Sabtu, 06 Oktober 2012

When It Rains

Hujan turun deras malam itu. Hujan pertama, semenjak kota ini dirunduk terik. Walaupun keamburadulan tata kota seringnya menyebabkan macet total hanya karena hujan turun, dan membuat kaum pekerja yang sering menghabiskan umur di macetnya jalanan mengutuki nasib, tapi tidak malam itu. Macet tetap terjadi, tapi tidak ada aksi kutuk-mengutuk. Banyak orang justru bersyukur. Syukur yang diluapkan melalui media-media digital yang dijadikan corong-corong pikiran dan limpahan uneg-uneg oleh orang-orang seperti kami. Orang-orang yang menganggap internet sudah seperti oksigen, tidak bisa hidup tanpanya.

Malam itu kami bersyukur karena hujan turun, hujan perdana setelah sekian lama. Hujan yang setiap titik airnya membawa aura syahdu, secara magis menyeka luka dan menghilang penat. Di kala hujan, waktu seakan melambat, membuat kami mempunyai kesempatan untuk menarik napas dalam, mengendurkan urat leher, dan sejenak bersandar. Tuhan memang terbukti maha baik. Hujan deras pada malam itu adalah buktinya. Menyembuhkan kami-kami ini, yang bertakwa pun tidak.

Hujan turun deras malam itu. Saya terduduk di jok belakang sebuah taksi. Malam sudah cukup larut, namun laju kendaraan di jalanan masih tersendat pelan. Saya tidak ambil peduli. Saya tidak ingin tersegera pulang, walaupun lelah badan sedari pagi dibombardir tumpukan pekerjaan yang harus dibereskan. Mata saya kosong terarah jauh menembus keluar kaca jendela, entah menatap apa. Pikiran saya tidak pada tempatnya, entah melayang ke mana. Mungkin hujan ibarat candu, membuat seluruh pertahanan kita mengendur, melayang, menikmati. Sekian menit saya terbawa suasana, sampai tetiba muncul sebuah pesan singkat di telepon genggam saya. Dengan malas saya mengumpulkan segenap perhatian yang semula beterbangan, diarahkan ke pesan yang baru saja muncul. Saya baca nama si pemberi pesan, dan ikut terbaca juga selarik kalimat di bawah nama, yang menunjukkan status perasaannya kala itu. “Enjoy the rain”.

“Hi.”, Sapanya.
“Hi juga.”, Jawab saya sambil membubuhkan emoticon memeluk.
“Mau yang asli.”, reaksinya atas si gambar memeluk.
“Jauh.”, jawab saya.
 “jauh?”, balasnya.
 “Iya, terpisah pulau".
“Emang lagi di mana?”
“Di jalan, baru pulang kantor”.
 “Hahaha..jauh ndasmu”.
 “kan di seberang samudera. Samudera banjir maksudnya.”, jawab saya. Sambil melirik genangan-genangan air cukup luas di ruas jalan sebelah.
“So, what do you do to enjoy the rain?”, iseng saya bertanya, merujuk ke kalimat yang dia tulis di bawah namanya.
“Just open the window. I like the smell and the sound.”, jawabnya.
 “Why?” tanya saya.
“It’s soothing and calming.”, jawabnya lagi.
“Petrichor.” Saya menimpali.
“He?”, dia nampak bingung.
“Petrichor is specific a scent during and after the rain.”, saya coba memberi definisi.
“Ooow, I dunno that.”
 “Now you know. Btw, enjoy the rain alone?” tanya saya.
“ Iyalah. Sama siapa lagi?” dia balik bertanya.
 “Hehehe..dunno. But I think good moment should be shared”.
“I do share. By written conversation.”, dia membalas.

Saya tidak membalas dengan kalimat, hanya dengan gambar tersenyum. Percakapan kami melalui pesan-pesan di handphone berhenti sampai di situ. Cukuplah sampai di situ, sebelum mengarah jauh hanya karena pengaruh syahdunya hujan. Kembali saya lempar pandangan ke luar jendela. Perasaan saya tidak lagi melankolis, tapi justru segar seperti tersiram air dingin. Ternyata derasnya hujan dan sepotong percakapan yang menggantung juga bisa menyembuhkan. Menyembuhkan apapun itu yang terluka. Luka saya dan luka siapapun itu yang menikmati hujan, saat ia berderas turun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar