Minggu, 26 Februari 2012

Balada Ronggeng

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng di sebuah padukuhan sederhana bernama dukuh Paruk. Penduduknya yang jumlahnya tidak seberapa hidup miskin lagi bodoh. Rambut mereka merah dengan kulit legam berdaki, terjerang matahari. Tubuh mereka kurus kering, tanda kurang asupan gizi. Tidak setiap hari mereka bisa makan nasi.

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng yang kecantikannya menyebar sampai ke pasar Dawuan. Ronggeng yang kecantikannya mendesirkan darah para pria. Ronggeng yang membuat para wanita memuja figurnya. Ronggeng yang kerlingan sudut matanya menantang iman para tuan tanah dan priyayi desa.

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng yang mendapat semua kemudahan dunia. Semenjak jadi ronggeng, Srintil tidak lagi serupa dengan warga dukuh Paruk lainnya. Rambut Srintil tebal, wangi, hitam legam. Kulitnya halus berwarna kuning. Seuntai kalung berbandul emas menjuntai sempurna di lehernya yang jenjang. Srintil tidur di ranjang, tidak lagi di bale-bale reyot dari anyaman bambu dan akar rotan.

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng yang menjadi penanda gempita dukuh Paruk. Dukuh Paruk yang gersang lagi terbelakang. Tugas ronggeng adalah menari dengan kenes disertai sabetan sampur. Bukan hanya itu, tugas ronggeng pulalah untuk fasih di urusan kasur. Menemani pria-pria dukuh paruk yang bau keringat itu tidur.

Srintil adalah seorang ronggeng. Ronggeng yang tidak lagi boleh punya rasa. Ronggeng harus selalu tersenyum di hadapan semua orang. Ronggeng tidak boleh menolak untuk menghibur walau badan kelelahan. Tidak boleh berhenti menari, karena seorang ronggeng tidak lebih dari sebuah komoditi.

Srintil adalah seorang ronggeng. Dan ronggeng sejatinya manusia biasa. Manusia biasa yang pada akhirnya ingin diperlakukan layaknya manusia. Srintil ingin dicintai oleh satu lelaki. Tetapi tidak bisa, karena Srintil adalah milik semua lelaki. Karena Srintil adalah seorang ronggeng, dan menjadi ronggeng adalah kontrak seumur hidup yang dibawa mati. Srintil adalah milik semua orang, sampai dia mati.

Kita bukan Srintil, dan kita bukan ronggeng. Kita adalah beragam manusia dengan beragam alur hidup, dan pekerjaan.Tapi, sedikit banyak, kita hidup bagaikan seorang ronggeng.

Siapa diantara kita yang tidak ingin tampil menarik?
Siapa diantara kita yang tidak ingin menjadi pusat perhatian?
Siapa diantara kita yang tidak ingin terlihat mempesona?
Siapa diantara kita yang tidak berlelah membentuk imej diri?
Siapa diantara kita yang tidak menghabiskan uang untuk bersolek?
Siapa diantara kita yang tidak ingin mendapatkan semua kemudahan dunia?

Siapa diantara kita yang terkadang tidak boleh menunjukkan rasa dihadapan orang lain?
Siapa diantara kita yang terkadang tidak punya pilihan?
Siapa diantara kita yang terkadang tidak boleh berhenti walau kelelahan?
Siapa diantara kita yang tidak boleh tidak tersenyum dihadapan orang lain?
Siapa diantara kita yang terkadang terjebak dalam hubungan-hubungan yang kompleks?
Siapa diantara kita yang hidupnya tidak menjadi milik beberapa orang? Atau semua orang?
Siapa diantara kita yang tidak menjadi komoditi?
Siapa diantara yang kita yang tidak menandatangani kontrak seumur hidup yang dibawa mati?

Kita, sedikit banyak, hidup bagaikan seorang ronggeng yang menawan. Hanya saja kita tidak perlu untuk bisa njoged, nembang, atau menghibur di atas kasur.


(terinspirasi dari trilogi ”Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari, dan film ”Sang Penari” karya Ifa Ifansyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar