen, sedangkan dia menyukai film Indonesia. Jadi ingat, dulu kami berdua pernah mengejar roadshow film “Mengejar Mas-mas” di sebuah kampus swasta di bilangan Babarsari, Jogja.  Di siang yang terik, dengan pakaian yang kami anggap layak pakai untuk bertemu artis, kami berdua berboncengan dengan motornya yang...yah...susah untuk dideskripsikan kondisinya. Di tengah acara, kami berdua saling berbisik lirih mengagumi wajah para pelakon. Gembira bisa melihat artis secara langsung, namun juga sedikit menyesal mengapa tadi lupa memakai gel rambut, atau menyemprotkan wewangian murah di badan. Saya jadi bertanya-tanya, entah dimana keberadaan artis-artis  ini sekarang? Sebegitu susahnya kah untuk survive di jagad perfilman tanah air? Menurut saya akting mereka tidak jelek. Dinna Olivia, pemeran pelacur dalam film ini, justru punya kemampuan berlakon yang mumpuni. Atau, apakah kualitas seorang bintang film sekarang diukur dari seberapa besar cup dadanya? Entahlah. Tidak mau ambil pusing. Kami berdua pulang sebelum acara roadshow selesai, karena teman saya ada kuliah sore. Dinna Olivia tidak muncul hari itu.
Berbincang dengan teman saya ini, selain tentang film, pasti tidak jauh-jauh dari topik tulisan dan literasi. Dia adalah seorang penulis.  Dari dulu, tulisan teman saya ini bagus. Percayalah..saya bukan tipe orang yang mudah mengumbar pujian. Lebih mudah bagi saya untuk mengumbar caci maki dan guyonan menyerempet cabul. Tapi, yah, harus saya akui saya mengagumi tulisan-tulisannya. Teman saya ini adalah seorang calon PNS yang bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tapi dia juga kontributor untuk majalah Rolling Stone Indonesia versi online, dan situs jakartabeat.net. Dua aktivitas yang bertolak belakang, tapi bisa dia manage dengan baik.
Saat sedang asik berbincang, tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Menyodorkan buku itu ke saya, meminta saya untuk membacanya dengan sedikit memaksa, karena tulisannya ada di buku itu. Agak sebal tapi juga penasaran, saya mulai membalik-balik halaman buku. Ternyata isinya adalah kumpulan artikel yang pernah diunggah di situs jakartabeat.net selama periode 2009-2010. Kontennya dibagi menjadi dua besar, tentang musik dan tentang fenomena sosial kehidupan manusia. Artikelnya bagus-bagus. Pun tulisan teman saya. Tulisannya berjudul “Bangku Taman : Tiga Menguak Jakarta”, tentang sebuah band indie dari Jogja yang diawal-awal karir manggungnya dibayar dengan gorengan. Makin tenggelam dalam bacaan, celotehan ceriwis teman saya pun hanya sayup-sayup mampir lewat di ujung pendengaran saya. Terkejut, saat mengetahui ada orang lain yang saya kenal juga memberikan kontribusi tulisan di buku ini. Orang itu adalah atasan saya di kantor yang lama. Seorang manager dengan pribadi unik, cerdas, dan wawasan tentang musik yang luas. Dia mengulas album grup duo “Endah N Rhesa” dalam artikel berjudul “Nowhere to Go : Album Folk-Jazz Minimalis yang Mendebarkan”. Hebat! Dari judulnya saja sudah menggoda. Sedangkan saya, mengulas Duo Maia atau Trio Macan saja nampaknya belum bisa. Jadi ingat, dulu saya dan atasan saya ini pernah sesekali berbincang di luar masalah pekerjaan. Dia pernah bertanya –saya lupa kalimat persisnya- yang intinya dia menanyakan saya, supaya saya bertanya ke diri saya, apakah saya berada di jalur pekerjaan yang tepat. Mengingatkan saya sebelum saya sadar merasa  “terjebak” suatu hari nanti di masa depan, dan sudah tidak ada kesempatan untuk kembali. Dengan mantap saya menjawab saya berada di jalur yang tepat. Saya bekerja di bidang brand development untuk industri Fast Moving Consumer Goods. Saya mencintai bidang pekerjaan ini. Mengatur strategi untuk membangun imej sebuah merek menurut saya sama seperti bermain catur, atau bermain game computer dengan genre strategi perang. Penuh dengan pertimbangan, ide, dan aksi utak-atik. Jadi, ya, sejauh ini saya menikmati pekerjaan saya. Walaupun, harus saya akui, terkadang pekerjaan ini membuat saya merasa lost. Alhamdulillah, pertemuan dengan teman saya ini membuat saya menemukan cara untuk bisa merasa utuh.
Dua hari yang lalu, saya iri dengan seorang teman lama. Pertama, karena dia tidak berubah. Dia tetap menjadi dia. Tetap sederhana, tetap apa adanya, seperti jaman kuliah dulu. Tapi di sisi lain, dia semakin kaya raya. Kaya raya dalam pola pikir dan kosa kata. Kekayaan yang saya juga ingin punya.  Kedua, dia bisa menjaga cita-cita, dan menyeimbangkan hidupnya. Mengejar apa yang dia mau, tapi juga melakukan apa yang dunia mau. Sedangkan saya yang sekarang tidak bisa begitu. Saat dia bilang, “Kalau aku bisa nulis di akhir pekan dan nonton konser band minimal sebulan sekali, itu sudah cukup buatku, Bay”, membuat saya berpikir, “Lalu, apa yang cukup buat saya?”. Bukannya saya tidak bersyukur dengan adanya saya sekarang. Justru saya sangat bersyukur dengan pencapaian karir yang sudah saya peroleh dalam rentang waktu yang masih seumur bunga jagung. Tapi, semakin lama saya duduk berhadapan dengannya dan berbagi cerita, semakin sadar saya bahwa beberapa akar values saya sudah tercerabut dari tempatnya. Saya ingin menancapkan akar-akar itu kembali. Semoga bisa.
Pertemuan dengan teman lama dua hari lalu menggerakkan saya untuk mulai lagi menulis. Karena saya butuh untuk kembali utuh, feel content. Lagipula, walaupun hidup saya standar, tapi pasti ada fragmen-fragmen yang layak untuk didokumentasikan, bukan? Pun hidup orang lain. 
Jakarta, 11 Juni 2011