Minggu, 26 Februari 2012

Tentang Durian dan Pakaian Dalam

Belakangan ini, semakin banyak orang yang menduga-duga apa agama saya. Ada yang bertanya terus terang, ada pula yang menyelubungkan keingintahuannya dalam kalimat-kalimat yang menggatung, sambil menunggu reaksi saya. Untungnya saya cukup pandai untuk membalas pertanyaan dengan pertanyaan, atau membalas kalimat menggantung dengan kalimat yang lebih menggantung. Jadilah kepenasaran mereka tetap menggantung terkatung-katung. Contohnya saat ada orang bertanya, ”Bayu agama kamu apa sih?”, maka saya akan menjawab, ”Menurut kamu apa?”. Kemudian saat si penanya bilang, ”Kamu beragama A.”, maka saya akan membalas dengan, ”oooh.”, dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain, atau pergi.

Bahkan, ada satu teman kantor saya yang berpikir saya berencana akan pindah agama. Tidak bisa ia membendung rasa ingin tahu, suatu hari duduklah saya di depan meja kantornya. Lebih tepatnya, dengan bisik-bisik halus dia memanggil nama saya untuk duduk, saat saya sedang asik mencuil sepotong kecil dark chocolate yang terhidang di dekat mejanya. Jadilah saya ditanya-tanyai, dan diceramahi, sembari saya menjilati cokelat yang berlumuran di jari-jari. Namun seperti biasa, saya menunjukkan bakat saya, yaitu dengan mudah bisa menenggelamkan orang makin dalam ke dalam pemikirannya. Ke dalam apa yang sudah dipercaya oleh pikirannya, tanpa perlu mengatakan ”ya” atau ’tidak”. Biarkan mereka berasyik masyuk dengan asumsi-asumsi di kepala. Akhirnya, sepertinya semakin yakin dia bahwa saya akan pindah agama.

Pakaian Dalam
Tanpa mengurangi rasa hormat sedikit pun, bagi saya, agama seperti pakaian dalam. Ya, Pakaian dalam yang kita pakai sehari-hari. Fungsinya sangat penting untuk melindungi bagian-bagian yang paling pribadi dan paling personal dari diri kita. Bedanya, tentu saja pakaian dalam berfungsi untuk melindungi bagian penting dari diri kita yang sifatnya fisikal, sedangkan agama adalah lapisan pelindung spiritual. Laiknya pakaian dalam, agama seharusnya tidak perlu ditunjuk-tunjukkan ke orang lain. Keagamaan kita seharusnya bukan menjadi konsumsi publik, atau menjadi cara penarik perhatian publik, kecuali kita adalah seorang eksibisionis, baik fisikal maupun spritual.
Agama layaknya pakaian dalam, yang kita pilih dan pakai supaya kita merasa nyaman. Beberapa orang memeluk sebuah agama karena mereka anggap agamanya adalah yang paling logis. Ini aneh, karena awalnya konsep kepercayaan yang paling kuno terbentuk untuk menjawab segala fenomena yang tidak bisa dijawab oleh nalar manusia p
ada masa itu. Manusia purba tidak punya logika kenapa gunung bisa tiba-tiba meletus memuntahkan lahar. Maka dibuatkanlah bentuk-bentuk persembahan untuk menyenangkan, atau menenangkan sebuah kuasa yang jauh lebih besar dari kuasa mereka. Akan selalu ada sisi-sisi ajaran agama yang tidak rasional, tidak logis, dan tidak masuk akal. Karena jika semua bagiannya bisa dilogikakan, bukankah itu akan menafikan fungsi dasar agama itu sendiri? Agama ada karena kita percaya, tidak perlu ada alasan yang kena logika, cukup merasa nyaman saja.

Durian
Ada dua orang sahabat. Sebut saja nama mereka adalah Karib dan Kental. Gelombang pikiran mereka berada dalam frekwensi yang sama. Pun dukungan dan semangat selalu diberikan dari satu kepada yang lainnya. Hanya ada satu hal yang membedakan mereka, dan tidak dapat disatukan. Satu hal itu adalah durian. Karib adalah pecinta durian. Bagi Karib, durian adalah kepingan kecil surga yang jatuh ke dunia. Sedangkan bagi Kental, mencium baunya dari radius lima meter saja bisa membuat dia pingsan. Kenapa Karib suka durian? Jawabannya adalah karena rasanya enak. Kenapa Kental tidak suka durian? Jawabannya adalah karena baunya saja sudah tidak enak, bikin pusing, apalagi rasanya. ”Enak” dan ”Tidak Enak” adalah alasan mereka untuk suka dan tidak suka. ”Enak” dan ”Tidak Enak” berkaitan erat dengan pengalaman personal, sulit untuk digeneralisir, dan susah untuk dipecah lagi menjadi turunan-turunan parameter.
Karena Karib dan Kental bersahabat erat, haruskah Karib memaksa Kental untuk juga menyukai durian, hanya karena menurut Karib rasanya enak? Pun sebaliknya dari sisi Kental? Karib dan Kental tetap sepasang sahabat, terlepas dari satu dari mereka mencintai durian, sedangkan yang lain membencinya.
Agama layaknya durian. Kita percaya dengan alasan-alasan yang telah melewati lapisan pengalaman personal. Alasan-alasan yang tidak bisa digeneralisir, tidak bisa disamaratakan. Kita tidak bisa, dan tidak pantas, untuk meminta orang lain untuk mempercayai sesuatu, hanya karena kita mempercayainya. Namun layaknya Karib dan Kental, gelombang otak kita tetap bisa dalam frekwensi yang sama. Kita tetap saling menjaga punggung satu sama lain, meskipun kita percaya dua hal yang berbeda.

Atheis
Saya tidak percaya dengan bentuk institusi agama apapun. Saya juga memandang apatis para tokoh dan pemimpinnya. Tapi saya merasa saya tidak bisa menjadi atheis. Sama seperti manusia purba, saya ingin percaya bahwa ada kekuatan di luar kuasa yang membuat gunung meletus. Saya ingin percaya bahwa ada alasan di luar nalar supaya saya bisa bersuka cita atas rejeki dan jodoh, atau sebaliknya, dengan ikhlas berkata “belum rejeki”, “belum berjodoh”, atau “ada rencana yang lebih baik buat saya”. Ditengah segala keapatisan dan ketidakpercayaan saya atas dunia dimana saya tinggal sekarang, saya ingin percaya ada sebuah alasan kenapa kita harus bersusah-susah hidup. Saya mencintai The Beatles, tapi saya tidak bisa untuk imagine there’s no heaven, terlepas nanti saya akan tinggal disana atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar