Sabtu, 06 Oktober 2012

Serapal Doa

Suatu pagi saya dibuat agak tersentak oleh sebuah kalimat singkat yang ditulis seorang teman. Sepotong kalimat yang dia tulis sebagai status blackberry messenger. Sepotong kalimat yang bukan sembarang kalimat, namun serapal doa.

Sepanjang ingatan saya, teman saya ini bukan orang yang suka mengumbar vulgar urusan-urusannya dengan Tuhan. Bahkan kalau ditanya apa agamanya pun, teman saya ini akan serta merta naik pitam. Menurut dia, agama adalah sebuah ranah pribadi, yang tidak perlu untuk dipublikasi, dan tidak berhak untuk diintervensi.

 Namun sayang sungguh disayang, bertanya mengenai agama atau kepercayaan seseorang merupakan hal yang dianggap lumrah di negeri ini, yang konon berbasis persatuan bukan agama. Jadi teringat waktu berkunjung ke Jerman pada tahun 2009, saya dan beberapa orang teman singgah di sebuah kota kecil di perbatasan Jerman dan Swiss, bernama Konstanz. Di kota ini ada sebuah universitas, dimana Bahasa Indonesia menjadi salah satu mata kuliahnya. Kami, sebagai orang Indonesia asli, diminta menjadi bintang tamu di kelas bahasa Indonesia tersebut, membantu teman-teman disana untuk bisa bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia. Terkejut saya saat mengetahui bahwa dalam buku modul mereka, pertanyaan “Agama kamu apa?” menjadi pertanyaan nomor tiga saat berkenalan dengan orang baru, setelah menanyakan nama dan asal. Menurut si dosen, bertanya tentang agama sudah menjadi bagian dari budaya berkenalan di Indonesia. Walaupun saya merasa bangga menjadi wakil orang Indonesia di sana, tapi berkaitan dengan pernyataan si dosen ini saya tidak merasa terwakili sama sekali. Bisa jadi si dosen benar, sayanya saja yang anomali.

Di Indonesia, beberapa aplikasi formulir, baik yang berkaitan dengan urusan pekerjaan dengan instansi swasta maupun urusan kewarganegaraan dengan pemerintah, mewajibkan informasi tentang agama untuk dibubuhkan. Dalam kartu tanda penduduk pun juga ada informasi mengenai agama si empunya kartu. Saya pribadi merasa tidak ada urgensinya membubuhkan informasi tentang agama di tanda pengenal. Saat saya merasa sudah cukup keterlaluan dengan mencantumkan informasi agama, dan mendukung petisi menghapus informasi agama dari KTP, baru saya ketahui belakangan bahwa dulu bahkan ada informasi mengenai suku juga di KTP. Bayangkan! Suku? Agama? Apakah ini hanya merupakan informasi administrasi standar untuk data kependudukan? Atau kemudian pada prakteknya akan ada perlakukan yang “berbeda” saat mengetahui si pemilik kartu percaya agama A dan berasal dari suku B?

Kembali ke doa teman saya, dia menulis: “Lindungilah kami dari kesedihan”. Walaupun tidak disebutkan secara spesifik kepada siapa dia memohon perlindungan, dan walaupun teman saya selalu lantang di garis depan meneriakkan hak-hak perempuan, tapi saya yakin seratus persen dia memohon kepada Tuhan, bukan kepada Lilith. Saya pernah bertanya ke seorang karib saya yang lain, apakah dia masih berdoa kepada Tuhan. Doa yang harus diucapkan secara rutin dari waktu-ke waktu. Saking dekatnya kami, saya tidak perlu merasa canggung untuk melontarkan pertanyaan yang sangat personal ini kepadanya. Dia menjawab, “Tuhan sangat baik ke aku Bay, Dia sudah kasih semua yang aku butuh, bahkan tanpa aku minta. Jadi aku tidak mau terlalu sering merepotkan Dia dengan permintaan-permintaanku. Kupikir Dia sudah cukup sibuk mengurusi permintaan-permintaan orang yang kadang aneh-aneh.” Saya bergeming mendengar jawabannya. Sejak itu saya tidak pernah lagi menanyakan urusan Tuhan dan doa-doa kepadanya. Suatu hari di suatu pagi buta, saya melihat dia menggelar sajadah. Barangkali, doanya bukan meminta, hanya bersyukur.

Semakin kami menua, ternyata hidup semakin tidak semudah kelihatannya. Jadi kami memilih untuk merapal doa-doa yang sifatnya lebih mengarah ke pertahanan diri daripada mengharapkan sesuatu. Atau mungkin karena kami berpikir terlalu sederhana, sehingga doa yang kami rapal juga sederhana. Seperti doanya teman saya itu, dia hanya minta dilindungi dari kesedihan, bukan minta kaya. Kami tidak minta sukses dan bergelimang uang, cukup memohon bahagia dan berkecukupan. Kami mohon untuk dijauhi dari mempunyai jiwa yang dingin dan hati yang mengeluh. Kami mohon buka pikiran kami untuk tidak menjadi picik, tapi bisa melihat dari berbagai sudut pandang. Kami mohon supaya selalu menyadari bahwa warna dunia sejatinya abu-abu, bukan hitam putih. Dan kami mohon untuk selalu diingatkan bahwa bahkan kentut dan sendawa adalah sebuah nikmat yang layak disyukuri. Saya kembali sempat membaca doa-doa teman saya. Kali ini ia berdoa supaya hutan-hutan dilindungi, dari jahatnya tangan-tangan kami sendiri. Dia meminta waktu supaya jangan terlalu terburu-buru, biarkan kami menikmatinya barang sebentar. Dan terakhir, dia memohon Tuhan untuk menangkap setiap tetes syukur dan doa yang kami rapal. Walaupun kami tahu bahwa tidak akan ada doa, bahkan sebesar biji zarah sekalipun, yang luput dari tanganNya yang agung. Sesungguhnya, doa-doa dari milyaran mulut manusia di dunia ini bukan karena Tuhan ingin selalu di puji puja, tapi supaya manusia-manusia seperti kami ini selalu tetap waras dalam menjalani hari-hari. Jadi serapal doa, sebuah proses untuk meminta nikmat atau menyukuri nikmat, juga adalah sebuah nikmat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar