Senin, 20 Juni 2011

Gravitasi

Saya punya seorang kawan di kantor lama. Wanita. Usianya masih muda, tapi sudah merasakan pencapaian karir yang bisa membuat iri wanita-wanita berpandangan modern di negeri ini. Penampilannya menarik, layaknya wanita-wanita mandiri jaman sekarang. Sempurna dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rambutnya terurai tebal, jelas dirawat dengan seksama. Padu padan bajunya selalu serasi, diiringi bau harum semprotan parfum impor. Kakinya dibungkus sepatu hak tinggi penuh gaya, yang modelnya selalu diserasikan dengan tampilan keseluruhan. Gaya bicaranya ringan, tapi tajam, menunjukkan kualitas pribadinya. Teman saya ini, tidak bisa dihentikan. Unstoppable.

Suatu malam, dia menelpon saya. “Booooy, kamu ada dimana? Ketemu yuk, aku pengen cerita nih”. Ya, dia selalu memanggil saya dengan sebutan “boy”. Alasannya saya tidak tahu persis. Sebagai pribadi yang tidak suka mengulik hal remeh temeh, saya tidak terlalu peduli mau dipanggil apa. Nada bicara teman saya di telpon tidak seperti biasa. Dari intonasinya, saya menyimpulkan bahwa mode perasaannya sedang dalam posisi labil, atau cemas. Kondisi yang lumayan jarang saya liat dalam kesehariannya yang penuh percaya diri. Kalau dalam kondisi galak sih sering. Maklum, wanita karir. Semuanya harus teratur, rapi, detail, terencana.

Jam sepuluh malam di hari yang sama, kami duduk saling berhadapan di sebuah gerai pizza. Teman saya memesan seloyang pizza berpotongan empat. Satu potong terbaring di piringnya, Cuma diulik-ulik dengan garpu, tapi masih utuh belum masuk mulut sepotong kecilpun. Dua potong yang lain sudah mendarat selamat di lambung saya. Satu lagi sedang dimamah oleh geligi saya. Berhubung kemampuan multitasking saya bagus untuk semua aktivitas yang berhubungan dengan makanan, jadi saya tetap konsentrasi mendengarkan ceritanya, sembari memberi komentar di sana-sini.

Seseorang dari masa lalu datang ke Jakarta. Bukan sembarang orang, tapi seorang pria yang sempat memberikan warna dalam hidup teman saya. Jelas bukan sembarang warna yang diberikan si pria ini. Kalau warnanya biasa saja, tidak mungkin teman saya jadi kalang kabut begini. Dari ceritanya, berdua sempat terjalin sebuah hubungan. Bukan hubungan yang terbungkus status, tapi jelas manis. Terjadi saat mereka menempuh pendidikan di sebuah SMA semi militer di Magelang dulu. Sekarang, setelah hampir tujuh tahun berselang, si pria yang menetap di sebuah kota di Sumatera, datang ke Jakarta untuk acara keluarga. Teman saya ingin sekali bertemu, lima belas menit saja pun tidak apa-apa. Ingin melihat seperti apa si pria sekarang, menanyakan kabarnya, pekerjaannya, hidupnya, apakah baik-baik saja. Teman saya meyakinkan saya –dan saya pikir juga berusaha meyakinkan dirinya sendiri- bahwa tidak ada harapan muluk apapun dari pertemuan ini. Hanya bertemu, tidak lebih. Toh mereka berdua sudah hidup dalam konsep dunia yang berbeda. Teman saya adalah seorang perempuan kota cemerlang, sedangkan si pria memilih hidup nyaman di kota tenang.
“Cuma pengen ketemu aja, boy. Pengen nunjukkin ini lho gue sekarang. Apa yang udah gue capai”, ujar teman saya, masih belum memasukkan secuilpun pizza ke mulutnya. Kebanggan diri, yang menurut saya sangat wajar bila ingin ditunjukkan ke dia yang pernah terlibat dalam hubungan yang kompleks dengan kita. Kesimpulan kami berdua malam itu, tujuan dari misi pertemuan teman saya dengan pria masa lalunya adalah murni untuk menunjukkan progres hidup, setelah tujuh tahun berselang. Tidak ada embel-embel romantis apapun. Romantisme itu sudah ditinggal tujuh tahun yang lalu.

Sabtu malam, beberapa hari setelah pertemuan itu, saya reunian dengan teman-teman seperjuangan di organisasi pers mahasiswa dulu. Setelah makan malam, temu kangen kami lanjutkan dengan berkaraoke. Di tengah keasikan berbincang sembari menunggu ruang karaoke tersedia, tiba-tiba muncul pesan di blackberry messenger saya. “Booooy, bisa ditelpon nggak? aku sedih“. Nomor teleponnya pun muncul berpendar-pendar di layar handphone saya. Sebelum memencet simbol gagang telpon berwarna hijau, saya Berpindah mencari lokasi yang lebih tenang. Menghindari hiruk pikuk.
“It’s him, Boy“ ujarnya seketika tanpa diawali dengan sapaan ”Halo”.
”Maksudnya?”, tanya saya tidak paham
“Ya itu dia. Dia nggak berubah. Tetep sama, gaya ngomongnya, semuanya tetep sama. It’s him. He is the one, Boy. Tujuh tahun ternyata perasaanku masih kayak gini.”
Bingung mau berkomentar apa, terlontar komentar bodoh dari mulut saya, “He’s just not into you. Kamu pasti akan dapat yang lebih baik.”
Teman saya langsung menghardik, “Kenapa semua orang ngomong gitu! Termasuk kamu! Nggak Boy, cuma dia, nggak ada yang lain. Ya Cuma dia”, suaranya makin lirih sesekali diselingi isakan.
“Iya”, jawab saya.
“Iya” untuk dua alasan. Pertama, “Iya” untuk menanggapi setuju ucapan teman saya. Kedua, ‘iya” untuk menyetujui fakta bagaimana seseorang bisa mengikat kita seumur hidup. Bukan terikat dalam sebuah status, apalagi dalam ikatan suci pernikahan. Terpisah, tapi terikat. Bagaimana kita bisa terbelenggu masa lalu, jadi susah untuk maju. Bagaimana seseorang bisa membuat kita mau saja, dengan sadar dan sengaja, melakukan tindakan-tindakan bodoh. Bagaimana gravitasi bukan hanya mengarah ke bawah, menjadi milik bumi mengikat benda-benda yang menempel di atasnya, atau mengikat bulan. Gravitasi juga bisa dimiliki oleh seseorang, untuk menarik dan mengikat orang lain. Membuat orang lain tumbuh beredar di sekitarnya. Pergi jauh, tapi tetap kembali lagi.
Lelaki itu memberi tahu teman saya bahwa dia akan segera menikah, dengan seorang perempuan yang teman saya juga kenal. Seorang perempuan yang juga terlibat dalam peristiwa-peristiwa di masa lalu. Menurut saya, semesta alam tidak mendukung teman saya untuk bersama dengan si pria. Teman saya pun mengamininya. Ternyata rasionya tetap menyala walaupun sedang dirundung nelangsa. Namun tetap saja tidak mungkin saya memberi tahu dia untuk berhenti menangis, atau minum secangkir kopi supaya tenang, atau menceritakan lelucon supaya dia tertawa. Malam ini, semua tentang kesedihannya, tentang sakit hatinya, tentang kenangannya dengan si pria dari dari masa lalu. Jadi saya hanya diam, mendengarkan, menjawab bila ditanya, dan memberi komentar sederhana disana-sini. Kembali ke ruang karaoke setelah pembicaraan kami berakhir, saya menyanyikan lagu “Stuck in a Moment” dari U2, “Linger” dari The Cranberries, dan “Gravity” dari Coldplay untuk teman saya.

Sekarang teman saya sudah tinggal di luar negeri. Tapi, sepotong bagian dari hatinya masih tertinggal di sini. Dibawa si pria., sepertinya tidak akan dikembalikan. Atau, teman saya dengan rela hati memberikan sepotong hatinya ke si pria, tidak terpikir maksud untuk diminta kembali. Tapi, hati yang tidak utuh bukan alasan untuk tidak terus maju bukan? Lagipula, siapa manusia di jaman ini yang hatinya masih utuh. Sadar atau tidak, pasti kita pernah memberikan secuil hati kita ke orang lain, atau kita menyimpan cuilan hati orang lain. Sadar atau tidak kita tertarik gravitasi milik orang lain, atau menarik orang lain dalam radius gravitasi kita. Di Singapura, teman saya mengepakkan sayap karirnya. Saya yakin dia tidak akan berhenti melangkah, terlepas dari utuh atau tidak hatinya. Sudah saya sebutkan diawal bukan, bahwa teman saya ini tidak bisa dihentikan. Unstoppable. Apalagi kiprah-kiprah manis yang akan dia perbuat? Tunggu saja....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar