Kamis, 19 April 2012

Nasi Tim

Dua bulan sebelumnya, pertigaan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat
Saya sedang menunggu salah satu makanan favorit saya, nasi tim, disiapkan dan dibungkus untuk dibawa pulang. Lokasi kedainya ada di pertigaan Bendungan Hilir, di depan sebuah restoran Asia yang sepi pengunjung. Sudah larut malam, sekitar jam sebelas. Tiba-tiba perut saya keroncongan, dan saya ingin makan yang hangat-hangat.

Sembari menunggu, saya melontarkan beberapa pertanyaan kasual kepada si mbak-mbak penjual. Dia menjawab ramah dengan logat Jawa pesisir yang kental bak kopi tubruk. Dia menjelaskan panjang lebar mengapa harga satu porsi nasi tim yang dia jual bisa sebesar itu, dengan nada seperti orang yang bersungguh-sungguh meminta maaf. Padahal menurut saya harganya cukup rasional dan masuk akal. Tidaklah mahal.
Saya suka berbincang dengan si mbak penjual nasi tim. Dia lebih muda dari saya. Dia nampak bahagia dengan apa yang dia kerjakan, bahagia dengan pakaian yang dia pakai, bahagia dengan gelang warna-warni yang suka dia gerak-gerakkan dengan mengayun-ayunkan pergelangan tangannya. Dia nampak bahagia dengan dirinya. Sepertinya dia lebih bahagia daripada saya, yang kadang masih suka mengeluh dan mengumpat untuk hal-hal kecil tidak penting lagi bodoh.

Sebulan sebelumnya, pertigaan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat
Saya sedang kebingungan mencari kedai kecil nasi tim langganan saya. Kedai itu raib entah kemana. Restoran Asia di belakang kedai pun sudah berubah menjadi sebuah convinience store yang sedang marak menjamur di Jakarta. Namanya merupakan deretan angka. Tempat dimana pemuda dan pemudi labil ibukota gemar menghabiskan waktu nongkrong di pelatarannya. Sebuah informasi saya dapat dari seorang tukang parkir di area itu, bahwa semua warung makanan pinggir jalan di sekitar convinience store telah digusur, demi kenyamanan pengunjung. Bapak tukang parkir tidak tahu kemana warung makan-warung makan itu berpindah. Lelah mencari tanpa hasil, gontailah saya berjalan pulang.

Malam itu, pertigaan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat
Saya sedang menunggu salah satu makanan favorit saya, nasi tim, dipersiapkan dan dibungkus untuk dibawa pulang. Lokasi kedainya ada di pertigaan Bendungan Hilir, beberapa meter dari sebuah convinience store yang sedang marak menjamur di Jakarta. Sudah larut malam, sekitar jam sebelas. Tiba-tiba perut saya keroncongan, dan saya ingin makan yang hangat-hangat.

Usut punya usut, ternyata Ibu RT setempat memperjuangkan nasib para penjaja makanan pinggir jalan ini. Akhirnya manajemen convinience store mengijinkan mereka kembali berjualan, namun lokasinya sedikit bergeser beberapa meter dari lokasi semula. Ujar si mbak penjual nasi tim:

“Ndak popo lah Mas. Yang penting tetep bisa cari duit.”

Saat sedang menunggu nasi tim saya dihangatkan, tiba-tiba saya mendengar keributan di depan convinience store. Seorang pria berpakaian perempuan yang membawa kotak radio di lengannya, sedang bersitegang dengan seorang security.

"Tidak boleh mengamen di depan toko! ujar si security.

Semakin panas, tidak lagi hanya beradu mulut, kedua pihak sudah mulai beradu pukul, yang melibatkan pihak-pihak lain seperti tukang parkir dan pemuda-pemuda kampung yang berhamburan keluar mendengar keributan. Dikeroyok ramai-ramai, nampak jelas bogem-bogem mentah mendarat telak di pipi, dagu, dan perut si pria berpakaian perempuan, sampai datang pihak-pihak lain memisahkan perkelahian. Si pria berpakaian perempuan terseok mengambil radio bututnya yang tadi terjatuh, dan memungut sepatu manik-maniknya yang tadi terlepas. Pembuluh darah di bibirnya pecah. Dengan suara sedih getir bercampur menahan sakit, si pria berpakaian perempuan berteriak lantang diiringi sedikit isakan:

“GUE CUMA CARI DUIT.”


Kita semua, akhirnya, hanya mencari uang. Dengan cara yang kita tahu, dan dengan daya yang kita bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar