Kamis, 19 April 2012

Bus

Tiba-tiba muncul gambar semacam bunga di sudut logo twitter di handphone saya. Ini menunjukkan bahwa seseorang mencantumkan nama akun saya dalam kicauan yang baru saja dibuatnya.

Dari seorang teman ternyata. Ia membalas kicauan saya sebelumnya tentang pernyataan saya, yaitu bahwa saya menempuh perjalanan ke kantor dengan menggunakan transportasi umum alih-alih transportasi milik pribadi. Dalam kicauannya dia menanyakan pernyataan saya, mengapa saya yang sudah berstatus junior manager masih bersusah-susah menggunakan transportasi umum Jakarta yang jauh dari definisi aman dan nyaman. Dia juga menanyakan mengapa saya tidak punya mobil pribadi.

Bersegeralah saya menjawab: “Saya melawan tuntutan imej. Daripada tidak punya uang tapi berlagak kaya.” Kalimat kedua yang saya tulis dalam kicauan saya mungkin sedikit keras, namun bukan dimaksudkan untuk menyindir teman saya itu, atau siapapun. Kalimat ini saya buat berfungsi untuk memperkuat kalimat sebelumnya, fakta bahwa kita hidup disebuah situasi dimana bingkai-bingkai imej merupakan sebuah patokan definisi diri.

It’s no longer “you are what you think” but “you are what you have”.

Puji syukur atas karunia Tuhan yang maha pemurah, bahwa dijenjang usia saya sekarang, saya punya sedikit sisa dari pendapatan bulanan saya untuk berinvestasi atau membeli benda-benda tersier. Saya pernah membuat semacam daftar alasan, untuk diri saya sendiri, mengapa saya harus punya mobil. Karena mobil bukanlah barang murah -paling tidak untuk saya- saya pikir saya harus punya legitimasi yang kuat mengapa saya harus punya mobil, dan mengapa tidak harus. Setelah pikir punya pikir, ternyata alasan pertama yang muncul di kepala saya sama persis seperti kicauan teman saya.

“Saya kan sudah jadi junior manajer sekarang, masa tidak punya mobil”.

Alasan utama dan pertama dalam benak saya ternyata berkaitan dengan imej mobil sebagai barang mewah, alih-alih fungsi asli mobil itu sendiri sebagai alat transportasi. Karena saya punya kecenderungan untuk tidak mengamini imej-imej yang diusung oleh khalayak ramai, maka saya memutuskan bahwa transportasi umum Jakarta cukuplah bagi saya. Toh sewaktu kuliah di Jogja saya pergi kemana-mana naik bus. Jadi kalau dulu bisa, mengapa sekarang tidak? Terlepas dari apapun status saya dulu dan sekarang, mahasiswa atau manajer.

Suatu hari di kantor, saya diserang daftar pekerjaan yang panjang. Jadinya saya pulang sedikit larut, jam setengah sepuluh. Bus yang saya naiki sudah jauh lebih sepi penumpang dibanding saat jam-jam pulang kantor. Saya amati hanya ada tiga orang di dalam bus malam itu. Tiba-tiba bus berhenti mengangkut penumpang. Naiklah seorang ibu-ibu tua. Bukannya duduk, dia berdiri di dekat pintu masuk dan mulai bernyanyilah dia. Mau tidak mau saya memperhatikan si ibu pengamen ini. Usianya sekitar lima puluh tahunan. Rambutnya panjang dikucir kuda ditarik rapih kebelakang. Ia menggunakan kemeja warna biru muda, dan celana bahan yang sudah pudar warna gelapnya. Sendal jepit hijau membingkai kakinya. Pipinya bengkak di sebelah kanan, dan suaranya jelek.

Malam sudah larut, dan dia sudah tua. Melihat si ibu pengamen, tiba-tiba saya sedih dan teringat Ibu saya. Ibu saya yang sama tuanya, ibu saya yang akan melakukan apapun untuk menyuapi mulut anak-anaknya. Sedih namun juga bersyukur bahwa bukan ibu saya yang harus berdiri dan berdendang serak di bus, melawan malam untuk segenggam uang. Karena nasib orang tidak ada yang tahu, saya juga sedih membayangkan jika andaikata –semoga tidak- nasib saya dikala tua tidak seberuntung sekarang. Andaikata –semoga tidak- nasib memaksa saya harus mengamen di atas bus disaat seharusnya saya sudah bergelung nyaman di atas kasur, memanjakan ketuaan saya.

Sekarang si ibu sedang menghitung pendapatan atas jualan suaranya. Saat sedang asik menghitung receh dan sedikit lembaran uang kertas di tangan, tiba-tiba, entah mengapa pintu bis lepas dari engsel-engselnya, ujungnya menimpa lengan si Ibu. Dia berteriak kesakitan, kemudian mengelus-elus lengannya yang nampaknya ngilu.

Di ujung jalan si ibu turun dari bus. Bukannya menghentikan bis dengan benar, sopir bus hanya memelankan laju bus, sehingga si ibu terhuyung-huyung ke depan hampir jatuh saat turun. Tidak ada keluhan keluar sedikitpun dari mulutnya. Sama seperti saat lengannya tertimpa pintu bus pun, dia hanya melenguh kesakitan sebentar, dan kembali diam. Mungkin dalam hidupnya dia pernah melalui hari-hari yang jauh lebih berat, jadi apa yang terjadi malam itu hanya seperti gigitan semut merah baginya. Saya masih memperhatikan si ibu pengamen, sampai sosoknya hilang masuk kedalam gang.

Saya sedih malam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar