Selasa, 14 Juni 2011

Memulai Lagi, Dua Hari yang Lalu


Dua hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman lama. Bukan kebetulan, sudah direncanakan sebelumnya.  Diawali dari percakapan via situs jejaring sosial, bertanya kabar diselingi saling mengolok namun maksud bercanda, ditutup dengan janji bertemu pada hari dimana kami berdua bisa. 
Dua hari yang lalu, saya berbincang asik dengan seorang teman lama. Saat janjian, saya membiarkan dia menentukan lokasi kopi darat. Mengingat dia adalah commuter yang tinggal di Bogor, dan pengguna setia transportasi umum, jadi saya yang tinggal di tengah kota ikut saja. Dia memilih sebuah mall kelas menengah sebagai lokasi kita bertemu. Dan memilih sebuah restoran seafood murah meriah di dalam mall tersebut untuk berbincang sembari makan malam. Saya cukup terkejut dengan pilihannya, yang –kalau boleh jujur dan tidak bermaksud sombong- tidak lagi masuk dalam daftar pilihan saya. Selama ini, saya berusaha mengingatkan diri sendiri untuk selalu berpijak pada bumi. Tidak tercerabut dari akar masa lalu. Tidak lupa masa susah. Tapi dengan fakta terkejutnya saya dengan pihan-pilihan sederhana  teman saya ini, saya jadi bertanya ke diri sendiri, “Apakah saya sudah melayang terlalu jauh?”
Dua hari yang lalu, saya berdialektika dengan seorang teman lama. Teman jaman kuliah di Jogja. Jurusan yang sama, dan organisasi pers mahasiswa yang sama pula. Tidak berhenti di situ kesamaan kami, kami berdua juga menyukai film. Bedanya, saya menyukai film festival atau independen, sedangkan dia menyukai film Indonesia. Jadi ingat, dulu kami berdua pernah mengejar roadshow film “Mengejar Mas-mas” di sebuah kampus swasta di bilangan Babarsari, Jogja.  Di siang yang terik, dengan pakaian yang kami anggap layak pakai untuk bertemu artis, kami berdua berboncengan dengan motornya yang...yah...susah untuk dideskripsikan kondisinya. Di tengah acara, kami berdua saling berbisik lirih mengagumi wajah para pelakon. Gembira bisa melihat artis secara langsung, namun juga sedikit menyesal mengapa tadi lupa memakai gel rambut, atau menyemprotkan wewangian murah di badan. Saya jadi bertanya-tanya, entah dimana keberadaan artis-artis  ini sekarang? Sebegitu susahnya kah untuk survive di jagad perfilman tanah air? Menurut saya akting mereka tidak jelek. Dinna Olivia, pemeran pelacur dalam film ini, justru punya kemampuan berlakon yang mumpuni. Atau, apakah kualitas seorang bintang film sekarang diukur dari seberapa besar cup dadanya? Entahlah. Tidak mau ambil pusing. Kami berdua pulang sebelum acara roadshow selesai, karena teman saya ada kuliah sore. Dinna Olivia tidak muncul hari itu.
Berbincang dengan teman saya ini, selain tentang film, pasti tidak jauh-jauh dari topik tulisan dan literasi. Dia adalah seorang penulis.  Dari dulu, tulisan teman saya ini bagus. Percayalah..saya bukan tipe orang yang mudah mengumbar pujian. Lebih mudah bagi saya untuk mengumbar caci maki dan guyonan menyerempet cabul. Tapi, yah, harus saya akui saya mengagumi tulisan-tulisannya. Teman saya ini adalah seorang calon PNS yang bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tapi dia juga kontributor untuk majalah Rolling Stone Indonesia versi online, dan situs jakartabeat.net. Dua aktivitas yang bertolak belakang, tapi bisa dia manage dengan baik.
Saat sedang asik berbincang, tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Menyodorkan buku itu ke saya, meminta saya untuk membacanya dengan sedikit memaksa, karena tulisannya ada di buku itu. Agak sebal tapi juga penasaran, saya mulai membalik-balik halaman buku. Ternyata isinya adalah kumpulan artikel yang pernah diunggah di situs jakartabeat.net selama periode 2009-2010. Kontennya dibagi menjadi dua besar, tentang musik dan tentang fenomena sosial kehidupan manusia. Artikelnya bagus-bagus. Pun tulisan teman saya. Tulisannya berjudul “Bangku Taman : Tiga Menguak Jakarta”, tentang sebuah band indie dari Jogja yang diawal-awal karir manggungnya dibayar dengan gorengan. Makin tenggelam dalam bacaan, celotehan ceriwis teman saya pun hanya sayup-sayup mampir lewat di ujung pendengaran saya. Terkejut, saat mengetahui ada orang lain yang saya kenal juga memberikan kontribusi tulisan di buku ini. Orang itu adalah atasan saya di kantor yang lama. Seorang manager dengan pribadi unik, cerdas, dan wawasan tentang musik yang luas. Dia mengulas album grup duo “Endah N Rhesa” dalam artikel berjudul “Nowhere to Go : Album Folk-Jazz Minimalis yang Mendebarkan”. Hebat! Dari judulnya saja sudah menggoda. Sedangkan saya, mengulas Duo Maia atau Trio Macan saja nampaknya belum bisa. Jadi ingat, dulu saya dan atasan saya ini pernah sesekali berbincang di luar masalah pekerjaan. Dia pernah bertanya –saya lupa kalimat persisnya- yang intinya dia menanyakan saya, supaya saya bertanya ke diri saya, apakah saya berada di jalur pekerjaan yang tepat. Mengingatkan saya sebelum saya sadar merasa  “terjebak” suatu hari nanti di masa depan, dan sudah tidak ada kesempatan untuk kembali. Dengan mantap saya menjawab saya berada di jalur yang tepat. Saya bekerja di bidang brand development untuk industri Fast Moving Consumer Goods. Saya mencintai bidang pekerjaan ini. Mengatur strategi untuk membangun imej sebuah merek menurut saya sama seperti bermain catur, atau bermain game computer dengan genre strategi perang. Penuh dengan pertimbangan, ide, dan aksi utak-atik. Jadi, ya, sejauh ini saya menikmati pekerjaan saya. Walaupun, harus saya akui, terkadang pekerjaan ini membuat saya merasa lost. Alhamdulillah, pertemuan dengan teman saya ini membuat saya menemukan cara untuk bisa merasa utuh.
Dua hari yang lalu, saya iri dengan seorang teman lama. Pertama, karena dia tidak berubah. Dia tetap menjadi dia. Tetap sederhana, tetap apa adanya, seperti jaman kuliah dulu. Tapi di sisi lain, dia semakin kaya raya. Kaya raya dalam pola pikir dan kosa kata. Kekayaan yang saya juga ingin punya.  Kedua, dia bisa menjaga cita-cita, dan menyeimbangkan hidupnya. Mengejar apa yang dia mau, tapi juga melakukan apa yang dunia mau. Sedangkan saya yang sekarang tidak bisa begitu. Saat dia bilang, “Kalau aku bisa nulis di akhir pekan dan nonton konser band minimal sebulan sekali, itu sudah cukup buatku, Bay”, membuat saya berpikir, “Lalu, apa yang cukup buat saya?”. Bukannya saya tidak bersyukur dengan adanya saya sekarang. Justru saya sangat bersyukur dengan pencapaian karir yang sudah saya peroleh dalam rentang waktu yang masih seumur bunga jagung. Tapi, semakin lama saya duduk berhadapan dengannya dan berbagi cerita, semakin sadar saya bahwa beberapa akar values saya sudah tercerabut dari tempatnya. Saya ingin menancapkan akar-akar itu kembali. Semoga bisa.
Pertemuan dengan teman lama dua hari lalu menggerakkan saya untuk mulai lagi menulis. Karena saya butuh untuk kembali utuh, feel content. Lagipula, walaupun hidup saya standar, tapi pasti ada fragmen-fragmen yang layak untuk didokumentasikan, bukan? Pun hidup orang lain. 
Jakarta, 11 Juni 2011

1 komentar:

  1. A dinner, a talk, a laugh, and sometimes reminiscing bittersweet memories with a friend are things that keep your head above the water.

    BalasHapus