Senin, 07 November 2011

Seven Eleven di Malam Minggu

Malam ini malam Minggu, tetapi tidak ada jadwal bertemu dan berkumpul yang harus saya penuhi. Tidak ada undangan berjumpa kawan lama atau temu alumni. Sahabat saya pun nampaknya sedang berasyik masyuk entah dimana, tak mengabari. Jadinya, malam ini saya sendiri.

Akhirnya saya memilih untuk melanjutkan penyelaman saya ke dalam novel kisah cinta Srintil dan Rasus. Berlatar belakang di sebuah pedukuhan sederhana, novel ini memiliki alur cerita yang indah, namun perih manyayat. Ronggeng Dukuh Paruk karangan ahmad Tohari adalah salah satu novel favorit saya. Sudah saya putuskan demikian, padahal belum habis saya baca.

Malam itu saya memutuskan untuk membunuh malam dengan membaca Ronggeng Dukuh Paruk di Seven Eleven. Ya, Seven Eleven yang berlokasi di dekat Grand Indonesia. Dan ya, Seven eleven yang mendapat predikat sebagai tempat berkumpulnya ABG labil Jakarta. Meskipun (saya rasa) saya bukan orang yang labil, saya suka untuk datang dan menghabiskan waktu di sini. Pertama, kopinya enak. Harganya terjangkau, dengan rasa yang bisa saya racik sendiri, otentik sesuai dengan keinginan saya. Gerai ini menyediakan sirup-sirup tambahan beraneka rasa untuk menambah cita rasa kopi, seperti vanilla, tiramisu, dan rasa lainnya. Kedua, menurut saya manusia-manusia yang datang ke gerai ini menarik, membawa keunikan mereka masing-masing. Keunikan manusia-manusia urban Jakarta, yang mungkin tidak bisa kita temui di kota lain. Buat saya, Seven Eleven ibarat sebuah mangkuk salad kecil, berisi insan Jakarta dengan segala citarasanya.

Setelah membayar kopi di kasir, saya memilih untuk duduk di area dalam gerai, di sebuah meja panjang menghadap jalan. Sembari membaca, saya sesekali mengamati pembeli yang berlalu-lalang. Sudah saya katakan di awal bukan bahwa, menurut saya, pengunjung seven eleven GI ini datang dengan segala keunikan mereka? Nah, malam ini adalah buktinya. Malam minggu ini.

Arah jam dua. Sekumpulan perempuan. Asik bertelekan di lantai, di luar gerai. Saya bisa melihat tingkah polah mereka dengan jelas karena hanya selapis jendela kaca bening yang membatasi saya dengan mereka. Dandanan mereka trendi, tapi bukan seperti yang biasa dipakai oleh wanita Indonesia masa kini pada umumnya. Atau memang sayanya saja yang ketinggalan jaman, tidak ngeh bahwa penampilan mereka adalah yang sedang menjadi trend saat ini. Satu dari mereka berwajah manis, namun berambut cepak nyaris gundul dengan lengan penuh tato. Satu yang lain memiliki rambut lurus rapi terurai. Mulutnya sibuk antara menyesap rokok hitam dan menenggak sebotol bir secara bergantian, sembari sesekali melemparkan celoteh yang entah apa tidak bisa saya dengar, karena ada selapis jendela kaca yang membatasi saya dan mereka. Yang terakhir berdandan manis dengan baju terusan motif bunga-bunga ala gadis masa tempo dulu. Tujuh puluhan. Dia sibuk membalik-balik halaman majalah fashion wanita yang entah apa namanya tidak bisa saya kenali. Nampaknya majalah impor luar negeri.

Arah jam dua belas, atau tepat di depan saya. Sekumpulan jejaka, duduk selantai dengan gadis-gadis extravaganza yang tadi saya ceritakan, namun berbeda ujung, terpisah beberapa meter. Para jejaka ini berpakaian dengan cara yang hampir mirip seragam. Memakai kaos oblong, jaket bertudung, sendal gunung, dan membawa tas punggung. Saat saya datang mereka sudah ada, asik bercengkerama. Jadi saat saya melintasi mereka, saya sempat mencuri dengar perbincangan mereka. Dari gaya bertutur kata, saya berani jamin mereka adalah orang Jogja, atau paling tidak dari sekitarnya. Saya juga berani bertaruh mereka adalah first jobber. Mereka mengingatkan saya pada waktu awal saya hijrah ke Jakarta, masih terbawa euforia gempita Jakarta. Saat melintasi mereka saya tergoda untuk berhenti sebentar dan menyapa, ”Saking Jogja nggih mas? Mboten ngangkring?” dan saya tersenyum geli sendiri membayangkan mereka menjawab, ”Lha niki lagi ngangkring je Mas. Saiki nang Jakarta angkringane Sepen Elepen”.

Tiba-tiba meja bundar di belakang saya, arah jam enam, diokupasi oleh sekumpulan mas-mas dengan dandanan ajaib. Ada yang bertubuh kurus kering, memakai kaos ungu, berkancing dua di bagian leher. Celana jeans super ketat, yang membuat saya bertanya-tanya bagaimana telapak kaki si pemakai bisa masuk ke lubang di bagian bawahnya. Kacamatanya berbingkai putih. Temannya, bertubuh tambun, dengan polo shirt berwarna kuning, celana pendek kotak-kotak berwarna kuning, dan sepatu yang juga kuning. Saya curiga giginya pun juga kuning. Kulitnya hitam, dengan betis besar penuh bulu. Rambutnya berponi, tapi sisi kepalanya dicukur menyisakan rambut tipis. Tidak hanya mereka berdua, ada lagi tiga orang teman mereka yang serupa sejiwa. Suara mereka luar biasa berisik, dimana setiap kalimat yang keluar dari mulut mereka diakhiri dengan potongan kata yang sama. Nek, cong, cus, cinta dan lainnya yang tidak saya ingat, dan memang berusaha saya hapus-hapus dari ingatan saya.

Saking berisiknya mas-mas gemulai ini, saya memutuskan untuk berpindah posisi. Saya memilih untuk duduk di pojok, yang berarti sekarang gadis-gadis extravaganza berposisi tepat di depan saya. Kembali saya menyelami kisah cinta Srintil dan Rasus. Asik membaca, raungan suara mas-mas gemulai menghilang dari ujung telinga, digantikan celotehan seorang anak perempuan kecil. Saya melempar pandangan melirik ke arah datangnya suara. Sebuah keluarga kecil. Seorang ayah bertubuh besar berambut gondrong, seorang ibu cantik bertubuh sintal, dan si empunya suara, gadis cilik berusia sekitar tiga sampai empat tahun, berwajah manis dengan pipi gembil mengundang untuk dicubit. Aura namanya. Saya tahu saat ibunya yang saat itu sedang berdiri di depan chiller, memanggil namanya dan bertanya mau minum apa. Sekejap kemudian si ibu mendapat jawaban, jus stroberi. Suara Aura perpaduan antara manja, lugu, tapi juga bossy.
Saya berusaha untuk kembali membenamkan konsentrasi saya ke buku yang saya baca. Tapi konsentrasi saya terpecah oleh celotehan Aura, yang berusaha mencuri perhatian orang tuanya yang sedang asik berbicang, dengan bercerita bahwa tadi siang dia bermain dengan adik Nathan, dan menceritakan tentang potongan rambut adik Nathan yang baru. Lima belas menit berlalu. Pikiran saya sudah sepenuhnya kembali tenggelam ke dinamika dukuh Paruk, ketika tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara Ibu Aura. Bukan karena dia volume suaranya yang lantang, justru dia mengatakannya dengan lembut dan nyaris bisa didengar. Saya tersentak oleh pertanyaan yang keluar dari mulut si ibu. Pertanyaan yang tidak pernah saya bayangkan akan ditanyakan, dan dijawab oleh seorang anak manis berusia empat tahun. ”Aura sudah milih mau agama apa belum?”
Saya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan dan rasa ingin tahu saya. Mata saya bertatapan dengan mata Ibu Aura. Dia menangkap rasa keingintahuan saya. Saya memberi pandangan yang mengatakan, ”Please let me hear this. I’m not gonna be the one who judge you.” Ibu Aura membalas dengan tatapan yang mengatakan, “Feel free to witness this truth of life”.

Suara Aura yang mirip cicitan menjawab, “Aura sih pilihnya Islam mah”.
Tapi kalo Aura tahu, menyembah Tuhan tuh nggak cuma satu cara lho”, timpal ibu Aura sambil membetulkan posisi syalnya.
“Ooo..gitu ya Mah, Aura sih pengen banget menyembah Allah Mah.” Jawab Aura sambil menahan dagunya dengan dua tangan, melempar pandangan jauh ke luar jendela.

Percakapan berhenti sampai disitu. Sesingkat itu. Tapi membuat saya bergidik. Siapa sangka percakapan ini terjadi antara seorang dewasa dengan gadis kecil berusia empat tahun. Gadis berusia empat tahun yang secara tidak langsung dikondisikan (atau justru diberi kesempatan?) untuk memilih tempat bersandar sepanjang hayat. Sebuah pertimbangan dan keputusan sulit yang mungkin tidak bisa dihadapi oleh orang-orang dewasa sekalipun. Saya, dan mungkin kita, terlahir dengan sandaran yng sudah dipilihkan untuk kita. Yang terbaik, atau dianggap terbaik, untuk kita. Kita percaya karena sejak kecil kita diajarkan seperti itu. Tidak seperti Aura, kita tidak pernah diposisikan untuk melihat dari luar pagar, dan memilih mana yang paling baik untuk kita. Tiba-tiba saya merasa beruntung. Atau justru Aura lah yang beruntung. Aura adalah satu dari segelintir orang yang diberi kesempatan untuk memilih, dan bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang dia pilih. Saya memberikan senyum samar ke arah Ibu Aura. Ibu Aura membalas dengan sebuah senyum tipis.

Mulut mungil Aura mulai menguap, tanda kantuk mulai menyerang. Saya melirik jam tangan. Jam sebelas. Keluarga Aura pun beranjak pulang. Mata saya tetap mengikuti sampai mobil mereka menghilang di ujung jalan. Dalam hati saya berharap, kepada siapapun Aura memohon saat mengucap doa, dan apapun cara yang Aura pilih saat dia berdoa, Aura tetap dalam lindungan Tuhan, siapapun itu yang Aura pilih untuk percaya.


Kantuk Aura mulai menulari saya. Saya mulai menguap dan memutuskan untuk pulang. Malam ini luar biasa. Walaupun saya tidak menyanyi riang di Inulvista, atau bercengkerama mesra sambil minum kopi hangat dengan sahabat, saya pulang dengan perasaan seperti ada segumpal udara bersih masuk ke paru-paru saya. Sebelum pulang, sebagai kata terakhir, saya mengutip istilah yang diucapkan oleh gerombolan mas-mas ajaib tadi saat mereka akan pulang. Markipuuul. Mari Kita Saipul. Hahahaha...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar